𝗠𝗘𝗡𝗖𝗘𝗥𝗜𝗧𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗡𝗜𝗞𝗠𝗔𝗧; 𝗦𝗬𝗨𝗞𝗨𝗥 𝗔𝗧𝗔𝗨 𝗣𝗔𝗠𝗘𝗥 ?
Oleh: Ahmad Syahrin Thoriq
Allah ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk senantiasa bersyukur dan mengagungkan nikmat-nikmat yang telah Ia karuniakan. Dan diantara bentuk syukur dan pengagungan nikmat adalah dengan banyak menyebut-nyebutnya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.” (QS. Adh Dhuha :11)
𝗣𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝗺𝘂𝗳𝗮𝘀𝗶𝗿𝗶𝗻
Para ulama tafsir ketika menjelaskan makna ayat ini memiliki penjelasan yang berbeda-beda, tapi intinya sama, yakni : menyebut, menceritakan dan menyiarkan nikmat yang telah dianugerahkan kepadanya.
Al imam Qurthubi rahimahullah berkata :
أي انشر ما أنعم الله عليك بالشكر والثناء. والتحدث بنعم الله، والاعتراف بها شكر
“Yaitu maksudnya menyebarkan nikmat yang telah diberikan oleh Allah atas dirimu dengan bersyukur dan memuji-mujinya. Dan menunjukkan/menampakkan nikmat adalah termasuk bentuk syukur.”[1]
Al imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وكما كنت عائلا فقيرا فأغناك الله، فحدث بنعمة الله عليك، كما جاء في الدعاء المأثور النبوي: "واجعلنا شاكرين لنعمتك مثنين بها، قابليها، وأتمها علينا
“Dan sebagaimana engkau yang tadinya dari keluarga miskin kemudian Allah berikan kekayaan, maka nikmat Allah atas dirimu itu ceritakanlah. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam doa Nabi yang terkenal : "Jadikan kami orang-orang yang bersyukur pada nikmat-Mu, pemuji nikmat-Mu, penerima nikmat-Mu, dan sempurnakanlah nikmat-Mu kepada kami."[2]
Ibnu Nadzrah rahimahullah berkata :
كان المسلمون يرون أن من شكر النعمة أن يحدّث بها
“Dahulu kaum muslimin memandang bahwa diantara bentuk bersyukur atas sebuah nikmat adalah menceritakan / menyebut-nyebut nikmat tersebut.”[3]
Al Imam Alusiy rahimahullah berkata :
فإن التحدث بها شكر لها كما قال عمر بن عبد العزيز والحسن وقتادة والفضيل بن عياض
“Karena sesungguhnya menyebut-nyebut nikmat itu adalah bentuk syukur atasnya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Umar bin Abdul Aziz, Hasan al Bashri, Qatadah dan Fudhail bin Iyadh.”[4]
Al imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata :
إذا أصبت خيرا فحدث إخوانك
“Jika kamu mendapatkan suatu kebaikan, maka ceritakanlah kepada saudara-saudaramu.”[5]
𝗧𝗮𝗵𝗮𝗱𝘂𝘁𝘀 𝗯𝗶 𝗻𝗶’𝗺𝗮𝘁𝗶𝗹𝗹𝗮𝗵
Menceritakan, mengkhabarkan dan menyebut-nyebut nikmat yang didapatkan, yang dikenal dengan istilah tahaduts bi ni’matillah adalah bagian dari bentuk syukur kepada Allah. Al Imam Ibnu Asyur rahimahullah berkata :
والتحديث: الإخبار، أي أخبر بما أنعم الله عليك اعترافا بفضله، وذلك من الشكر
“Tahaduts yakni mengkhabarkan, yaitu menceritakan apa-apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu dan mengakui akan karuniaNya, itu adalah bentuk dari rasa syukur.”[6]
𝗠𝗲𝗻𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗻𝗶𝗸𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗲𝗻𝘁𝘂𝗸 𝗶𝗯𝗮𝗱𝗮𝗵
Dalam sebuah hadits disebutkan :
وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ
“Siapa yang menyembunyikan nikmat, sungguh dia telah mengkufuri nikmat tersebut.” (HR. Abu Daud)
Maka jelas menampakkan nikmat baik dalam urusan dunia maupun akhirat yang telah Allah berikan dengan menyebut dan menceritakannya, hukumnya bukan hanya boleh, tapi sebuah kesunnahan yang bernilai ibadah.
Jika menceritakan nikmat dunia saja boleh, lalu bagaimana dengan amal shalih yang merupakan nikmat yang paling agung bagi orang beriman ?
Itu mengapa sebagian ulama, mereka akan menceritakan kepada orang lain dari kerabat atau teman dekatnya atas nikmat-nikmat yang mereka dapatkan dalam urusan ibadah atau akhirat.
