Oleh: Widi Astuti (Mualaf Center Jateng)
Sudah lama saya tak bersua dengannya. Kemarin malam dia menghubungiku lewat WA. Dan pagi ini saya bertemu dengannya. Dia ingin menitipkan kurban untuk daerah terpencil dan minoritas muslim. Maka sayapun menyetujui.
Di sela obrolan kami, saya menelepon takmir masjid Dusun Kenalan. Menanyakan apakah disana sudah ada yang titip kurban atau belum. Ternyata belum ada. Akhirnya saat itu juga saya transfer uang kurban yang diberikan oleh teman saya.
Teman saya ini sangat unik, sebut saja namanya Dinda (bukan nama sebenarnya). Dinda adalah seorang mualaf yang saat ini bergamis dan berjilbab lebar. Kalau baru pertama bertemu, tak akan menyangka bahwa dia seorang mualaf. Karena penampilannya terlihat seperti akhwat yang berasal dari keluarga muslim.
Ayah Dinda adalah seorang pendeta. Dulu Dinda juga kuliah di sebuah universitas Kristen. Dulu dia adalah seorang misionaris seperti ayahnya. Mereka sekeluarga sering bakti sosial di area Merbabu dan sekitarnya.
Dinda bercerita bahwa dana para misionaris itu sangat besar dan berasal dari luar negeri. Biasanya dari Belanda dan Amerika. Dulu dia dan kawan-kawannya biasa melakukan diakonia (pelayanan) untuk warga di pegunungan. Itulah mengapa dia bisa sangat memahami kisah-kisah yang saya ceritakan.
Setelah menjadi seorang muslim, Dinda faham dunia gerak misionaris. Dan memutuskan menitipkan kurban untuk daerah terpencil yang minoritas muslim. Dan itulah mengapa dia menghubungi saya.
Wajah Dinda ini putih bersih. Seperti orang Indo (blasteran). Saya menebak mungkin ada nenek moyangnya yang orang Londo. Maklumlah dulu di Salatiga banyak sekali warga kulit putih yang menetap disini. Bahkan di tahun 1920-an, jumlah warga kulit putih mencapai 1/5 dari jumlah total penduduk Salatiga.
Bersyukur saat ini Dinda sudah memeluk Dienul Islam. Padahal aslinya sangat berat berbeda keyakinan dengan ayahnya yang seorang pendeta. Tapi Dinda tetap teguh dalam pendirian lakum dienukum waliyadin. Bahwa meskipun hubungan darah itu kental, tapi masalah keyakinan tak bisa ditawar.
Dinda selalu mencintai lereng Merbabu. Udaranya yang begitu sejuk segar, membuatnya tak bisa lepas dari pesonanya. Jika dulu dia adalah seorang misionaris yang menjelajah kabut tebal Merbabu. Maka sekarang dia adalah seorang muslimah yang merindukan kedamaian seperti suasana alam Merbabu yang menentramkan.
(fb penulis, 19/6/2023)