Apakah Dzikir 1000 Kali atau Lebih Termasuk Bid'ah?

Apakah Dzikir 1000 Kali atau Lebih Termasuk Bid'ah?

Penyusun: Ustadz Yani Fahriansyah

Sebagian rekan-rekan sensitif mendengar pernyataan dzikir baik berupa istigfar, shalawat dan lainnya yang dipraktekkan dengan nominal ratusan atau ribuan kali. Seolah-olah nominal tsb adalah angka tabu dalam bab dzikir. Katanya mirip dengan para pengamal ritual bid’ah.

Kita disyariatkan banyak berdzikir, dzikir muthlaq, dengan bilangan berapapun. Entah puluhan, ratusan atau ribuan. Dan ini tidak terkategorikan bid’ah dan tidak terhitung bertasyabbuh dengan mereka yang mengamalkan bid’ah. Tidak semua hal yang mirip dengan amalan/pelaku bid’ah terhitung bid’ah atau tercela.

Syaikh Ibnu Baz ditanya:

هل الزيادة في الاستغفار في اليوم عن سبعين أو مائة مرة جائز؟ وهل الزيادة في ذكر سبحان الله وبحمده عن مائة مرة جائز،

“Apakah tambahan istigfar lebih dari 70 atau 100 kali dalam sehari boleh? Apakah dzikir subhanallah wabihamdihi lebih dari 100 kali boleh…?”

Beliau menjawab:

هذا مستحب ولو سبَّحت ألف مرة أو ألفين أو عشرة آلاف

“Itu dianjurkan meskipun engkau bertasbih 1000 kali, 2000 kali atau bahkan 10.000 kali.”

Setelah menyebutkan hadits keutamaan tasbih, istigfar 100 kali dan juga dzikir tahlil sebagaimana dalam riwayat Bukhari dan Muslim, Syaikh Ibnu Baz mengatakan:

وهذا يدل على أن من زاد فلا بأس، أو يذكر الله مائتين أو ألف مرة كله خير له مزيد من الأجر والخير، المقصود أن التسبيح لا حد له، والذكر لا حد له، يكثر من ذكر الله وتسبيحه في اليوم والليلة ما يسر الله له

“Ini menunjukkan bawah siapa saja yang menambah -nominal dzikir- tak mengapa, atau ia berdzikir 200 kali atau 1000 kali semuanya adalah kebaikan. Dia mendapatkan tambahan pahala dan kebaikan -atas hal tsb-. Intinya, tasbih itu tidak memiliki batasan, demikian pula dzikir -lain- tidak ada batasannya. Dia bisa memperbanyak dzikir, dan tasbih sehari semalam sebanyak nominal yang memang Allah mudahkan untuknya.”

Istigfar harian yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak 70 atau 100 kali tidak menunjukkan bahwa nominal dzikir terbatas pada angka tersebut, tidak pula menunjukkan bahwa dzikir lain terlarang, dan tidak pula menunjukkan bahwa tambahan nominal dzikir lebih dari itu terlarang.

Dalam fatwa islamweb.net disebutkan:

فالاستغفار من الأذكار التي يعظم ثوابها لما يترتب عليها من محو الذنوب والتخلص منها، وقد ثبت الترغيب فيه. وما ثبت عن النبي -صلى الله عليه وسلم- من كونه كان يستغفر الله في كل يوم سبعين مرة أو مائة لا يدل على تحديد ذلك العدد والالتزام به، ولا تفضيله على غيره, ولا أن الزيادة عليه ممنوعة؛ لعموم الأمر بالاستغفار, والإكثار منه في كتاب الله تعالى، ومن ذلك: قوله تعالى: وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ {هود: من الآية3}.

“Istigfar adalah dzikir yang pahalanya dahsyat mengingat pengaruhnya yang bisa menghapus dan keluar dari dosa. Keterangan nash tentang ini adalah valid. Nash valid tentang Nabi shallallahu alaihi wasallam beristigfar setiap hari sebanyak 70 atau 100 kali tidak menunjukkan bahwa batasan dan iltizam nominalnya harus demikian, tidak pula bhw dzikir berupa istigfar tsb lebih baik dibanding dzikir lain, tidak pula tambahan nominal lebih dari itu terlarang. Ini mengingat adanya keumuman perintah istigfar dan memperbanyak istigfar yang tertera dalam firman Allah: “Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya,” (QS Hud: 3).”

