(Oleh: Putu Setia)
Saat ini ada 18 nama relawan Jokowi. Di antaranya Pro Jokowi, yang disingkat Projo. Ada pula Jokowi Mania, yang disingkat Joman.
Jika sesuai dengan rencana, hari ini di kawasan Senayan, Jakarta, akan ada hajatan di Gelora Bung Karno. Ada Musyawarah Rakyat—disingkat Musra—yang akan digelar relawan Jokowi. Ribuan orang akan hadir dan Presiden Joko Widodo sudah menyatakan kesediaannya untuk datang. Para relawan itu akan menyerahkan daftar nama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) kepada Jokowi. Diharapkan Jokowi akan memilih siapa capres dan cawapres nanti.
Menarik tapi membingungkan. Bingung kalau kita serius menanggapinya sebagaimana kita berharap pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan presiden (pilpres) adalah hal yang serius. Siapakah rakyat yang akan atau sudah bermusyawarah itu? Apa urusannya dengan capres dan cawapres? Kenapa diserahkan kepada Jokowi?
Rakyat yang dimaksudkan adalah para pendukung Jokowi tatkala beliau hendak bertarung berebut jabatan Presiden RI pada 2014, dan makin terorganisasi ketika memasuki pertarungan periode kedua pada 2019. Kelompok ini disebut relawan dan namanya bermacam-macam. Saat ini ada 18 nama relawan Jokowi. Di antaranya Pro Jokowi, yang disingkat Projo. Ada pula Jokowi Mania, yang disingkat Joman.
Dua saja dijadikan contoh karena petingginya sudah “mendapat imbalan”. Ketua Umum Projo adalah Budi Arie Setiadi, kini menjabat Wakil Menteri Desa. Sedangkan ketua relawan Joman adalah Immanuel Ebenezer, yang baru saja berhenti sebagai komisaris sebuah BUMN. Bahwa para elite relawan itu tidak menampik diberi jabatan, tentu bisa dimaklumi. Siapa sih yang mau bekerja tanpa imbalan? Meski kalau dirunut secara istilah, relawan itu adalah sebuah aksi sukarela dari seorang individu atau sebuah kelompok yang memberikan waktu dan tenaga mereka untuk pelayanan masyarakat.
Kenapa mereka sibuk mengumumkan nama capres dan cawapres? Apakah mereka tidak membaca konstitusi yang menyebutkan bahwa pengusulan capres dan cawapres adalah urusan partai politik atau gabungan partai politik? Mereka mau ambil alih fungsi partai politik? Pertanyaan ini pasti disanggah dengan slogan "orang bebas berpendapat" dan "ini bagian dari demokrasi".
Para relawan ini akan menyerahkan nama calon lebih dari satu. Capresnya ada tiga: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Airlangga Hartarto. Cawapresnya ada empat: Mahfud Md., Moeldoko, Arsjad Rasjid, dan Sandiaga Uno.
Pertanyaan selanjutnya, kenapa calon-calon itu diserahkan kepada Jokowi? Lha, tentu saja, namanya relawan Jokowi; bukan relawan Prabowo, relawan Ganjar, apalagi relawan Anies Baswedan. Sampai di sini, janganlah bingung.
Yang boleh dibingungkan, kenapa Jokowi mau menerima usulan capres dan cawapres? Bukankah Jokowi adalah kader PDIP yang “tegak lurus” kepada partai? Beliau bolak-balik dari Solo ke Jakarta dengan pesawat kepresidenan untuk mendampingi Ketua Umum PDIP mengumumkan nama capres. Seharusnya kepada relawan, Jokowi bisa berkata, “Capres sudah diumumkan oleh Ibu ketum partai, jangan sodorkan lagi ke saya.” Dan boleh ditambah lagi, “Urusan cawapres nanti kita serahkan kepada Ibu ketum partai.” Selesai sampai di sini.
Jika urusan ini tidak selesai di sini, Jokowi bisa disebut tak loyal kepada partai. Masih mau saja cawe-cawe urusan capres dan cawapres yang sudah jadi hak prerogatif ketua umum partai. Justru seharusnya Jokowi memberikan perintah akhir dalam hajatan relawan ini. Misalnya berpidato, “Saudara-saudara para relawan, mulai hari ini silakan gabung ke relawan Ganjar, atau relawan Prabowo, atau relawan Airlangga, sebagaimana nama yang Saudara usulkan sebagai capres. Saya bukan lagi petarung dan karena itu tak membutuhkan relawan, meski tetap butuh teman. Mulai hari ini, tak ada lagi yang namanya relawan Jokowi.”
Jika para relawan itu yang bingung, biarkan saja. Yang pasti, 200 juta lebih rakyat Indonesia akan merasa lega mengantar Bapak Joko Widodo lengser dari jabatannya dengan mulus pada Oktober tahun depan.
*sumber: TEMPO