Setelah Vonis Seumur Hidup Teddy Minahasa
- Kasus Teddy Minahasa adalah puncak gunung es permasalahan polisi kita.
- Merusak generasi muda dan melanggengkan korupsi narkoba.
HAKIM Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis hukuman penjara seumur hidup untuk Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, mantan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Ia dinilai bersalah karena menjual 5 kilogram sabu-sabu.
Lalu, apa setelah vonis itu?
Kasus Teddy Minahasa adalah puncak gunung es absurditas polisi kita. Sebagai Kepala Polda, bukannya mencegah peredaran narkoba sebagaimana tugasnya, Teddy malah menjadi beking bandar narkoba, bahkan menjualnya.
Hukuman seumur hidup pantas didapatnya. Apa yang dilakukan Teddy telah merusak generasi muda Indonesia dan melanggengkan korupsi narkoba. Polisi giat menangkapi pemakai narkoba hingga penjara penuh dan anggaran publik terpakai untuk membiayai hidup mereka, lalu polisi seperti Teddy giat pula menyelundupkan dan menyebarkannya.
Polisi seperti Teddy, yang seperti pagar makan tanaman, mungkin banyak. Mereka memainkan kasus, menerima setoran suap agar tak menyidik sebuah perkara, hingga menjadi beking kejahatan-kejahatan besar. Ada kecenderungan masyarakat sebisa mungkin tak berurusan dengan polisi karena, alih-alih akan terlindungi dan terayomi haknya, mereka akan berurusan dengan hal lebih pelik jika bersentuhan dengan kepolisian.
Polisi Indonesia gagal dalam pelbagai level. Polisi non-narkoba punya cara sendiri menjadi kaya. Dari level paling rendah hingga jenderal tingkat tinggi punya lahan basah masing-masing sebagai sumber pemasukan haram yang rutin.
Untuk mengubah polisi yang bobrok dari pusat hingga daerah, perlu beberapa periode Kapolri. Jenderal Listyo Sigit perlu bekerja lebih keras dari sekadar membuat slogan "Presisi" yang gagal menjadikan polisi kian profesional. Tapi mungkin belum akan ada Kepala Polri yang dengan efektif bisa memperbaiki Polri.
Perlu memotong satu generasi agar wajah polisi berubah. Jika tak bisa memperbaikinya secara total, Kapolri Listyo Sigit bisa memulainya dengan pertama-tama meletakkan dasar-dasar perubahan kurikulum, rekrutmen tanpa suap, dan pengajaran menjadi polisi profesional sejak di sekolah atau akademi kepolisian. Lalu, menguatkan pengawasan melalui Provos, Ombudsman, atau Komisi Kepolisian. Setelah itu, penegakan hukum bagi polisi yang menyeleweng.
Langkah Presiden Joko Widodo yang menyeret polisi ke dalam permainan politik tak boleh diteruskan. Seorang presiden harus memulai reformasi polisi dengan menempatkan mereka kembali sebagai polisi sipil yang mengurus hanya soal keamanan. Ejekan "Negara Kepolisian Republik Indonesia" jelas menunjukkan ada yang salah dalam menempatkan polisi pada tugas dan fungsinya.
Tanpa perubahan kurikulum di Akademi Kepolisian, pengawasan ketat, penegakan hukum, dan perubahan paradigma itu, polisi seperti Teddy Minahasa ataupun Ferdy Sambo yang membunuh anak buahnya dengan tangan dingin akan bermunculan dalam wajah baru, kejahatan baru, dengan modus baru.
(Sumber: Koran Tempo)