Berikut kutipan yang dibawakan islamqa.info terkait para salaf yang berdzikir dengan hitungan fantastis.

قَالَ عِكْرِمَةُ : " كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يُسَبِّحُ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيحَةٍ ، وَيَقُولُ: أُسَبِّحُ عَلَى قَدْرِ دِيَتِي " انتهى من " البداية والنهاية " (11/379)

Ikrimah mengatakan: “Abu Hurairah bertasbih setiap hari 12.000 kali.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah 11/379)

وذُكر أن خالد بن معدان ، وكان من سادة التابعين : " كَانَ يُسَبِّحُ فِي الْيَوْمِ أَرْبَعِينَ أَلْفَ تَسْبِيحَةٍ " انتهى من " تاريخ الإسلام " للذهبي (3/41)

“Disebutkan bahwa Khalid bin Mi’dan, termasuk tokoh pembesar kalangan tabi’in, bertasbih dalam sehari sebanyak 40.000 kali.” (Tarikh al-Islam karya ad-Dzahabiy 3/41)

Jelas bahwa dia yang membaca al-Qur’an 1 juz lebih baik dibanding dia membaca 1 halaman, orang yang puasa sunnah 2 hari lebih baik dibanding puasa sunnah hanya sehari, orang yang berdzikir 100 kali lebih baik dibanding 10 kali. Tambahan nominal mempengaruhi tambahan pahala dan kebaikan.

Namun begitu, tetaplah harus mengetahui batasan dan cakupan sehingga tidak terjebak dalam ranah bid’ah:

1. Semua dzikir yang tertera al-Qur’an dan hadits yang muqayyad/terikat dengan waktu, tempat dan keadaan mestilah dilakukan dan diterapkan sesuai dengan keterikatannya baik itu terkait waktu, jumlah, tempat dan keadaannya tambah menambah atau mengurangi.

2. Dzikir atau do’a yang sifatnya muqayyad/tidak terikat waktu, tempat dan bilangan, ini terbagi menjadi dua:

(1). Doa/dzikir valid bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Maka lafadz dzikir tersebut dipraktekkan dan diamalkkan tanpa terikat oleh bilangan dan tempat tertentu, tanpa kekhususan tertentu.

(2). Doa/dzikir tidak bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam namun dari pribadi kita sebagai muslim yang berdoa/berdzikir, atau bersumber dari para salaf, maka ini boleh diamalkan seorang muslim dengan 5 ketentuan:

- Memilih lafadz yang jelas dan terbaik sebab ia tengah bermunajat dengan Rabbnya.
- Lafadz sesuai dengan makna berbahasa Arab
- Doa yang dilafadzkan tidak mengandung larangan syariat.
- Mestilah masuk dalam kategori dzikir/doa muthlaq, yaitu tidak terikat dengan waktu, tempat dan keadaan tertentu.
- Tidak dijadikan sunnah yang dirutinkan/merasa harus dengan hal itu. (Diterjemahkan dari islamqa.info)

Ketentuan lain terkait dzikir muthlaq, tidak meyakini bahwa angka/nominal dzikir yang ia kerjakan bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dengan kata lain, nominal tersebut, 1000, 2000 atau lebih, bukanlah tujuan dan maksud dzikir, tetapi ia menyembah Allah dengan dzikir tsb, bukan angka. Pula tidak boleh meyakini bahwa angka tertentu melahirkan pahala/kebaikan yang spesifik. Jika 1000, rizki lancar. Jika 2000, malaikat akan datang. Jika 10.000, akan dibangunkan rumah di Surga, dll. Terkait pahala spesifik inilah tentu butuh dalil karena berbicara ttg hal ghaib yang tidak bisa dikarang dan dijangkau oleh akal. 

Wallahu a’lam.

_____

Baca juga :