Sinyal Bahaya Pinjaman Online
Meningkatnya risiko gagal bayar sejumlah perusahaan teknologi finansial di bidang pinjaman online (pinjol) atau financial technology peer-to-peer (P2P) lending harus memicu alarm bahaya pemerintah.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu memperketat pengawasan dan menindak tegas platform fintech lending yang gagal mengatasi tingkat kredit bermasalah agar tidak merembet ke sektor lain, terutama perbankan.
Berdasarkan data OJK, nilai outstanding kredit macet fintech lending atau pinjaman online mencapai Rp 1,43 triliun hingga Maret 2023 atau naik dari Rp 866 miliar pada Maret 2022.
Jumlah platform pinjaman online yang dipantau OJK karena memiliki tingkat wanprestasi atau TWP90 di atas 5 persen pun bertambah. Dari 102 entitas yang terdaftar di OJK, 23 perusahaan fintech lending masuk pengawasan khusus OJK karena TWP90 di atas 5 persen pada Maret 2023. Jumlah ini meningkat dari 19 platform pada Februari 2023.
TWP90 adalah indikator yang menunjukkan tingkat wanprestasi atau kelalaian nasabah sebuah fintech lending menyelesaikan kewajibannya di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Bertambahnya pinjaman macet fintech lending pada akhirnya bisa mengakibatkan gagal bayar.
Salah satu penyebab meningkatnya pinjaman macet di industri fintech lending adalah ketidakhati-hatian platform pinjaman online dalam mengendalikan risiko dan menghindari kenaikan TWP90. Umumnya mereka kurang selektif menyaring calon penerima pinjaman atau borrower. Alih-alih melakukan asesmen dan penelitian mendalam terhadap profil penerima pinjaman, platform fintech lending justru jorjoran menyalurkan pinjaman. Hal ini biasanya dilakukan demi mengejar target kuantitas penyaluran kredit. Padahal risiko kredit macet bisa dicegah jika penilaian terhadap kemampuan membayar penerima pinjaman dilakukan dengan ketat.
Lemahnya kualitas analisis dan asesmen terhadap penerima pinjaman juga disebabkan faktor sumber daya manusia (SDM). Banyak SDM platform pinjaman online yang tidak andal dan berpengalaman dalam menjalankan sistem penilaian kredit. Tak jarang mereka meloloskan penerima pinjaman yang sebenarnya tidak layak. Semua seakan-akan dibuat mudah bagi calon penerima pinjaman yang ingin mendapatkan kredit. Risiko gagal bayar pun tak terhindarkan.
Karena itu—untuk mengurangi risiko gagal bayar—peningkatan prosedur operasi standar dan kemampuan analisis fintech lending terhadap calon peminjam menjadi penting. Sudah saatnya fintech lending mengubah target mereka, dari mengejar kuantitas penyaluran pembiayaan ke meningkatkan kualitas penyaluran pembiayaan.
Adapun bagi pemberi pinjaman atau investor, hukum besi investasi, high risk high return, seharusnya selalu menjadi pegangan saat membenamkan uang dalam industri P2P lending ini. Apalagi model bisnis semacam ini masih baru dan belum teruji. Justru karena itulah pemberi pinjaman perlu melakukan asesmen risiko yang ketat sebelum membuat keputusan investasi.
Meningkatnya risiko gagal bayar P2P lending perlu dimitigasi karena bisa berdampak ke sektor lain seperti perbankan. Pasalnya, perbankan—terutama bank umum—adalah kelompok pemberi pinjaman tertinggi di industri fintech lending. Sejumlah bank mengucurkan dana hingga Rp 22,6 triliun dari total outstanding pinjaman Rp 50,7 triliun di perusahaan teknologi finansial pada Maret 2023.
OJK juga perlu memperketat pengawasan terhadap platform pinjaman online dengan TWP90 di atas 5 persen. Otoritas tidak perlu ragu menindak tegas perusahaan fintech lending yang sudah diberi waktu tapi masih gagal mengatasi tingkat kredit bermasalah. Langkah drastis tersebut diperlukan agar risiko gagal bayar fintech lending tidak terus meningkat dan mengancam keseluruhan sistem keuangan kita.
(Sumber: Koran TEMPO 25/5/2023)