JAKSA PENUNTUT TERSERET DUGAAN PEMBOHONGAN PUBLIK
- Jaksa penuntut perkara Haris dan Fatia dilaporkan ke Komisi Kejaksaan
- Majelis hakim akan diadukan ke KY dan MA
Tim penasihat hukum Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti melaporkan lima jaksa penuntut umum ke Komisi Kejaksaan. Mereka diduga melakukan pembohongan publik saat menyampaikan informasi tentang keberadaan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, dalam persidangan dengan terdakwa Haris dan Fatia.
"Kami sudah laporkan dugaan pelanggaran jaksa penuntut umum ke Komisi Kejaksaan pada 5 Juni lalu," kata Julius Ibrani, anggota tim penasihat hukum Haris dan Fatia, Jumat, 9 Juni 2023.
Ketua Perhimpunan Badan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) ini menyebutkan kelima jaksa penuntut yang dilaporkan ke Komisi Kejaksaan itu adalah Yanuar Adi Nugroho, Dwi Antoro, Arya Wicaksana, Septy Sabrina, dan Gandara.
Tim penasihat hukum Haris-Fatia menduga kelima jaksa tersebut membuat pernyataan palsu dalam persidangan, yaitu soal keberadaan Luhut sehingga tidak hadir dalam persidangan Haris-Fatia di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 29 Mei lalu.
Saat itu, Luhut, yang menjadi pelapor kasus dugaan pencemaran nama dengan terdakwa Haris-Fatia, akan diperiksa sebagai saksi di persidangan. Namun pemeriksaan ini batal karena Luhut tidak datang ke pengadilan. Jaksa penuntut menginformasikan di persidangan bahwa Luhut tidak bisa hadir karena tengah berada di luar negeri untuk kegiatan dinas.
Namun faktanya, kata Julius, Luhut justru berada di Jakarta pada hari itu. "Kami memiliki bukti bahwa pada 29 Mei beliau ada di Jakarta sedang rapat internal dengan Presiden-Wakil Presiden dan para menterinya," kata dia. "Hal itu bisa dilihat di unggahan Instagram Menteri Keuangan Sri Mulyani. Pada malam harinya, beliau juga ada acara di Jakarta, bukan di luar negeri."
Karena kelima jaksa penuntut memberi informasi tidak benar itu, tim penasihat hukum menduga mereka melanggar Pasal 5 huruf a Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-014/A/JA/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
Pasal ini mengatur bahwa jaksa wajib menjunjung tinggi kehormatan dan martabat profesi dalam melaksanakan tugas serta kewenangan dengan integritas, profesional, mandiri, jujur, dan adil.
"Secara garis besar, JPU dalam melaksanakan tupoksinya telah melakukan pembohongan publik," ujar Julius.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, yang dimintai konfirmasi, belum menjawab pertanyaan Tempo. Adapun anggota Komisi Kejaksaan, Bhatara Ibnu Reza, mengakui sudah menerima laporan pihak Haris-Fatia tersebut. Ia mengatakan lembaganya butuh waktu untuk meneliti aduan tersebut. Komisi Kejaksaan berencana membahas aduan itu dalam rapat pleno pada Senin pekan depan. "Untuk laporan kawan-kawan, biasanya akan kami plenokan pada Senin," kata Bhatara.
Majelis Hakim Akan Diadukan ke KY
Julius Ibrani mengatakan tim penasihat hukum juga berencana melaporkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang menangani perkara Haris dan Fatia ke Komisi Yudisial serta Badan Pengawas Mahkamah Agung. Pertimbangannya, majelis hakim dianggap tidak profesional, dengan tidak mengutamakan asas praduga tak bersalah dan prinsip pembuktian, dalam menangani persidangan perkara Haris-Fatia.
Tim penasihat menduga majelis hakim cenderung membela Luhut selama persidangan. Misalnya, kata Julius, majelis hakim tidak memeriksa surat permintaan penundaan pemeriksaan terhadap Luhut, khususnya soal ada-tidaknya lampiran dari surat tersebut. "Ini kan aneh. Anak sekolah pun, kalau mengajukan izin sakit, pasti melampirkan surat hasil diagnosis dari dokter," ujar Julius.
