Kritik "Marketplace Guru" ala Nadiem Makarim

Marketplace Guru Nadiem Makarim

Oleh: Iman Zanatul Haeri
Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G)

  • Marketplace guru sebenarnya lahir dari ketidakberdayaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk berkoordinasi dalam menuntaskan kebutuhan guru. Pengajuan kuota PPPK guru oleh daerah selalu berkisar separuh dari yang diajukan pemerintah pusat. 
  • Solusi Nadiem ini jelas tidak memecahkan persoalan inti, yaitu selisih kuota guru antara pusat dan daerah. Pembuatan marketplace guru justru mengambil otoritas pemerintah daerah dalam menggaji guru PPPK dan mengambil alih sebagian porsi perekrutan guru PPPK dari pusat ke sekolah.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim membuat langkah baru dalam rapat dengar pendapat di Komisi Pendidikan Dewan Perwakilan Rakyat pada 25 Mei lalu. Nadiem menawarkan tiga solusi dalam pengisian formasi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) untuk guru. Salah satunya, Nadiem menawarkan marketplace guru sebagai solusi untuk formasi guru yang tidak kunjung terpenuhi hingga kini.

Personalisasi Pendidikan

Selama ini "marketplace" bukan istilah yang lazim di dunia pendidikan. Istilah itu lebih populer di dunia bisnis perusahaan rintisan (startup). Meski demikian, praktik marketplace di dunia pendidikan sudah terjadi, meskipun dalam lingkup terbatas. Misalnya, beberapa perusahaan teknologi edukasi membuat skema marketplace pengajar. Di laman mereka, dipamerkan foto wajah, peringkat, pengalaman kerja, dan beberapa kompetensi yang bisa ditonjolkan dari para pengajar. Beberapa lembaga kursus keterampilan digital juga sudah memposisikan para pengajar mereka sebagai "produk" yang dijajakan di etalase.

Pola semacam itu muncul karena paradigma personalisasi pendidikan yang terus disuarakan oleh pelopor perusahaan teknologi edukasi (edtech). Impian mereka adalah menciptakan pembelajaran terpersonalisasi sehingga setiap pelajar bebas memilih paket pendidikan sesuai dengan layanan yang mereka sediakan. Cara ini mendudukkan pelajar semata-mata sebagai konsumen (consumer centered). Sebagai konsumen, pelajar berhak memilih pengajar terbaik yang bisa mereka akses melalui pihak ketiga (edtech). Dengan demikian, guru harus siap dipajang layaknya barang dagangan.

Masalahnya, Nadiem hendak menerapkan pola kerja marketplace ini dalam seleksi aparatur sipil negara (ASN) guru PPPK, yang notabene merupakan seleksi guru yang dilakukan pemerintah. Meskipun sistem ini nanti bersifat tertutup, paradigma guru sebagai produk dan sekolah sebagai warung dagangan akan diwujudkan dalam marketplace guru ala Nadiem ini.

Velislava Hillman dan Molly Esquivel (2022) menggambarkan bagaimana guru profesional di Inggris harus melewati tahun-tahun khusus di sekolah (magang), melakukan praktik mengajar (microteaching), memahami kode etik, serta harus memenuhi berbagai standar lain agar mereka dianggap layak mengajar. Namun mereka mencatat bahwa bisnis yang menawarkan teknologi pendidikan saat ini telah memasuki kelas tanpa uji lisensi dan standar apa pun. Menurut mereka, penyertaan teknologi pendidikan semacam ini merupakan bentuk hegemoni algoritma yang mendegradasi profesi guru.

Degradasi Guru

Marketplace guru sebenarnya lahir dari ketidakberdayaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk berkoordinasi dalam menuntaskan kebutuhan guru. Pengajuan kuota PPPK guru oleh daerah selalu berkisar separuh dari yang diajukan pemerintah pusat. Dari angka kebutuhan guru pada 2021 sebesar 1.002.616, daerah hanya mengajukan 506.252 formasi. Pada 2022, kebutuhan guru sebesar 781.844, tapi pemerintah daerah hanya mengajukan 319.029 formasi. Artinya, selama dua kali seleksi PPPK guru, belum ada solusi atas kurangnya jumlah formasi ketika para guru dilimpahkan ke pemerintah daerah.

Peserta PPPK guru dibagi menjadi empat prioritas (P1-P4). Prioritas pertama (P1), dari seleksi PPPK pada 2021, masih menyisakan 193.954 peserta yang sudah lulus tes, tapi tidak kunjung mendapat penempatan. Dalam seleksi pada 2022, sebanyak 130.882 pelamar P1 ini mendapat penempatan, tapi masih tersisa 62.645 lulusan tanpa penempatan.

Selama dua tahun, pelamar P1 yang tersisa ini tidak jelas nasibnya. Bahkan 3.034 guru yang terkatung-katung ini malah mengalami "ghosting" karena penempatannya dibatalkan. Mereka lalu diiming-iming mendapat penempatan tanpa tes pada seleksi tahun berikutnya (2023). Itu pun hanya dijamin melalui surat edaran Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan yang bersifat tidak mengikat.

