Agama Aturan

Agama Aturan

Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Pernahkah Anda memergoki balita Anda bermain pisau tajam? Apa respon Anda saat itu? Tentu berusaha untuk menghalanginya dari ‘permainan’ tersebut bukan? Bila ternyata ia malah membandel dan bersikeras untuk mempertahankan pisau tersebut, tentu Anda akan berusaha keras pula untuk merebut pisau tersebut bukan? Bila ditanya alasan, biasanya jawaban Anda adalah karena dorongan kasih sayang. Khawatir si kecil terluka.

Sadarkah kita, bahwa manakala Allah menggariskan berbagai macam aturan agama, memerintahkan anu dan melarang itu, semata karena dorongan kasih sayang-Nya kepada kita? Bukan seperti prasangka sebagian kalangan, bahwa aturan tersebut dibikin untuk menyusahkan kita! Perhatikanlah firman Allah ta’ala berikut ini,

“طه . مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ”

Artinya: “Thaha. Kami menurunkan al-Qur’an kepadamu bukan untuk menyusahkanmu”. QS. Thaha (20): 1-2.

Aturan agama digariskan semata-mata untuk kebaikan kita. Tauhid ditegakkan; agar kita fokus dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pikiran kita tidak terpecah kemana-mana. Shalat lima waktu diwajibkan; agar kita senantiasa ingat Allah, sehingga hidup terasa tenang. Jilbab diwajibkan atas kaum wanita; untuk melindungi dan memuliakan mereka. Zina diharamkan; karena mengakibatkan ketidakjelasan nasab, terlantarnya wanita dan anak-anak, serta beragam penyakit berbahaya. LGBT diharamkan; sebab menyalahi kodrat manusia dan mengakibatkan punahnya manusia.

Aturan adalah Tanda Kesempurnaan

Tidak sedikit umat Islam yang merasa minder dengan aturan agamanya sendiri. Fenomena ini muncul akibat ketidakpahaman bahwa detil dan baiknya aturan, itu menunjukkan kesempurnaan. Islam dianggap sempurna, karena aturannya yang sangat baik dan detil. Maka seharusnya kita merasa bangga dan percaya diri dengan agama kita sendiri. 

Sebagaimana dahulu Salman al-Farisiy radhiyallahu ‘anhu merasa bangga, saat ada seorang musyrik yang berkata kepada beliau,

“قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ” فَقَالَ: أَجَلْ «لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ، أَوْ بَوْلٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ، أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ»

“Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kalian segala sesuatu, bahkan sampai cara buang hajat pun diajarkannya!”. Salman menjawab, “Benar! Beliau melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar atau air kecil. Melarang kami untuk beristinja’ dengan tangan kanan, atau kurang dari tiga batu, atau dengan kotoran dan tulang”. HR. Muslim (no. 262).

Si provokator musyrik gagal membuat Salman al-Farisiy minder. Sebab beliau sangat yakin bahwa semua aturan dalam Islam itu sangat bijaksana, terukur dan pasti membawa kebaikan. Tidak ada aturan Islam yang ngaco dan mengada-ada. Keyakinan kuat ini muncul dari pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Maka, keminderan sebagian kaum muslimin terhadap ajaran agamanya sendiri, itu pertanda kedangkalan ilmu mereka tentang Islam.

(Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga)

Baca juga :