Selain itu, kata Julius, tim penasihat menyoal sikap majelis hakim saat persidangan pemeriksaan Luhut sebagai saksi, dua hari lalu. Dalam persidangan itu, majelis hakim cenderung pasif dan membiarkan Luhut melontarkan berbagai pernyataan yang menuduh kliennya tanpa disertai bukti. Selama persidangan tersebut, Julius melihat majelis hakim terkesan memberikan keleluasaan kepada Luhut untuk menyampaikan keterangan apa pun di persidangan, meski berupa opini pribadi.
Anggota tim kuasa hukum Haris-Fatia lainnya, Citra Referandum, menilai tindakan ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Cokorda Gede Arthana, dalam persidangan Kamis lalu terkesan merendahkan martabat perempuan. Misalnya, kata Citra, Cokorda menegur kolega sesama tim penasihat hukum Haris-Fatia agar meninggikan nada suara saat menyampaikan pertanyaan. "Pernyataan tersebut merendahkan, bahwa perempuan itu lemah, tidak memiliki daya," kata Citra.
Pernyataan Cokorda itu bermula saat dia merasa tak mendengar pertanyaan tim penasihat hukum Haris-Fatia. "Saudara yang jelas pertanyaannya. Saudara pakai mik (mikrofon), lho. Yang jelas. Saudara suaranya seperti perempuan gitu, lho. Tolong keras sedikitlah," kata Cokorda di persidangan.
Pranata juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Alex Adam Faisal, tak menjawab pertanyaan Tempo soal ini. Alex hanya membaca pertanyaan Tempo yang dikirim lewat pesan WhatsApp. Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto, enggan menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai tindakan majelis hakim tersebut. "Tentang persidangan dan jalannya sidang, silakan konfirmasi dengan humas Pengadilan Negeri Jakarta Timur," kata Suharto, kemarin.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengatakan lembaganya akan menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang majelis hakim tersebut. Ia menuturkan lembaganya tengah memantau proses persidangan perkara Haris-Fatia.
"Seluruh sikap, perkataan, dan perilaku majelis akan dicatat serta direkam oleh Komisi Yudisial," ujarnya.
Miko menyatakan saat ini Komisi Yudisial tak akan memeriksa langsung majelis hakim karena proses persidangan masih berlangsung. "Langkah tindak lanjut akan ditentukan setelah proses persidangan selesai," kata dia.
Julius Ibrani berpendapat, Komisi Yudisial tak perlu menunggu persidangan selesai untuk menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran majelis hakim tersebut. Sebab, Komisi juga tidak berwenang memeriksa putusan hakim sehingga tak perlu menunda pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku majelis hakim ini sampai pembacaan putusan. "Menurut kami, alasan Komisi Yudisial itu adalah alasan yang birokratis, bukan yang diplomatis. Alasan birokratis untuk tidak melakukan apa pun," kata Julius.
***
Haris dan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Keduanya diduga mencemarkan nama Luhut lewat pernyataan mereka dalam konten video bertajuk "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada". Konten tersebut dipublikasi melalui kanal YouTube Haris Azhar. Video itu menayangkan perbincangan Fatia sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Haris sebagai Direktur Lokataru.
Kedua pegiat HAM ini membahas laporan riset Koalisi Bersihkan Indonesia—terdiri atas sejumlah lembaga masyarakat sipil—dengan judul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya". Riset ini meneliti usaha pertambangan di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Dalam video tersebut, Haris dan Fatia menyebutkan pertambangan tersebut diduga digarap oleh PT Tambang Raya Sejahtera atau Tobacom Del Mandiri—anak usaha PT Toba Sejahtera Group yang sahamnya dimiliki Luhut. Pernyataan ini yang disoal oleh Luhut. Mantan Kepala Staf Presiden ini mengklaim tak pernah memiliki usaha pertambangan di Blok Wabu ataupun di wilayah Papua lainnya.
(Sumber: Koran Tempo, Sabtu 10 Juni 2023)