Yang Hilang dari PPP
Oleh: Nuim Hidayat (pengamat sosial politik)
Banyak kalangan Muslim yang mengecam keputusan PPP dukung Ganjar. Gerakan Pemuda Ka'bah di beberapa daerah menyatakan secara terbuka menentang keputusan Kontroversial itu.
Memang PPP kini sudah menjadi partai yang cair. Ia seperti ingin meniru PKB yang kanan kiri ok. Sedikit sekali kini idealisme Islamnya. Ketua Dewan Pertimbangan PPP Romi Romahurmuziy menyatakan bahwa mereka ingin berkoalisi untuk meraih kemenangan.
Jadi dalam koalisi ini yang dipentingkan bukan benar atau salah, tapi yang penting menang atau kalah. Lucunya Romi bahkan menyatakan bahwa PPP yang dianggapnya NU itu selalu berkoalisi dengan PNI (PDIP).
Entah kenapa PPP kini lebih nyaman disebut sebagai partainya NU. Padahal dalam sejarah PPP sebenarnya jelmaan dari Masyumi atau lebih tepatnya Parmusi. Partai yang dilahirkan rahim NU jelas jelas PKB bukan PPP.
Sikap PPP yang meniru Golkar -selalu ikut kekuasaan- tidak berani oposisi ini menjadikan suara PPP terus menurun. Bahkan beberapa survei menyebutkan PPP tidak lolos Parliamentary Threshold 2024 nanti. Entah.
Dulu PPP menjadi andalan umat Islam dalam menyampaikan aspirasinya. Di kampung saya, Kuncen Padangan Bojonegoro, yang kebanyakan pedagang, PPP selalu menang ketika pemilu zaman Orba.
Ketika masa reformasi zaman Habibie, PPP dengan tokohnya Hussein Umar waktu itu berhasil memperjuangkan asas Islam diperbolehkan kembali dalam partai politik.
Kini PPP seperti kehilangan tokoh. Pimpinan PPP seperti 'anut grubyuk' apa yang dikatakan Jokowi. Tidak pernah terdengar lagi suara nyaring PPP mengkritik kekuasaan.
Di sinilah sebenarnya ketika Partai Islam kehilangan identitasnya, maka ia menjadi partai pak turut. Ia tidak pernah menjadi pemimpin. Ia hanya menjadi pelengkap kekuasaan. Bahkan para penguasa juga meremehkannya. Pihak istana nampaknya menganggap cukup partai itu dikasih uang dan jabatan maka akan jinak.
Identitas partai Islam adalah amar makruf nahi munkar dan menegakkan keadilan melawan kezaliman. Bila dua prinsip itu hilang dalam partainya maka ia hanya menjadi partai pengekor.
Dan itulah yang dimaui partai sekuler, seperti Golkar dan PDIP kepada partai partai Islam. Partai sekuler bila kita tilik secara mendalam, tujuannya hanya uang dan kekuasaan. Tidak lebih dari itu.
Nah bila partai Islam termasuk PPP mengikuti gaya partai sekuler, maka mereka pasti akan kalah. Mereka pasti akan menjadi partai kecil. Mereka pasti akan menjadi pak turut bukan pemimpin.
Harusnya Partai Islam, dengan identitasnya menjadi pemimpin. Harusnya partai Islam berani tegak berdiri di depan istana katakan yang benar adalah benar yang batil adalah batil. Harusnya partai Islam berani menegur Jokowi yang ugal ugalan mendatangkan ribuan tenaga kerja Cina, memenjarakan ulama ulama Islam tanpa kesalahan, menambah hutang yang makin membengkak, memindahkan ibukota tanpa perencanaan yang matang dan lain-lain.
Harapan umat Islam nampaknya kini makin pupus kepada pimpinan PPP. Harapan umat kini nampaknya beralih ke Partai Ummat dan PKS yang berani oposisi kepada pemerintah. Harapan umat bukan pada capres yang didukung istana, tapi capres yang lahir dan didoakan umat Islam dari arus bawah. Yaitu Anies Baswedan.
Pilihan PPP ke Ganjar yang landasannya kemenangan, kemungkinan juga gagal. Ganjar belum tentu menang. Dan sikap Ganjar yang terus membebek Jokowi -termasuk dalam urusan radikalisme- mengecewakan banyak kalangan umat Islam.
Insya Allah mendukung Anies adalah suatu kebenaran. Bisa menang bisa kalah. Tapi sebagai prinsip hidup, kata Buya Hamka, kita boleh kalah tapi tak boleh salah. Wallahu azizun hakim.
(*)