MK, Ada Apa di Balik Kejar Tayang Kursi KPK?
Oleh: Bivitri Susanti
Ahli Hukum Tata Negara, Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera
ADA apa di balik putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun? Wajar bila pertanyaan ini muncul karena terlalu banyak kejanggalan dalam putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 itu. Putusan tersebut diajukan pada akhir November 2022 dan diputus hanya enam bulan setelahnya. Putusan keluar saat panitia seleksi pemilihan pimpinan KPK yang seharusnya diganti pada Desember 2024 sedang dipersiapkan pemerintah.
Bukan isu konstitusional
Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi berargumen bahwa mereka harus memberikan perlakuan yang adil dan sama kepada KPK sesuai dengan prinsip keadilan. Isu keadilan itu diletakkan dalam konteks kesamaan masa jabatan KPK dengan berbagai lembaga independen lainnya, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsman, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada 12 lembaga yang disebutkan sebagai perbandingan.
Harus dipahami bahwa keadilan yang dimaksud dalam UUD 1945 sebenarnya keadilan dalam konteks hak asasi manusia, bukan dalam hal kesamaan desain kelembagaan. Desain kelembagaan, selain prinsip umum yang diatur dalam konstitusi bagi lembaga yang diatur di dalam konstitusi, merupakan keputusan politik yang seharusnya diambil pembuat undang-undang. Isu tersebut bukanlah pertanyaan konstitusional yang harus dijawab Mahkamah Konstitusi.
Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi sendiri sudah sangat memahami pembedaan antara isu konstitusional dan isu politik hukum kewenangan pembuat undang-undang dengan menamai jenis persoalan itu sebagai 'kebijakan hukum terbuka' atau 'open legal policy'. Jika Mahkamah Konstitusi mengurusi soal ini, ia sudah mengambil peran sebagai pembuat undang-undang.
Apakah suatu ketentuan dalam undang-undang ialah kebijakan hukum terbuka memang suatu hal yang selalu bisa diperdebatkan. Namun, cukup terang bahwa masa jabatan ialah keputusan politik yang bukan isu konstitusional. Apalagi saat batu uji yang digunakan ialah soal keadilan yang berada dalam konteks hak asasi secara sangat gegabah diberi makna baru sebagai kesamaan masa jabatan bagi lembaga-lembaga.
Seperti dikatakan empat hakim yang berpendapat berbeda, putusan semacam itu bisa memicu permohonan-permohonan berikutnya mengenai perbedaan masa jabatan pimpinan di pelbagai lembaga yang tentu saja sangat bisa berbeda-beda. Desain kelembagaan ditentukan banyak faktor, antara lain, fungsi, tujuan dan cara lembaga bekerja, serta kedudukan lembaga dalam kaitannya dengan lembaga lain. Bukan sekadar penyamarataan.
Konteks politik
Putusan tersebut juga cukup unik karena terkesan 'kejar tayang'. Hal itu dinyatakan sendiri oleh lima hakim yang mengabulkan di dalam pertimbangan hukumnya dengan menyatakan bahwa mereka harus memberikan kepastian hukum bagi proses pemilihan yang akan segera terjadi. Padahal, perlakuan yang sama tidak diterapkan untuk banyak isu lainnya yang membutuhkan kepastian hukum bagi masyarakat luas. Lihat saja, misalnya, permohonan uji formil terhadap Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan pada 15 Oktober 2020 dan diputus lebih dari setahun setelahnya, yaitu 25 November 2021.
Pertanyaan yang lebih mendasar untuk ditanyakan, meski tak menjadi bagian dari argumen Mahkamah Konstitusi, apakah ada urgensi untuk mengubah masa jabatan ini sekarang juga? Apakah benar selama 20 tahun ini KPK tidak efektif bekerja dengan periode empat tahun? Nyatanya, sejak mulai beroperasi pada 2003, masa jabatan tidak pernah menjadi penghambat kerja KPK. Yang menjadi penghambat ialah institusi-institusi lain yang merasa terpojok dengan kehadiran KPK karena korupsi mereka terungkap dan tak lagi leluasa merampok uang negara.
Sampai akhirnya para politikus, pihak yang merasa paling dirugikan dengan kinerja KPK, berkeputusan mengubah berbagai aspek kelembagaan KPK sehingga menjadi sangat lemah. Ditambah lagi pemerintah dan DPR pula yang berkontribusi pada pelemahan KPK dengan memilih pimpinan yang mempunyai rekam jejak buruk.