Disebutkan bahwa Abu Faras bin Abdullah bin Ghalib rahimahullah pernah berkata :
لقد رزقني الله البارحة كذا، قرأت كذا، وصليت كذا، وذكرت الله كذا، وفعلت كذا
“Allah tadi malam telah memberikan rezeki kepadaku. Aku telah shalat sekian raka’at, berdzikir dalam jumlah sekian dan aku telah melakukan ini dan itu.”
Maka sebagian sahabatnya ada yang berkata :
يا أبا فراس، إن مثلك لا يقول هذا
“Wahai Abu Faras, orang yang seperti anda tidak pantas mengatakan demikian.”
Maka beliau menjawab :
يقول الله تعالى: وأما بنعمة ربك فحدث وتقولون أنتم: لا تحدث بنعمة الله
“Allah ta’ala telah berkata : ‘Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau selalu menceritakannya’, sedangkan kalian berkata : ‘Jangan kalian menceritakan nikmatnya Allah.”[7]
Disebutkan dalam sebuah riwayat, orang-orang berkata kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu : “Ceritakan tentang siapa dirimu.”
Sayidina Ali menjawab : “Allah melarang kita untuk mensucikan diri sendiri.”
Mereka kembali berkata, “Bukankah Allah juga berfirman,‘Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaknya engkau menceritakannya ?”
Sayidina Ali akhirnya menjawab :
فإني أحدث كنت إذا سئلت أعطيت. وإذا سكت ابتديت
“Aku adalah orang yang jika engkau meminta kepadaku aku akan memberimu, dan jika engkau diam (tidak meminta) aku akan memikirkan (apa yang sebaiknya aku berikan).”[8]
Al Imam Nawawi rahimahullah berkata :
أنا النبي لا كذب أي أنا النبي حقا فلا أفر ولا أزول وفي هذا دليل على جواز قول الإنسان في الحرب أنا فلان وأنا بن ... وقد صرح بجوازه علماء ... وإنما يكره قول ذلك على وجه الافتخار كفعل الجاهلية
“Nabi ﷺ pernah juga berkata ‘Aku adalah seorang Nabi yang benar dan aku tidak sedang berbangga maka aku tidak akan lari dan tidak akan mundur’ maka ini menjadi dalil bolehnya seseorang berkata di dalam peperangan ‘aku adalah fulan’ atau ‘aku adalah anaknya fulan’.
Para ulama klasik terdahulu telah menyatakan bahwa hal yang seperti itu diperbolehkan... Dan menyebut seperti itu dibenci bila tujuannya untuk berbangga-bangga seperti halnya perilaku orang-orang jahiliyah.”[9]
𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁-𝗻𝘆𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗻𝗶𝗸𝗺𝗮𝘁 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗺𝗲𝗿
Jelas bahwa menyebut-nyebut nikmat atau menceritakannya adalah hal yang diperintahkan dalam syariat. Namun yang harus diingat, jangan sampai hal itu salah niat, sehingga tujuannya adalah untuk membanggakan diri terhadap orang lain.
Jika yang kita banggakan adalah nikmat akhirat atau ibadah, maka ini bisa berpotensi membuat amal shalih kita sia-sia karena hilangnya keikhlasan sebab senang dengan pujian orang lain.
Dan jika yang kita banggakan nikmat dunia, akan mengundang hasad atau iri dengki dari pihak lain, bahkan keinginan orang-orang jahat untuk merebut nikmat tersebut, dan ini semua tentu sangat memudharatkan kita.
Lalu bagaimana caranya agar “tahaduts bini’matillah” tidak sampai merusak amal kita dan tidak mengundang hasad dari orang lain ?
𝟭. 𝗖𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗲𝗸𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗽𝗲𝗿𝗰𝗮𝘆𝗮
Al imam Ibnu al ‘Arabi rahimahullah berkata :
إذا أصبت خيرا أو عملت خيرا فحدث به الثقة من إخوانك
“Jika engkau mendapatkan nikmat kebaikan, atau engkau mengerjakan sebuah amal shalih, ceritakanlah itu kepada orang-orang yang terpercaya dari saudara-saudaramu (teman-temanmu).”[10]
Al Imam Ibnu Asyur rahimahullah berkata :
وعن بعض السلف أن التحدث بالنعمة تكون للثقة من الإخوان ممن يثق به
“Dari sebagian ulama klasik terdahulu bahwa menceritakan nikmat itu hendaknya kepada orang-orang yang dipercayai dari saudara/teman-teman yang kita miliki.”[11]
Dengan menceritakan nikmat hanya kepada orang dekat, pertama akan mencegah orang-orang untuk hasad. Karena mereka yang mendapatkan cerita tersebut justru akan senang mendengarnya. Orang tua misalnya sebagai contoh yang paling nyata, pasti akan sangat bahagia ketika mendengar cerita dari anaknya bahwa ia telah mendapatkan sebuah nikmat.
Kedua, dengan menceritakan kepada orang-orang dekat seperti ini, akan meminimalisir niat riya atau pamer. Masa iya mau pamer ke orang-orang yang seharusnya mereka kita perlakukan dengan baik. Hal ini akan sedikit berbeda bila dishare ke khalayak ramai, agak sulit menjaga niat tidak pamer.
