Seperti Membersihkan Hati
Oleh: Sayid Fadhil Asqar (Aceh)
Kemarin, ketika menyiangi rambatan daun Sirih, menemukan ada gulma, tanaman rambat liar yang ikut tumbuh. Sudah cukup rimbun, karena agak lama tidak terperhatikan.
Sirih yang tumbuh di sisi belakang kedai kami memang sengaja saya rambatkan di situ. Sederhana saja, dasar gagasannya adalah saya ingin memberikan nuansa kebun atau 'hutan', sesuai dengan konsep kedai kami yang inginnya punya vibes warung di pinggiran kampung. Ditambah lagi saya 'terinspirasi' dengan serial Jepang Midnight Dinner. Kedai kecil yang bergaya slow bar. Pesanan dibuat personal, menu yang sederhana, pilihan kopi yang simple, fokusnya pada suasana.
Awalnya saya menanam keladi di bagian belakang. Tapi ternyata tidak efektif. Saya menargetkan nuansa yang dihasilkan dari daun keladi yang besar-besar. Tapi kurang berhasil karena sepertinya kadar kelembabannya susah dipertahankan. Sehingga daunnya sering layu dan patah.
Sejak enam bulan lalu, saya rambatkan Sirih di sisi belakang itu. Alhamdulillah, tumbuh subur dan mulai membentuk 'kanopi'. Kok pakai tanda petik? Kanopi harusnya di atas, ini merambat membentuk dinding tanaman.
Kemarin, ketika membersihkan halaman yang baru dipangkas. Saya juga menyiangi rambatan Sirih. Dan menemukan, diantara rambatan itu ada tanaman liar yang ikut merambat. Daunnya sangat mirip dengan Sirih muda. Sehingga kalau tidak diperhatikan dengan cermat, kita akan menduga itu pucuk baru.
Rencana awalnya, ya ditarik dan dicabut. Mudah, pikir saya. Ternyata gulma itu merambat dengan cara melilit batang Sirih. Kalau ditarik begitu saja, malah Sirihnya yang akan tercabut dari rambatannya.
Tak ada pilihan lain. Dipilah satu demi satu. Pelan-pelan diuraikan lilitannya. Waktu pertama mulai membersihkan gulma itu, saya pakai cara potong dibeberapa tempat lalu diurai, tapi belakangan menemukan cara lebih mudah. Telusuri ke bawah, cari akarnya, cabut, lalu baru dilepaskan, diurai lilitannya dari batang Sirih.
Sambil mengerjakan satu batang demi satu batang, terpikir, pantas banyak para ulama dulu mengatakan ada ayat-ayat Ilahi dalam alamNya. Karena ini seperti menjalani proses membersihkan hati sendiri.
Tak peduli seberapa sering kita mengaji, seberapa banyak ayat kita baca, hadits kita dengar, kata-kata ulama disampaikan, buku dan seminar motivasi kita ikuti, kalau dimulai dari 'tengah', seringnya kita berubah sebentar lalu balik lagi ke kebiasaan buruk yang lama.
Atau malah lebih parah, justru terjatuh pada pemikiran baru seperti merasa sudah baik, merasa lebih baik dari orang lain, bahkan merasa karena baik lalu boleh menghukumi orang lain tidak baik.
Bukannya lebih baik, malah jatuh ke keburukan baru.
Pengalaman pribadi, proses berusaha mengubah kebiasaan buruk, membersihkan hati, mencari ketenangan, bertahun-tahun pasang surut. Kadang berhasil merasakan ketenangan, lalu jatuh lagi lebih berat dari sebelumnya.
Akhirnya saat membaca tulisan dari ustadz Mohammad Fauzil Adhim di buku 'Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan', menemukan akar masalah selalu harus jadi langkah pertama.
Bagaimana bisa tenang, kalau kita masih berbohong pada diri sendiri. Bagaimana mau mengharapkan ketenangan kalau kita sebenarnya -- jauh dalam hati nurani -- tahu kita belum jujur mengakui kesalahan kita. Ego yang masih kita simpan, akhirnya memaksa kita berbohong lagi untuk menutupi kesalahan yang tidak mau diakui.
Padahal kita tidak sedang membuka semua itu ke orang, kita membukanya ke diri sendiri, membukanya kepada Allah yang Maha Tahu.
Akarnya. Ya, akar dari gulma yang merambat tadi, yang tumbuh melilit ke atas. Sepertinya sama perumpamaannya dengan akar ketidaktenangan di hati kita. Setelah ditelusuri, ketemu akarnya, baru lebih mudah membersihkan. Lebih mudah, bukan jadi sangat mudah. Tetap butuh kerja keras, sedikit demi sedikit. Dan peluang untuk tumbuh lagi gulma itu, lebih kecil karena sudah dibersihkan dari akar.
Mirip, sangat mirip kan?
(fb)