[PORTAL-ISLAM.ID] Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), resmi mengundurkan diri sebagai Gubernur.
Partai NasDem mengungkapkan Viktor Laiskodat mengundurkan diri dari jabatan Gubernur karena maju sebagai bakal caleg DPR RI dari Partai NasDem.
"Mundur itu persyaratan, Viktor Laiskodat maju caleg DPR RI," kata Waketum NasDem Ahmad Ali kepada wartawan, dikutip dari detikcom, Sabtu (24/6/2023).
Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa calon anggota DPR harus mengundurkan diri sebagai kepala daerah yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
Penguduran diri Gubernur NTT ini banyak mendapat sorotan masyarakat, terutama berkaitan dengan soal etika publik, karena pengunduran dirinya sesuai dengan aturan.
Sebelumnya hal yang sama juga sudah dilakukan oleh wakil gubernur Jawa Tengah, Gus Yasin, juga mengundurkan diri karena mendaftar sebagai calon anggota DPD.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa hal yang sama tidak dilakukan oleh para menteri. Memang, kita ketahui bersama bahwa Mahkamah Konstitusi pada tahun 2022 memutuskan bahwa menteri-menteri yang mau mencalonkan diri menjadi presiden tidak harus mengundurkan diri. Alasannya, kalau sampai harus mengundurkan diri maka jalannya pemerintahan akan terganggu.
Menanggapi berita tersebut, Rocky Gerung dalam Kanal YouTube Rocky Gerung Official edisi Sabtu (24/6/23) mengatakan:
“Itu Viktor Laiskodat juga orang yang kontroversial, yang seringkali jadi headline. Tapi dia memperlihatkan satu prinsip bahwa memang harus mengundurkan diri karena nggak mungkin memilih dua. Jadi, etik yang bagus oleh Gubernur NTT ini, dalam upaya untuk memperlihatkan bahwa kalau ada ambisi jangan ambisi itu ditabung untuk sekadar win win solution. Musti ada yang dikalahkan.”
“Soal menteri tentu harusnya dipakai cara yang sama. Kan prinsipnya siapa pun yang akan masuk di dalam kedudukan politik yang memungkinkan dia mengalami conflict of interest, ya mesti mengundurkan diri,” ujar Rocky.
Kalau tidak mengundurkan diri, lanjut Rocky, tidak mungkin menteri tidak akan memanfaatkan fasilitas-fasilitas negara. Yang melekat pada dirinya adalah jaminan negara, baik tentang keamanan maupun kemakmuran, karena itu fasilitas negara tetap melekat pada si menteri.
“Jadi, itu sebetulnya yang juga menjadi conflict of interest,” ujar Rocky.
Tetapi, selalu ada alasan yang dibuat-buat oleh pemerintah. Kalau alasannya adalah berhenti pemerintahan, masih banyak orang yang bisa menggantikan menteri. Apalagi kalau menterinya memang kurang bermutu.
“Jadi, tidak boleh ada alasan yang pragmatis kalau tuntutannya adalah etis. Berhenti dari jabatan menteri itu tuntutan etis, bukan secara pragmatis dikasih alasan nanti berhenti aktivitas birokrasi. Nggak ada. Birokrasi itu dengan mudah diganti. Dalam dua jam juga pasti ada banyak orang yang mungkin lebih baik dari si menteri,” ungkap Rocky.(*)