Perbedaan Pendapat: Antara Rahmat dan Permusuhan
Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
M Natsir juga merupakan salah satu tokoh penting ormas Persatuan Islam (disingkat Persis atau PERSIS) yang didirikan pada 12 September 1923 di Bandung.
Natsir dengan Soekarno pernah dekat dan akrab, bahkan ketika mereka berbeda pendapat pada banyak hal. Hal ini terjadi ketika Soekarno belum kehilangan watak demokratisnya yang mewujud dalam pembubaran Konstituante dan Demokrasi Terpimpin.
Saya cuplikkan dari buku "Percakapan Antar Generasi, Pesan Perjuangan Seorang Bapak":
Tadi Bapak (Natsir) mengemukakan tentang pertentangan dengan Bung Karno yang dilukiskan dengan ungkapan “dialog yang sehat”. Saya kira ini penting sekali dalam memahami ungkapan "perbedaan pendapat itu merupakan rahmat”, atau dalam dunia politik sebagai pengembangan “dinamika demokrasi”. Mungkin Bapak dapat menjelaskan hal ini lebih terinci lagi, kaitannya misalnya dengan bentuk pertentangan yang “tidak sehat”?
M Natsir: Bagaimana ya melukiskannya. Memang entah bagaimana, perbedaan pendapat di bidang politik waktu itu tidak otomatis menjadikan permusuhan. Demikian pula antara saya dengan Bung Karno, Bung Karno sebagai representasi Nasionalis (PNI) sementara saya sebagai representasi Islam (Persis, waktu itu Masyumi belum ada. Zaman pra-kemerdekaan). Kita memang sama-sama menghendaki kemerdekaan, tetapi motivasi kita berbeda, faham dan prinsipnya juga berbeda, tetapi kita tidak bermusuhan secara pribadi. Inilah yang saya maksud dialog yang “sehat”. Orang bisa berbeda pendapat, dan bahkan 180 derajat, tapi masih dapat berkomunikasi secara terbuka. Bahkan pada saat Bung Karno ditahan dipenjara oleh pemerintah penjajah, kamilah dari Persis yang pertama-tama menjenguknya. Bukan keluarganya atau teman-temannya. Kami membawa oleh-oleh sekedarnya, dan yang penting kami memberikan support moril. Saya teringat, pada waktu itu, Bung Karno begitu terharu.
Ada contoh lain, pada saat akhir tahun 40-an atau awal 50-an, saya lupa persisnya. Perbedaan pandangan saya dengan Bung Karno jelas makin nyata, saat itu, baik yang menyangkut konstitusi maupun pandangan-pandangan lain yang menyangkut masalah kenegaraan dan pemerintahan. Namun perbedaan pandangan ini tidak menjadi halangan untuk kami sarapan pagi bersama di Istana Negara Yogyakarta (Gedung Agung), waktu itu. Dan kami juga ngobrol sana ngobrol sini, seperti layaknya teman akrab.
Hal yang demikian ini rasanya sulit kita jumpai pada zaman sekarang ini. Apalagi di dunia politik, perbedaan sedikit saja seolah-olah sudah merupakan “permusuhan besar”, atau apa itu dalam bahasa Jawa “musuh bebuyutan”. Tidak mau komunikasi, tidak mau ketemu, apalagi berdialog. Masih perlu pendewasaan dalam cara kita berpolitik.