Kementerian Pendidikan menganggap masalah ini lahir akibat lemahnya distribusi penempatan guru PPPK karena, pada kenyataannya, banyak juga posisi di sekolah yang kosong atau masih membutuhkan guru. Dalam seleksi pada 2021, formasi yang tidak terisi mencapai 212.392. Kesenjangan ini sangat besar, mengingat para guru yang tidak mendapat formasi tapi lulus ujian P1 juga tidak bisa ditempatkan pada formasi yang kosong tersebut. Inilah mengapa seleksi PPPK guru jauh dari kata profesional. Persoalan ini tentu tidak akan muncul jika pertukaran data dari hulu ke hilir—dari sekolah, dinas pendidikan, pemerintah daerah, hingga kementerian dan lembaga terkait—terintegrasi dengan baik. Namun, bukannya merajut kekusutan data, Nadiem memilih jalan pintas dengan langsung ke sekolah melalui marketplace guru.

Anggaran Guru

Solusi Nadiem ini jelas tidak memecahkan persoalan inti, yaitu selisih kuota guru antara pusat dan daerah. Pembuatan marketplace guru justru mengambil otoritas pemerintah daerah dalam menggaji guru PPPK dan mengambil alih sebagian porsi perekrutan guru PPPK dari pusat ke sekolah, meskipun marketplace guru ini hanya menjadi tahap lanjutan setelah para guru tersebut lolos seleksi PPPK, terutama mereka yang P1.

Masalah lain adalah perihal pembiayaan atau penggajian guru PPPK. Pemerintah pusat menyatakan akan langsung memberikan anggaran penggajian guru PPPK melalui marketplace guru ini ke sekolah. Nadiem membandingkannya dengan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang ditransfer pusat langsung ke sekolah.

Kebijakan ini akan melanggar ketentuan penggajian ASN PPPK, yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Peraturan presiden itu menyebutkan anggaran PPPK dibebankan ke anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Artinya, kebijakan Nadiem ini, bila dijalankan, akan menabrak aturan yang cakupannya lebih luas karena aturan penggajian ASN PPPK tersebut bukan hanya untuk guru.

Jika gaji guru PPPK nanti dibayar melalui sekolah secara langsung sebagaimana dana BOS, potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang selama ini terjadi pada dana BOS akan berpotensi besar terjadi pula pada marketplace. Nadiem berjanji dana yang ditransfer melalui marketplace guru ini akan "dikunci" hanya untuk gaji guru PPPK.

Hal yang paling dikhawatirkan sebenarnya adalah seleksi yang tak adil dan tidak transparan di level sekolah untuk para calon yang akan ditempatkan, yang terdiri atas guru lulusan P1 dan lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan. Kekhawatiran ini lahir dari tradisi perekrutan guru honorer yang selama ini berkembang di sekolah negeri.

Kementerian Pendidikan diharapkan menyiapkan petunjuk teknis yang jelas agar perekrutan para guru ini nantinya berjalan transparan dan adil. Hal ini akan menjadi pekerjaan tambahan bagi sekolah. Ada potensi konflik internal di sekolah karena otoritas perekrutan oleh sekolah menjadi semakin besar. Tentu saja, yang paling dirugikan adalah siswa karena konsentrasi sekolah dan guru pada pembelajaran dipangkas untuk mengurus perekrutan guru marketplace.

Menteri Nadiem menyampaikan bahwa guru yang lulus ujian PPPK sejak awal memang tidak dijamin akan mendapat penempatan. Pernyataan ini mengagetkan banyak guru karena sejak awal mereka merasa bahwa bila lulus PPPK, berarti akan mendapat penempatan. Kegagalan komunikasi ini tentu bukan perkara sederhana karena korbannya adalah peserta seleksi PPPK guru di seluruh Indonesia.

Dalam rapat di DPR tersebut, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Nunuk Suryani, menyatakan marketplace ini berupaya menjawab masalah redistribusi guru PPPK. Artinya, gagasan ini mengasumsikan bahwa seleksi PPPK sebagai pasar guru, dengan penjual jasa (guru) dan pengguna (sekolah), dapat dipertemukan. Bagi Kementerian, karut-marut masalah PPPK guru sesederhana gagal bertemunya penjual dan pembeli di pasar.

Ini merupakan tanda bahaya terjadinya liberalisasi, komersialisasi, dan degradasi profesi guru. Namun yang paling berbahaya adalah logaritma dasar pada platform marketplace yang mengatur penempatan guru. Sampai hari ini, tidak ada yang tahu bagaimana, untuk siapa, dan ke mana data pendidikan diarahkan oleh logaritma berbagai aplikasi Kementerian Pendidikan, seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM), akun Belajar.id, Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian yang Berkelanjutan (SIMPKB), Data Pokok Pendidikan (Dapodik), dan Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). Kita tidak pernah tahu sampai kapan Kementerian Pendidikan akan selalu menjawab masalah pendidikan dengan aplikasi baru. Kita harus menghentikan cara-cara semacam ini dan mendudukkan kembali masalah pendidikan pada tempatnya.

(Sumber: Koran TEMPO Kamis, 8 Juni 2023)

Baca juga :