ANTARA TERJEBAK SITUASI, POSISI SALING INTIP DAN SALING TUNGGU
(Dongeng Politik Update Situasi)
Oleh: M Arief Pranoto
Menarik sekali mengamati dinamika politik jelang pemilihan presiden (pilpres) 2024. Hari ini, partai politik (parpol) dan koalisi partai yang sudah mendeklarasikan calon presiden (capres)-nya, seperti terkungkung dalam situasi saling intip dan saling tunggu. Siapa diintip, apa pula yang ditunggu? Tak lain, mereka calon wakil presiden (cawapres) yang akan ditunjuk masing-masing kubu.
PDI-P misalnya, tengah mencuri dengar siapa cawapres dari Koalisi Perubahan. Pun demikian pula Koalisi Perubahan (NasDem, Demokrat dan PKS), juga tengah menunggu siapa akan dipilih mendampingi Ganjar. Bila telah diketahui sosoknya, misalnya, maka bisa menjadi rujukan untuk menghitung kekuatan, kelemahan, menetapkan kandidat wapres serta merumus strategi pemenangan, dan lain-lain.
Bahwa posisi cawapres sekarang relatif vital, bukan sekadar ban serep belaka. Cawapres memiliki struktur yang berkontribusi dalam pemenangan, terutama meraup empati muslim dan suara kaum muda selaku pemilih mayoritas dalam pilpres 2024.
Yang agak rilek barangkali Koalisi Kebangkitan Indonesa Raya/KKIR (Gerindra dan PKB). Hingga kini, belum mendeklarasikan capresnya sama sekali, mungkin menit-menit terakhir bersamaan pengumuman cawapresnya. Namun bisa ditebak, Prabowo akan muncul sebagai kandidat presiden dari KKIR.
Bahwa ketiga entitas, baik PDI-P plus, KKIR, maupun Koalisi Perubahan, bisa dibilang sama posisi, yakni 'saling intip, saling tunggu'. Sebab, keliru memilih cawapres bisa berefek fatal. Ya, blunder memilih calon orang nomor dua seketika dapat menurunkan elektabilitas pasangan calon.
Nah, dari ulasan sederhana di atas, kendati masih prematur kiranya sudah bisa dirumus postur dan kriteria sosok cawapres ideal pada pilpres 2024. Sepertinya, sosok dimaksud kudu berasal dari golongan muda dan muslim yang mampu menyedot perhatian publik baik dari kalangan muda, milenial, khususnya umat Islam Tradisional (NU), Islam Modern (Muhamadyah) maupun kelompok muslim lainnya.
Nah, beranjak dari (kriteria) perspektif di atas, Ganjar kudu mengambil cawapres dari golongan muslim yang bisa diterima oleh warga NU dan Muhamadyah serta muslim lainnya. Katakanlah, Ganjar sendiri tergolong muda dengan gaya milenialnya, namun keislamannya kurang kuat. Makanya, Erick pun tertolak oleh kriteria di atas meski ia sudah diNU-NU-kan. Sandi sebenarnya cocok mendampingi Ganjar. Selain muda, energik, juga dekat dengan Islam. Entah kenapa ia batal merapat ke PPP, bahkan konon mau 'nyebrang' ke PKS. Jika merapat ke PKS, jangan-jangan justru jadi cawapresnya Anies? Wah, seru!
Kalau Anies relatif bisa diterima oleh kaum muda dan segolongan muslim. Apalagi tagline-nya PERUBAHAN. Jadi, kemungkinan Anies tidak begitu ribet memilih cawapres. Cukup sosok yang bersih, antikorupsi, dengan track record jelas. Mungkin, Mahfud MD lebih pas disandingkan ke Anies. Menurut hemat penulis, Mahfud itu 'Joker'. Ia bisa menjadi cawapres siapa saja. Gaco wolak-wolik, kata orang Jawa Timur.
Merujuk judul dongeng di atas, inilah situasi saling intip dan saling tunggu yang berkelindan di antara entitas yang akan berlaga dalam pemilu 2024. Tersirat ada semacam 'kegalauan' karena parpol dan koalisi partai pun tidak independen menentukan cawapresnya, sebab tergantung faktor lingkungan yang berfluktuatif. Sekali lagi, keliru menetapkan cawapres, bisa berujung anjloknya perolehan suara.
Kini membahas frase 'terjebak situasi' sesuai judul pada dongeng ini. Kita mundur sejenak.
Sesungguhnya tak sesederhana yang dilihat orang. Ketika Jokowi mampu 'menekan' Mega untuk mendeklarasikan Ganjar. Padahal, sebelumnya Ganjar tidak dilirik sama sekali oleh PDI-P. Kader celeng, kata Bambang Pacul. Namun, melalui wacana Koalisi Besar, misalnya, atau lewat 'deal-deal' tertentu, seolah-olah Jokowi lebih King Maker daripada Mega. Banyak orang salah hitung. "Justru Ganjar kini dalam kendali Mega". Buktinya mana? Dua cawapres pilihan istana ---Erick dan Sandi--- pun batal (kalau tak boleh menyebut ditolak) mendampingi Ganjar. Artinya, otoritas penetapan cawapres berada di tangan PDI-P. Inilah keadaan yang disebut 'terjebak situasi'. PDI-P terjebak keadaan untuk mendeklarasikan capres pilihan istana pada satu sisi, sementara di sisi lain, istana tak mampu menentukan cawapresnya, karena menjadi hak Ketum PDI-P. Saling sandera. Saling jebak. Konon, Mega hendak menunjuk tokoh besar Islam yang diterima semua golongan muslim sebagaimana pilpres 2019 lalu.
Inilah update kondisi copras - capres. Tidak ada maksud menggurui siapapun, terutama para pihak yang berkompeten. Hanya sharing dongeng untuk sekadar hiburan wong cilik biar tidak stress menghadapi berbagai pungutan pajak, pencabutan subsidi, terutama naiknya harga - harga kebutuhan publik.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
(*)