[PORTAL-ISLAM.ID] Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir menjadi pembicara kunci dalam seri ketiga gelar wicara Gagas RI bertajuk “Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan.”
Gagas RI merupakan forum diskusi publik yang digagas oleh KG (Kompas Gramedia) Media bagi para pemikir bangsa untuk merenungkan ulang dan menyampaikan gagasan besar tentang Keindonesiaan yang bebas dari pragmatisme/kepentingan politik/ekonomi tertentu.
Diskusi Gagas RI dengan tema "Ekonomi, Keadilan, dan Kemanusiaan" digelar di Menara Kompas, Jakarta, Senin (29/5/2023). Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir hadir sebagai narasumber utama dalam diskusi ini.
Dalam pemaparannya, Haedar mengatakan bahwa Indonesia bukanlah benda mati yang bebas diperebutkan dan dikuasai sepihak oleh siapapun. Indonesia, kata dia adalah negara milik semua dan benda yang bernyawa. Sebagai argumen, Haedar mengutip pandangan Soepomo, Soekarno dan Moh. Hatta.
Pada Sidang BPUPK, Soepomo menegaskan bahwa Indonesia yang akan dibangun setelah merdeka bukan sekadar ragat fisik, melainkan Indonesia yang bernyawa. Di forum yang sama, Soekarno mengatakan bahwa Indonesia adalah negara untuk semua, bukan negara milik satu golongan.
Sementara itu, Moh. Hatta menjelaskan Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian Indonesia disusun atas asas ekonomi kerakyatan yang terpimpin untuk mewujudkan kesejahteraan dan hajat hidup orang banyak.
Secara ideal, Indonesia kata Haedar seharusnya tidak memiliki masalah krusial terkait isu-isu kesejahteraan, keadilan sosial dan kemanusiaan. Sebab, kelahiran Indonesia berasal dari gagasan kritis yang teruji secara ketat melalui periode panjang dari masa pergerakan nasional, sidang BPUPK hingga Konstituante.
Rumitnya beragam masalah yang kini justru menyelimuti Indonesia seperti korupsi yang menggurita, hutang luar negeri, kemiskinan struktural, hingga oligarki bisnis dan politik yang semakin tak terkendali menurutnya adalah bekas dari kegagalan elit untuk berkomitmen dan setia pada fondasi yang diletakkan para pendiri bangsa.
“Problem kita sebagai bangsa sekarang adalah kita tidak punya kesinambungan dalam merajut gagasan-gagasan dasar yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa. Bahkan mulai ada kecenderungan distorsi (pemutarbalikan realitas), kencenderungan stagnasi (kemacetan), dan kecenderungan deviasi (penyimpangan),” ungkap Haedar.
Menjelang 78 usia kemerdekaan RI, Haedar mengajak para elit untuk merenungi kembali untuk apa Indonesia ini lahir. Dirinya melihat bahwa ada problem mendasar yang mengancam eksistensi Indonesia dan perlu dijadikan evaluasi bersama.
“Saya mengajak checklist, apakah praktek yang akumulatif dari fase ke fase pemerintahan itu sejalan dengan apa yang digagas oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan tokoh-tokoh pendiri Repulik ini? Saya yakin tidak sejalan, bertentangan. Tetapi bagaimana kita keluar dari oligarki ini,” tantangnya.
Sebagai modal, Indonesia menurut Haedar memiliki lima prinsip asas eksistensial mengapa Indonesia merdeka yang terangkum dalam konstitusi. Lima prinsip itulah yang menurutnya perlu untuk dipedomani dengan penuh amanah oleh para pemangku kebijakan.
Pertama Indonesia sebagai negara merdeka menentang segala bentuk penjajahan di muka bumi. Kedua, Indonesia berhasil merdeka karena perpaduan rahmat Tuhan dan hasil perjuangan luhur rakyatnya, Ketiga, setelah merdeka Indonesia memiliki cita-cita nasional ingin melahirkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur dalam arti yang sebenarnya.
Keempat, dasar negara yang dijiwai dalam segala tindakan adalah Pancasila. Dan Kelima, kewajiban konstitusional pemerintah RI sampai kapanpun adalah untuk menjaga tumpah darah bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, memajukan kehidupan bangsa dan menegakkan perdamaian dunia.
Selain lima prinsip asasi di atas, Indonesia juga memiliki tiga modal nilai untuk merawat anugerah kemerdekaan, yakni nilai Pancasila, nilai agama, dan nilai kebudayaan luhur.
“Lima prinsip ini sebenarnya nyawa dari Indonesia. Nah pertanyaan kita saat ini apakah para elit, penyelenggara negara, seluruh komponen bangsa termasuk rakyat menghayati betul prinsip dan nyawa Indonesia itu untuk kembali kita implementasikan dalam kehidupan kebangsaan? Ini perlu checklist dan kita melihat bahwa ada beberapa hal yang mengalami deviasi, beberapa hal yang mengalami stagnasi, dan beberapa hal yang mengalami distorsi,” tegasnya.
Soal Hutang
Tak lupa, Haedar menyoroti soal hutang luar negeri Indonesia yang terus berakumulasi. Hutang ini, kata dia akan menjadi beban dan pengganjal bagi usaha-usaha Indonesia mewujudkan masa depan nasional yang unggul. Beberapa ahli bahkan telah menyebut bahwa akumulasi hutang luar negeri Indonesia saat ini mencapai angka Rp.7.000 Triliun.
“Karena kalau satu fase (pemerintahan) berhutang dan terakumulasi, suatu saat Indonesia menjadi negara gharim (tangan di bawah), yang tutup lobang ganti lobang, akhirnya berubah menjadi mustahik, berhak memperoleh zakat dan sedakah dari negara yang kaya. Jadi ada pertanggungjawaban moral di sini, bukan soal aman dan tidak aman (dalih rasio hutang masih aman -red),” himbaunya.
Dalam konteks ini, Haedar mengusulkan agar negara menetapkan ambang batas hutang luar negeri pada setiap masa pemerintahan. Utamanya agar proyeksi menjadi negara yang maju dan berdaulat tidak kemudian terseok karena akibat kebijakan pemerintah sendiri.
“Terakhir, hutang harus ada ambang batas, jangan sampai nanti melebihi takaran yang kemudian berat. Kedua ada proyek-proyek nasional yang semula aman kemudian menjadi beban baru,” tegasnya.
(Sumber: Muhammadiyah)