BRIN Jadi Badan Runyam dan Irasional Nasional
Audit BPK menunjukkan BRIN punya seabrek masalah yang mengkhawatirkan. Perlu merombak tata kelola.
APA yang dikhawatirkan banyak orang dengan pendirian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang meleburkan lembaga-lembaga riset kini terbukti. Dua tahun setelah berdiri, BRIN ibarat bocah tambun yang tak kuat menahan beban tubuhnya sendiri. Pelbagai penyakit kini menggerogoti BRIN, yang berpotensi kian kronis karena kerumitan dalam mengobatinya.
Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada April lalu menemukan banyak proyek strategis nasional yang digarap BRIN berantakan, berpotensi melanggar hukum, bahkan mendorong bencana kemanusiaan. Ambil contoh proyek penguatan sistem peringatan dini bencana tsunami melalui pengadaan buoy. BRIN menghentikan proyek senilai Rp 257,23 miliar itu.
Akibatnya, menurut BPK, BRIN melanggar Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang penguatan dan pengembangan sistem informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami. Ketiadaan buoy membuat deteksi dini terhadap tsunami menjadi tak ada. Akibatnya, jika terjadi tsunami, masyarakat tidak siap sehingga kemungkinan korban jatuh lebih banyak bisa terjadi.
Alasan Kepala BRIN Tri Handoko menghentikan riset buoy karena alat ini tak efektif mendeteksi tsunami sungguh menggelikan. Penghentian proyek riset tersebut justru membuat Indonesia tak memiliki satu pun alat deteksi tsunami. Padahal, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan dihuni banyak gunung berapi, tsunami adalah ancaman nyata bagi masyarakat pesisirnya.
Penghentian proyek itu jelas merugikan anggaran negara. Sebab, alat-alat yang sudah dibeli itu mubazir, sementara BRIN belum merancang proyek baru lagi untuk mendeteksi tsunami.
Tak hanya buoy. Kekacauan administrasi dan anggaran di BRIN juga membuat proyek-proyek penting yang masuk kategori proyek strategis nasional terganggu. Misalnya, pengembangan pesawat udara nirawak tipe medium altitude long endurance (PUNA-MALE) kombatan dan pengembangan garam industri terintegrasi.
BPK menemukan, selain menghentikan proyek besar yang berdampak luas dan tak jelas pertanggungjawaban anggarannya, BRIN tak pandai mengelola aset negara dari lembaga-lembaga riset yang dilebur. Salah satunya pengelolaan peralatan dan mesin yang dulu dioperasikan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Tanpa perencanaan yang matang dan pertimbangan akademis yang mumpuni, BRIN memindahkan alat-alat itu seolah-olah awam terhadap dampaknya. Tak hanya berpotensi rusak, alat-alat laboratorium yang membutuhkan kalibrasi untuk menghasilkan data yang presisi itu juga diabaikan begitu saja. BRIN kalah oleh perusahaan logistik yang merancang inovasi agar barang yang dikirim atau dipindahkan tak rusak.
Belum lagi urusan administrasi. BPK menemukan gaji, tunjangan, hingga uang makan peneliti senilai sekitar Rp 1,69 miliar tak jelas pertanggungjawabannya. Membagi anggaran untuk riset dan birokrasi membuat orientasi BRIN bukan melakukan riset, melainkan menjadi lembaga administratif yang tak jelas output-nya. Para peneliti mengeluhkan kekurangan biaya riset, padahal anggaran BRIN setahun Rp 6,4 triliun.
BRIN memang salah sejak gagasan. Penempatan politikus, seperti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah, jelas menunjukkan arah politik lembaga riset ini. Tak mengherankan jika penunjukan itu menimbulkan wasangka bahwa BRIN akan dijadikan sapi perah baru untuk membiayai kegiatan politik penguasa. Anggaran BRIN tentu menjadi jumbo karena menghimpun anggaran riset enam lembaga yang dilebur ke dalamnya.
Audit BPK telah membuktikan bahwa BRIN salah ide, salah kelola, hingga keliru memperlakukan lembaga riset yang seharusnya menjadi tulang punggung program pemerintah dan segala aktivitas pembangunan lainnya. Sebelum BRIN hancur, sebelum riset menjadi tak kredibel, penguasa perlu mengaudit tata kelola BRIN untuk menyelamatkannya.
Mengganti Kepala BRIN jelas tak cukup. Pemerintah mesti mengambil kebijakan progresif untuk menyelamatkan BRIN dari jurang kehancuran. Menata ulang BRIN dalam hal anggaran dan manajemen oleh lembaga independen mutlak diperlukan sebelum pusat riset ini berubah menjadi rongsokan tak berarti.
Sebagai tahap awal pembenahan, pemerintah perlu membentuk sekelompok ahli manajemen organisasi. Mereka harus memastikan dan memahami pentingnya riset sebagai penopang kerja pemerintah. Tanpa ahli manajemen organisasi yang mumpuni, juga masih bercokolnya para politikus di dalamnya, BRIN akan terperosok lebih dalam.
[Sumber: Editorial Koran TEMPO, Jumat, 23 Juni 2023]