Perbandingan Hukum Islam dan Hukum Sekuler Barat
Dalam Islam pelaku pembunuhan harus diqisas atau dihukum mati juga.
Pengampunan hanya bisa diberikan dari keluarga korban. Setelah keluarga korban memaafkan, pihak pelaku wajib membayar denda ganti rugi setara 100 ekor Unta. Di Saudi, nilai denda juga dibolehkan sesuai keikhlasan keluarga korban.
Sebaliknya dunia Barat yang menjunjung tinggi HAM versi mereka, menegaskan bahwa hukuman mati harus dilarang. Dalam perspektif ini, hak hidup melekat sejak manusia dilahirkan dan negara tidak boleh mengambil paksa.
Hukuman mati dianggap bentuk hukuman yang sangat kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia (Amnesty International).
Sehingga kita bisa melihat penjagal massal, bahkan pelaku genosida (kejahatan terburuk dalam hukum internasional), mendapat fasilitas kamar penjara yang lebih nyaman daripada tempat tinggal kebanyakan warga Burundi dan Zimbabwe.
Teroris Anders Brievik yang membantai 77 orang pernah ngambek karena sudah bosan dengan PS2, ia stres dan tersiksa di kamar penjaranya lalu mogok makan untuk menuntut diberikan PS3. Lalu menggugat ke pengadilan bahwa selnya tidak manusiawi. Meski akhirnya kalah.
Brievik sendiri hanya dihukum penjara 21 tahun, alias 3 bulan per nyawa yang dia bunuh. Bahkan tahun lalu sudah mencoba mencari celah hukum agar mendapat pembebasan bersyarat.
Berbeda dengan aborsi, kelompok HAM Barat tidak menganggap janin sebagai sesuatu yang memiliki HAM, lha wong janin belum lahir jadi tidak punya HAM. HAM hanya dimiliki si pemilik rahim yang berhak mengambil pilihannya sendiri tanpa paksaan.
Menurut mereka, larangan aborsi berbahaya karena memicu praktek ilegal yang membahayakan pelaku aborsi. Seharusnya aborsi dibuka seluas-luasnya.
Makanya tidak heran, mereka lebih ribut membela nasib Ayam goreng daripada membela hak janin manusia yang dimutilasi saat dikeluarkan paksa (aborsi).
(Pega Aji Sitama)