Yang Punya Warung Poligami?
Kamu pasti pernah menikmati kuliner di tempat yang mblusuk, masuk-masuk gang atau jauh dari keramaian kota. Sudah begitu, tempatnya biasa banget alias tidak bersih-bersih amat.
Namun semua itu tidak sama sekali mempengaruhi pilihan kuliner-mu. Buktinya kamu tetap makan di situ, kadang tak sekali dua kali. Bahkan berulang kali. Ngajak teman pula! Kenapa demikian, karena yang paling relevan untuk kuliner adalah soal rasa. Bukan yang lainnya.
Kalau di Jogja, sebutlah Kopi Klothok di Jakal. Sudah jauh, masuk gang, antri panjang, itupun kadang tidak kebagian tempat duduk. Ada juga Gudeg Pawon yang benar-benar makan di dapur. Atau Bebek Pak Wid yang mencit hampir sampai pantai selatan, itupun sering tutup warungnya.
Dan masih banyak tempat lainnya. Yang memang unggul dalam aspek rasa. Sehingga, perkara lainnya menjadi tidak relevan untuk diperdebatkan.
Kita tidak pernah membincangkan agama pemilik resto. Status tanah yang digunakan. Atau bahkan berapa istri pemilik resto, poligami atau satu saja. Ya, karena semua itu tidak lagi relevan. Karena bicara pilihan kulineran, ya soal rasa itu yang utama.
*
Sudah empat kali, paska reformasi, kita mengikuti pemilihan presiden secara langsung. Tapi rasa-rasanya, kondisinya tidak lebih bermartabat ketimbang soal pemilihan tempat kulineran. Mustinya kalau pilpres, yang diperdebatkan adalah apa yang akan dilakukannya bila terpilih. Seberapa akan memberi manfaat kepada kita?
Sayang, bukan seperti itu yang terjadi. Terlebih pada dua pilpres terakhir, dimana massa benar-benar terbelah. Sayangnya yang diperdebatkan bukan soal ide para capres-cawapres. Apa yang akan dilakukan untuk membawa Indonesia makin asyik. Aman-Sejahtera-masyarakat adil makmur. Tapi justru perdebatan soal-soal yang sangat privat. Agama, orang tua, istri, anak, hobby dan sebagainya.
Tentu hal tersebut bukan tidak penting, namun semestinya sudah (bisa dianggap) selesai, saat terseleksi dan terdaftar menjadi calon. Karena yang bisa menjadi calon itu pasti bukan sembarang orang. Hanya segelintir nama dari duaratus juta lebih nama warga se-Indonesia Raya.
So, apa iya kita akan berantem lagi. Soal siapa lebih taat beragama? Siapa lebih dekat dengan ulama? Hanya karena berbeda pilihan capres.
Lalu, begitu selesai pilpres, mereka yang bertarung lalu duduk bersama dan berbagi kuasa. Sementara hal yang keras diperdebatkan itu, tak ada pengaruhnya sama sekali. Dilupakan begitu saja.
Padahal dengan tetangga, saudara, kawan kerja kita sudah terlanjut bersitegang. Saking kerasnya, hingga kadang susah mencair. Bertahun-tahun. Bahkan sampai pilpres sudah mau digelar lagi.
So. Tahun 2024 ini, pilihan ada pada kita. Mau bagaimana...
Mangan pepes, iwak jaran.
Soal capres, cukup dadi hiburan.
(By Setiya Jogja)