SALAH satu kelemahan dari semua rezim pasca reformasi adalah mahalnya biaya kuliah. Jangankan orang tua miskin (yang jumlahnya paling besar di negeri ini), para orang tua kelas menengah pun akan mengeluh ketika anaknya sudah mulai kuliah.
Memang ada penggolongan, tapi kuota untuk UKT rendah pun jumlahnya sangat terbatas.
Saya bahkan ada anak kenalan yang terpaksa berhenti sekolah, padahal tahun ini dia diterima di Unesa. Dia tak sanggup membayar UKT yang senilai Rp 7,5 juta dan memutuskan mengadu nasib dengan melamar di sejumlah pabrik untuk menjadi buruh.
Saya yakin, teman-teman pasti ada kenalannya yang mengalami nasib serupa, atau bahkan mengalaminya sendiri.
Bingung. Tak menguliahkan anak itu rasanya dosa besar. Tapi menguliahkan itu membuat diri yang sudah beranjak menua merasa tak sanggup. Apalagi, menguliahkan anak itu tak hanya sekedar membayar UKT. Sering itu diikuti dengan bayar kos, bayar biaya hidup si anak, dan juga belum lagi biaya-biaya ketika berkuliah (membelikan laptop, membeli printer, atau pun bahan-bahan untuk mengerjakan tugas). Tanpa membayar UKT, orang tua miskin di desa-desa saja mungkin sudah berat untuk mengongkosinya.
Ini ironis. Padahal, pendidikan adalah salah satu jalur utama bagi satu garis keluarga untuk melakukan lompatan sosial. Dari standar miskin menjadi menengah. Kuliah, dan kemudian lulus, biasanya akan membuat seseorang bisa menapaki karir dalam dunia kerja, syukur-syukur bisa menjadi direktur dan menapak dua kelas sosial sekaligus. Dari miskin, menjadi kelas atas. Dan kemudian membantu yg belum beruntung untuk ikut naik kelas pula.
Selain pembangunan infrastruktur seperti jalan, saya berpendapat bahwa sebuah pemerintahan negara berkembang itu disebut berhasil ketika bisa membuat dua akses (pendidikan dan kesehatan) terjangkau oleh masyarakatnya.
Pendidikan murah diperlukan untuk membuat masyarakat kelas bawah membuat lompatan sosial, sementara kesehatan penting untuk menjaga masyarakat tak turun kelas (kerap orang yang sehari-harinya cukup, tiba-tiba menjadi miskin ketika ada anggota keluarganya yang sakit keras).
Saya kira, rapor pemerintahan Jokowi tak banyak beda dengan pemerintahan SBY dan Mega sebelumnya. Karena sejauh ini, masih gagal membuat akses kuliah murah bagi masyarakatnya yang mayoritas masih berkutar di golongan bawah.
Bisa jadi, wisuda-wisuda di TK, SD, SMP, SMA, bisa jadi menjadi pelipur lara bagi seorang anak, karena orang tuanya tak mampu menguliahkannya.😥😓
(Kardono Ano Setyorakhmadi)