Salah satu dari pimpinan itu pula yang memohonkan perkara tersebut, Nurul Ghufron. Tentu saja mengajukan permohonan pengujian undang-undang ialah hak konstitusional setiap orang. Namun, patut pula kita bertanya secara kritis mengenai motivasi pemohon. Mengapa ia begitu menginginkan untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri? Apakah ia sudah menganalisis mengenai urgensi ini secara matang? Bukankah daripada mengurusi perkara di Mahkamah Konstitusi yang ia ajukan sejak akhir November tahun lalu seharusnya ia lebih berkonsentrasi pada kinerjanya yang akan berakhir Desember 2024? Perlu dicatat perkara itu memutus dua hal. Bukan hanya soal perpanjangan masa jabatan, melainkan juga tambahan kata yang menyebabkan Nurul Ghufron dapat kembali mencalonkan diri nantinyameskipun belum memenuhi syarat usia 50 tahun karena ia berpengalaman sebagai pimpinan KPK.
Untuk pimpinan periode berikutnya
Putusan tersebut menyisakan satu persoalan penting: kapan ia efektif diberlakukan? Apakah untuk pimpinan saat ini yang masa jabatannya akan segera berakhir atau untuk pimpinan berikutnya? Hal itu tidak dinyatakan dengan terang dalam amar putusan, tetapi kita bisa menggunakan nalar hukum untuk menjawabnya.
Prinsipnya, putusan pengadilan bersifat nonretroaktif atau tidak diberlakukan mundur. Putusan tersebut efektif berlaku sejak dibacakan pada 25 Mei 2023. Yang mesti dipahami, keberlakuan putusan itu harus diletakkan dalam konteks periode masa jabatan. Bila diberlakukan untuk pimpinan yang sekarang, sebenarnya putusan diberlakukan mundur karena periode ini dimulai pada 2019. Putusan ini harusnya diterapkan untuk pimpinan KPK baru yang akan dipilih pada Desember 2023 nanti sehingga mereka menjabat sampai 2028.
Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) juga mensyaratkan agar setiap keputusan yang akan memberikan keuntungan bagi pihak-pihak yang menduduki jabatan tertentu harus diterapkan pada masa jabatan yang berikutnya. Mahkamah Konstitusi bukanlah pengadilan yang memutus sengketa perorangan sehingga putusannya berlaku bagi pemohon saja. Justru karena putusan Mahkamah Konstitusi berlaku bagi semua (erga omnes) dalam konteks konstitusional, kepentingan dan prinsip yang lebih menguntungkan bagi warga harus dijadikan pertimbangan utama.
Pemerintah tidak perlu kebingungan untuk terus melanjutkan proses pemilihan pimpinan KPK yang baru dengan membentuk panitia seleksi. Bila putusan itu diterapkan saat ini, justru pemerintah akan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi dan kembali kita dapat mempertanyakan ada apa di balik perkara yang diputuskan terburu-buru dan argumen yang sangat lemah itu. Apalagi juru bicara Mahkamah Konstitusi yang sebenarnya tak berwenang menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi dan beberapa pejabat di pemerintahan lekas memberikan komentar untuk segera memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK yang sekarang.
Jangan menjadi rekam jejak buruk MK
Yang perlu dijadikan bahan refleksi dari putusan tersebut ialah bertambah panjangnya daftar putusan kontroversial yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi. Dalam perkara pengadilan, soalnya bukan menang atau kalah. Kritik banyak orang, termasuk yang dituangkan dalam artikel ini, bukan disebabkan 'kekalahan' dalam hal isu yang diadvokasikan, melainkan karena pertimbangan hukum yang sangat lemah. Kita tidak boleh melupakan, pertanggungjawaban hakim ada pada pertimbangan hukumnya.
Bila keseluruhan putusan itu dibaca dengan baik, terlihat argumen yang jauh lebih meyakinkan dari empat hakim yang berbeda pendapat: Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams. Namun, dengan komposisi empat banding lima, argumen yang lebih baik hanya bisa dicatatkan dalam putusan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari hakim. Akan tetapi, dalam konteks ini, tak keliru ketika kita sering kali harus bertanya kritis tentang siapa saja yang dipilih menjadi hakim konstitusi: apa latar belakang mereka dan putusan macam apa yang mereka hasilkan.
(Sumber: Media Indonesia, 29 Mei 2023)