Oleh: Asyari Usman
Siapa bilang Mahkamah Konstitusi (MK) itu pengadilan hukum? Bukan. Hari ini, MK adalah mahkamah politik. Ketuanya, Anwar Usman, adalah pengangkatan yang seratus persen politis. Dia adik ipar Jokowi.
Apa bukti bahwa MK mahmakah politik? Simak saja perjalanan lembaga ini sejak pilpres 2019. Bagaimama mereka memutuskan sengketa pilpres antara 01 dan 02. MK membuat 02 lenyap ditelan 01.
Bongkar lagi arsip pemberitaan sidang-sidang gugatan 02 di MK. Semua pertimbangan MK memuluskan 01 sekaligus menyulitkan 02. Tidak masuk akal.
Ini semua berkat MK berpolitik. Bahkan, sebelum Anwar Usman menjadi ipar Jokowi pun, MK sudah berubah menjadi mahkamah politik.
Jadi, tuduhan bahwa Prof Denny Indrayana membocorkan rahasia negara, keliru total. Yang dibocorkan Denny, kalau pun tetap dipaksakan dengan terminologi “pembocoran”, adalah “rahasia politik” yang ada di mahkamah politik. Bukan rahasia negara.
Karena itu, Pak Menko Polhukam Mahfud MD tidak tepat meminta Polisi memeriksa Prof Denny. Dari mana unsur pidananya? Yang diungkap oleh mantan Wamenkumham kabinet SBY ini adalah rahasis politik yang menyangkut kepentingan rakyat. Publik berhak mengetahuinya.
Yang dilakukan Prof Denny sama dengan model “investigative reporting” (laporan investigasi) yang dilakukan media massa. Kalau misalnya Denny seorang wartawan dan media tempat dia bekerja mempublikasikan temuannya soal putusan MK itu, apakah Pak Mahfud akan menganggapnya pembocoran rahasia negara? Pasti tidak.
Prof Denny justru ingin mengingatkan publik, khususnya para elit politik dan masyarakat luas, bahwa ada kemungkinan Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengembalikan sistem pemilu proporsional tertutup yang dulu dengan berdarah-darah telah dihapuskan.
Lantas, apa pentingnya Denny menyiarkan putusan MK yang politis itu? Tidak lain karena putusan tersebut bisa menjadi pintu untuk kembali ke cara-cara otoriter yang penuh korupsi dan manipulasi.
Indonesia akan kembali ke model KKN. Semua ditentukan oleh pimpinan partai politik (parpol). Proses pembuatan legislasi akan dikendalikan oleh segelintir elit politik yang bertransaksi dengan oligarki bisnis yang tak beretika.
Jadi, semua orang harus melihat dari sisi potensi bahaya putusan MK yang bakal merugikan demokrasi, merugikan rakyat. Jangan dialihkan fokusnya ke pembocoran rahasia negara. Ini mirip dengan cerita orang yang berteriak ada pencurian motor, tapi yang dikejar malah yang berteriak. Bukan pencurinya yang diburu.
Publik menunggu penyelidikan terhadap proses kelahiran putusan yang pro-sistem tertutup itu. Harus ada investigasi menyeluruh. Celakanya, tidak ada lembaga independen yang berwenang memeriksa para hakim konstitusi.
Fungsi pengawasan terhadap mereka hanya dijalankan oleh dua unit kerja internal MK yang disebut Dewan Etik Hakim Konstitusi (DEHK) dan Majelis Kehormatan MK (MKMK). Kedua unit kerja ini dibentuk oleh MK sendiri. Artinya, bisa diduga seperti apa temuan mereka jika diminta melakukan invesitigasi terhadap para hakim MK.
Sistem proporsional tertutup wajib ditentang. Karena sistem ini akan melahirkan kekuasaan mutlak yang berada di tangan ketua umum parpol. Dia yang akan menentukan siapa yang bisa masuk ke DPR. Para ketum akan menjadi calo untuk para taipan rakus yang ingin mengendalikan parlemen.
Tidak ada kebebasan berbicara di parlemen di bawah rezim proporsional tertutup. Ini akan membuat DPR hanya berfungsi sebagai perwakilan ketua umum, bukan perwakilan rakyat. Para anggota DPR akhirnya akan menjadi boneka.
Maka, akan semakin parahlah produk legislasi kita. Parlemen yang dihasilkan lewat sistem terbuka seperti sekarang ini pun, hasil kerja mereka amburadul. Lihat saja Omnibus Law yang bertentangan dengan konstitusi, disahkan oleh DPR produk sistem terbuka.
Jadi, Polisi sebaiknya mengambil sikap bahwa apa yang diungkap Prof Denny Indrayana bukan rahasia negara. Ini hanya bagian dari edukasi dan advokasi politik rakyat. MK-lah yang seharusnya diinvestigasi.
(Jurnalis Senior Freedom News)