SIAPA DIUNTUNGKAN IZIN EKSPOR PASIR?
JAKARTA -- Pembukaan keran ekspor pasir laut dikhawatirkan akan semakin mendorong eksploitasi besar-besaran wilayah perairan Indonesia. Kondisi ini dinilai menambah ancaman terhadap kelangsungan ekosistem laut, termasuk masyarakat di pulau-pulau kecil, yang selama ini telah terkena dampak bisnis penambangan pasir laut.
Merujuk pada data Minerba One Map Indonesia, yang diolah Auriga Nusantara, hingga akhir tahun lalu pemerintah telah menerbitkan 141 konsesi penambangan pasir laut, baik yang masih berupa wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) maupun yang telah dilengkapi izin usaha pertambangan (IUP) serta izin pertambangan rakyat (IPR).
Luas area penambangan yang tersebar di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah tersebut mencapai 131 ribu hektare, lebih dari dua kali luas wilayah DKI Jakarta.
Jika dirinci, sebanyak 21 izin kini telah memasuki fase operasi produksi dan 11 izin berstatus eksplorasi. Sisanya, dengan area terluas, masih berupa wilayah pencadangan yang semestinya belum dijamah aktivitas pengerukan pasir laut.
"Tapi, pada kenyataannya, kami sering menemukan kegiatan penambangan dalam wilayah pencadangan," kata Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jambore Christanto, kepada Tempo, kemarin.
Berdasarkan penelusuran Tempo, setidaknya 118 entitas badan usaha dan perseorangan tercatat menguasai 141 konsesi tersebut. Beberapa perusahaan mengantongi izin penambangan di lokasi yang berbeda. Di antara mereka, sebanyak 45 perusahaan telah menggenggam surat keputusan IUP dan WIUP, baik yang diterbitkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral maupun gubernur.
Yang menarik, dari jumlah tersebut, hanya 12 izin yang dikeluarkan dalam rentang waktu 1999-2019. Sisanya, sebanyak 33 konsesi, diterbitkan perizinannya pada 2020-akhir 2022, terutama setelah pemerintah dan dpr mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tercatat, ada 30 perusahaan yang mengantongi izin setelah November 2020.
Daftar panjang perusahaan penambang itu bakal bertambah lantaran pemerintah mengizinkan pengerukan di luar wilayah tambang. Presiden Joko Widodo, pada 15 Mei lalu, menyetujui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Dalam ketentuan itu, pasir laut serta lumpur boleh diangkut dari perairan Indonesia, kecuali di beberapa lokasi.
Dalam Pasal 3 aturan tersebut tertulis beberapa kawasan yang dikecualikan dari ketentuan. Pertama adalah daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus. Selain itu, ada wilayah izin usaha pertambangan serta alur pelayaran. Terakhir, pengerukan pasir laut tidak boleh dilakukan di zona inti kawasan konservasi, kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan tersebut dan hanya boleh dilakukan unit organisasi pengelola kawasan konservasi.
Bertambahnya lahan eksploitasi ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pemerhati lingkungan hidup, terutama karena pemerintah menjadikan pasir laut dan lumpur sebagai komoditas ekspor yang terlarang sejak 20 tahun lalu. Jambore mengatakan keputusan untuk mengizinkan ekspor pasir dari hasil sedimentasi laut tadi berpeluang mempercepat proses ekstraksi. "Karena mereka punya pasar baru," katanya. "Tanpa percepatan pun, efek penambangan sudah terasa negatif buat lingkungan dan masyarakat yang terkena dampaknya."
Potensi Pendapatan untuk Siapa?
Ketika berbincang dengan pemimpin redaksi sejumlah media massa di Istana Merdeka Jakarta, kemarin, Presiden Joko Widodo mengklaim kebijakan ini berpotensi menambah penerimaan negara. Salah satu peluang terbesarnya: ekspor ke Singapura. Selama ini negara tetangga itu lebih banyak mengimpor pasir dari Vietnam. Padahal persediaan pasir di Selat Malaka melimpah. "Selama ini pun sudah diekspor, tapi ilegal. Jadi, sekarang kita bikin menjadi legal," kata Jokowi.
Jokowi mengklaim pengerukan pasir tak akan merusak lingkungan lantaran yang diangkut hanya sedimen dan bukan pasir di kepulauan. "Kalau tidak diambil justru berbahaya karena jalur pelayaran menjadi dangkal," tuturnya. Kawasan tersebut merupakan jalur lalu lintas pelayanan internasional. Jokowi juga menyatakan rencana menghentikan ekspor setelah sedimen di kawasan itu habis untuk memastikan tak ada kerusakan lingkungan.
Menurut Jokowi, peraturan baru ini dikeluarkan untuk mengatasi tarik-ulur anak buahnya yang tidak kunjung berani membuat aturan. "Ini sudah lama berhenti di kementerian karena masing-masing tidak berani mengambil keputusan."
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan pemerintah memang berpeluang menambah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kegiatan penambangan dan perdagangan komoditas pasir laut. Sebelumnya, pada 19 Agustus 2021, pemerintah juga telah menggulirkan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pasal 8 peraturan tersebut mengatur tentang PNBP yang diperoleh dari perizinan berusaha pemanfaatan di laut.
Perizinan berusaha yang dimaksudkan, di antaranya, berupa pemanfaatan pasir laut. Besaran tarifnya, seperti dijabarkan dalam lampiran, bergantung pada pasar yang akan memanfaatkannya. Pemanfaatan pasir laut untuk dalam negeri dikenai tarif sebesar 30 persen dari total hasil perkalian harga patokan dan volume. Adapun tarif pemanfaatan untuk luar negeri sebesar 35 persen.
Halim menduga hasrat pemerintah untuk menggenjot penerimaan itu dilatarbelakangi banyaknya proyek infrastruktur yang harus dibiayai oleh anggaran negara, seperti pemindahan ibu kota negara (IKN).
Namun, yang lebih ia khawatirkan, pembukaan keran investasi dan ekspor tambang pasir laut ini juga berhubungan dengan momentum Pemilihan Umum 2024.
"Biasanya, menjelang pemilu, para politikus, baik legislatif maupun eksekutif, meloloskan sejumlah kebijakan yang memudahkan mereka untuk mendapatkan rente, yang nantinya bisa digunakan (sebagai) biaya politik di tahun politik seperti saat ini," kata Halim.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, punya kecurigaan serupa.
"Kami melihat ini sebagai bagian dari ijon politik," katanya.
Keputusan membuka keran ekspor pasir laut menjadi rentetan kebijakan pemerintah yang memberi ruang buat pengusaha, dari revisi Undang-Undang Minerba hingga pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja.
Pasalnya, dia menemukan lebih banyak efek negatif dari penerbitan PP tersebut. Melky mengingatkan kembali, selama ini penambangan pasir tak pernah ditangani dengan baik, termasuk oleh KKP yang memiliki wewenang melindungi perairan dan pulau-pulau kecil yang kini rusak. "Sudah terlalu banyak kejahatan lingkungan yang dibiarkan," kata dia.
(Sumber: Koran Tempo, 30 Mei 2023)