إِلٰـهِي لَسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاً
وَلاَ أَقْوٰى عَلَى نَارِ الْجَحِيْم
Makna syair di atas bukan: "Saya tidak ingin surga" atau "saya bukan penghuni surga" atau "saya tidak mau masuk surga". Bukan. Maknanya yang benar adalah: Saya tak pantas menjadi ahli surga namun juga tak kuat menanggung beratnya siksa neraka.
Makna syair ini benar. Siapa di antara kita yang berani mengklaim ia pantas mendapatkan surga dengan amalnya sendiri?
Kita masuk surga karena rahmat dan karunia Allah ta'ala, sedangkan amal yang kita lakukan yang adalah taufiq dari Allah ta'ala juga, kita jadikan wasilah untuk mendapatkan rahmat Allah ta'ala yang bagian dari rahmat-Nya adalah surga-Nya yang seluas langit dan bumi.
Syair ini juga mengajari kita sikap "tahu diri" dan tawadhu', tidak merasa besar diri karena amal yang telah dilakukan. Penyakit kibr (merasa besar) adalah penyakit Iblis la'natullahi 'alaih. "Ana khairun minhu" (Saya lebih baik darinya) dalam bahan penciptaan, senioritas dan amal. Padahal semuanya itu tak ada artinya di sisi Allah ta'ala.
Dan pada syair di atas dikatakan "lastu" (saya) bukan "laysa" atau "lasnaa", karena bab tazkiyatun nafs itu menunjuk diri sendiri, bukan menunjuk orang lain.
(Muhammad Abduh Negara)