MISTERI MIMPI SBY
Oleh: M. Arief Pranoto
Dalam politik praktis, segala cara dapat digunakan. Entah terbuka atau cara tertutup, keras - lembut, bahkan dari yang masuk akal hingga unlogical dan lain-lain. Terkadang bau klenik-klenik sedikit, no problem. Yang penting tujuan tercapai. Dan untuk hal ini, sebenarnya saya lebih sepakat quote lama Pepe Escobar, wartawan AsiaTimes (2007), "Bahwa politik praktis bukanlah yang tersurat melainkan apa yang tersirat". Cuplikan ini lebih masuk akal ketimbang klenik. Ya. Tersirat itu di bawah permukaan, atau di balik tirai. Memang. Politik itu mirip dunia intelijen. Yang tampak belum tentu seperti itu, yang tak terlihat bukan berarti tidak ada.
Menarik. Mimpi SBY kini viral di belantara medsos. "Bukan mimpi sembarang mimpi". Diceritakan pada twitter @SBYudoyono, ia melakukan perjalanan bersama Pak Jokowi dan Bu Mega via kereta api dan akan bertemu dengan Presiden ke-8. Ujung poinnya, ketiga tokoh tersebut (SBY, Jokowi, Mega) ditunggu Presiden RI ke-8 di Stasiun Gambir, Jakarta, "Ngopi-ngopi". Namun, tidak disebut siapa presiden (ke-8) dimaksud. Masih diliputi halimun. Asap tebal.
Pertanyaan menarik mencuat di permukaan, "Apakah SBY benar-benar bermimpi, atau etok-etok saja, atau ia memberi isyarat politis kepada publik dan stakeholders terkait kontestasi 2024?"
Itulah hebatnya seorang tokoh politik, mimpi pun menjadi gunjingan publik. Ramai. Tak pelak, Nusyirwan Soejono, politisi PDI-P menanggapi landai, semoga mimpinya terwujud naik kereta bersama Bu Mega dan Pak Jokowi. "Satu gerbong". Nah? Sedangkan Taufik Basari, Ketua DPP Nasdem berbeda tafsir. Ia mencoba mengaduk-aduk persepsi publik, "Pihaknya berharap, presiden pasca-Jokowi yang muncul dalam mimpi SBY adalah bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), yakni Anies Baswedan. NasDem punya mimpi sama seperti SBY, Presiden ke-8 adalah Pak Anies Baswedan," ujar Taufik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta (19/6).
Menurut asumsi penulis, mimpi SBY bukanlah realitas, namun sinyal politik. Inti maksudnya, Demokrat ingin merapat 'satu gerbong' dengan PDI-P dalam menuju kontestasi 2024, tetapi secara 'mimpi'. Tidak kasat mata. Siapapun presidennya. Lha, indikasinya mana?
Sebelum viral mimpi 'satu gerbong' dengan Jokowi dan Mega, isu permulaan yang ditebar ke publik ialah 'pertemuan AHY dan Puan' pada hari Minggu (18/6), di Gelora Bung Karno, Jakarta. Ya. Politik itu penuh simbol, sinyal dan isyarat - isyarat. Publik kudu cerdas membaca simbol. Kalau tidak, kaum awam alias nitizen bakal kehilangan jejak sang idola.
Dan tentunya, pertemuan tersebut juga sudah seizin kedua orang tua masing-masing. Ada restu dari elit partai.
Kembali ke isyarat. Bahkan, hari pertemuan pun bisa dibaca secara politis. Kenapa AHY dan Puan tidak berjumpa pada hari Senin atau Selasa? Dalam hitungan leluhur, Minggu itu hari keluarga. Saatnya berkumpul dengan keluarga. Termasuk tempat pertemuan pun sarat makna: "Gelora Bung Karno". Kenapa tidak di Jakarta Internasional Stadium (JIS) yang lebih modern, ataupun tempat lainnya? Itu tadi, politik itu kerap penuh simbol dan isyarat. Makna pertemuan AHY-Puan ialah: "Kita satu keluarga dalam naungan dan semangat Bung Karno". Kira-kira begitu tafsirnya. Mungkin.
Pertanyaan selidik muncul meski berbasis asumsi, "Kenapa SBY melempar simbol merapat ke PDI-P, sedang Demokrat telah bergabung dalam KPP bersama NasDem dan PKS mencalonkan Anies sebagai capres?"
Sudah jamak di dunia politik, perkembangan situasinya -- selain unpredictable, susah ditebak, juga sifatnya turbulent. Tiba-tiba. Tak dapat dielak, isu besar di langit politik Jakarta mengirim sinyal bahwa hanya ada dua pasangan dalam kontestasi 2024. Ulangi, "Hanya dua pasangan calon". Isu ini nyaris A1. Sebab, beberapa tokoh penting keceplosan tentang skenario 'dua pasangan'. Salah satu yang nyeplos ialah Yusuf Wanandi, pendiri Centre for Strategic and International Studies atau CSIS. Sekilas CSIS, dahulu pernah menjadi think tank Orbe Baru. Yusuf sendiri tergolong tokoh tiga zaman yang punya peran dalam 'pelengseran' Orde Lama dan Orde Baru. Ia sosok super senior di dunia pergerakan. Itu sepintas perihal arus besar pada kontestasi 2024.
Kembali ke mimpi. Salah satu ajaran langit mengatakan, "Janganlah kau ceritakan mimpimu kepada siapapun". Dalam manajemen, mimpi itu cita-cita. Ia bisa dicapai melalui visi, atau didekati lewat sasaran antara (misi). Dalam pertempuran, jika 'mimpi' yang sudah diketahui lawan maka akan mudah dipatahkan lewat berbagai cara supaya gagal, tidak tercapai.
Retorika pamungkas muncul, mengapa mimpi SBY justru diumbar ke publik; dan kemana mimpi Presiden RI ke-6 akan berlabuh?
Let them think let them decide!
(fb)