Meskipun kita tidak boleh menjudge mereka yang menshare nikmat yang dia dapatkan ke orang banyak berarti pamer. Karena bisa jadi ia memang niatnya untuk “tahaduts bini’matillah”. Jangan mengukur orang lain dengan ukuran kita.
Terlebih jika nikmat itu memang tidak bisa untuk disembunyikan, seperti nikmat dapat rumah baru, beli kendaraan baru dll. Lalu ia menyelenggarakan syukuran dengan mengadakan acara makan-makan misalnya. Justru ini yang nampaknya lebih tepat.
Sudahlah bersyukur, dapat pula pahala sedekah terbaik yakni memberi makan. Dari pada dapat nikmat diem-diem bae, giliran dapat musibah seluruh penjuru negeri tahu semua beritanya....
𝟮. 𝗝𝗮𝗴𝗮 𝗻𝗶𝗮𝘁 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗲𝗿𝗶𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗻𝗶𝗸𝗺𝗮𝘁
Berkata al Imam Ibnul ‘Arabi rahimahullah :
إن التحدث بالعمل يكون بإخلاص من النية عند أهل الثقة فإنه ربما خرج إلى الرياء وإساءة الظن بصاحبه
“Ketika menceritakan sebuah nikmat berupa amal shalih hendaknya dengan niat ikhlas dan menceritakannya kepada orang-orang yang dipercayai. Karena hal seperti ini secara umum bisa menjaga dari riya’ dan prasangka buruk terhadap orang yang mendengar cerita nikmat tersebut.”[12]
Peranan niat dalam setiap aktivitas sangatlah penting. Niat inilah yang akan menentukan kadar suatu pekerjaan bernilai pahala atau sebaliknya justru mendapatkan dosa. Sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang Masyhur "Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
𝟯. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗶𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗯𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿 𝗻𝗶𝗸𝗺𝗮𝘁 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗺𝗲𝗿𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮
Sebagaimana kufur nikmat adalah hal yang bisa menghancurkan atau menghilangkan nikmat, kita juga harus mengetahui, bahwa nikmat juga bisa hancur ketika diceritakan dengan niat untuk memerkannya.
Berkata Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu : “Setan memiliki banyak perangkap dan jebakkan, dan di antara perangkap dan jebakannya adalah menghancurkan atas nikmat-nikmat Allah, menyombongkan diri melebihi hamba-hamba Allah, dan membanggakan diri melebihi pemberian Allah pada selain Dzat Allah.”[13]
Dan sebagian ulama mengatakan ada perbedaan mendasar antara orang yang niatnya lurus untuk menceritakan nikmat Allah dengan yang tujuannya untuk pamer.
Diantaranya : Bila kesan yang didapatkan ketika menceritakannya semakin membuat orang yang mendengarnya mengetahui kemurahan Allah, kasih sayang Allah dan luasnya karuniaNya, juga memotivasi untuk beramal kebaikan agar mendapatkan nikmat yang sama, maka itu diantara tanda bahwa niat orang yang menceritakan nikmat tersebut adalah tahaduts bini’matillah.
Tapi jika cerita yang disampaikan menampakkan kesan kelebihannya dari orang lain, membuat orang lain terkagum-kagum kepadanya, bertujuan menjadikan hati orang banyak tunduk kepadanya, maka ini adalah tanda bahwa niatnya adalah untuk riya atau pamer. [14]
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Menceritakan nikmat kepada orang lain dengan tujuan yang benar adalah disyariatkan. Karena itu bentuk dari rasa syukur kepada Allah sebagai Dzat yang telah menganugerahkan nikmat tersebut kepadanya.
Dan diantara caranya adalah dengan niat yang baik, bukan untuk pamer dan ditujukan secara umum kepada orang-orang terpercaya di sekelilingnya, yakni mereka yang mencintai atau menghormatinya. Kecuali jika nikmat itu sifatnya diketahui oleh orang banyak, maka mensyukurinya dengan dinampakkan ke banyak orang.
Wallahu a’lam.
_____
[1] Tafsir al Qurthubi (20/102)
[2] Tafsir Ibnu Katsir (8/414)
[3] Tafsir al Kabir (1/155)
[4] Ruhul Ma’ani (15/383)
[5] Tafsir Ibnu Abi Hatim (10/3444)
[6] Tahrir wa Tanwir (30/403)
[7] Tafsir al Qurthubi (20/102)
[8] Tahrir wa at Tanwir (30/404)
[9] Syarah Shahih Muslim (12/120)
[10] Ahkamul Qur’an li Ibn Arabi (4/410)
[11] Tahrir wa Tanwir (30/405)
[12] Tahrir wa at Tanwir (30/405)
[13] Ar Ruh fi Kalami Arwah hal. 247
[14] Ar Ruh fi Kalami Arwah hal. 247