Mengenal Nabi SAW Lebih Dekat
Oleh: Dr. Ahmad Sarwat (Penulis Buku)
Orang bilang tak kenal maka tak cinta. Maka jangan bicara cinta nabi kalau belum kenal seluk beluk kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Satu fakta yang sering kurang kita sadari, jarak antara zaman Nabi SAW sampai ke zaman kita terpaut 14 abad. Selama itu sudah begitu banyak perkembangan dan perubahan dalam kisi-kisi kehidupan. Apa yang dulu ada kemudian jadi tidak, sebaliknya apa yang tiada kini malah ada.
Buku ini bukan buku Sirah Nabawiyah, namun tetap sangat lekat dan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan Beliau SAW.
Bedanya, kalau Sirah Nabawiyah bicara alur kejadian peristiwa serta tokoh-tokohnya, sedangkan buku kecil ini mengupas hal-hal keseharian yang lebih teknis seputar kehidupan Nabi SAW.
Misalnya buku ini mengupas tentang apa saja menu yang dikonsumsi oleh orang-orang dimasa itu, baik bentuk atau jenis makanan dan minuman.
Kenapa hal-hal sepele kayak gitu yang dibahas?
Karena biar bagaimana pun, apa yang orang-orang Mekkah atau Madinah makan dan minum di masa itu, itulah yang dimakan dan diminum oleh Nabi SAW.
Maka akan jadi logis kenapa Nabi SAW bayar zakat fithr tidak pakai beras apalagi uang, tapi malah pakai gandum atau kurma, karena memang dua menu itulah yang dimakan orang-orang disana kala itu.
Jangan dibayangkan Nabi SAW bagi-bagi nasi bungkus, karet satu lauk telur, karet dua lauk ayam atau rendang.
Buku ini juga bicara terkait kebiasaan mereka dalam berpakaian dan juga alat-alat rumah tangga. Jangan dibayangkan Nabi SAW pakai kopiah, Koko dan sarung, lantas kemana-mana bawa sajadah. Dan jangan pernah mengira Beliau mengenakan gamis dan ghutrah seperti yang dikenakan orang Arab Saudi hari ini.
Dan pastinya Nabi SAW tidak pakai celana panjang yang ujungnya dipotong di atas mata kaki. Soalnya orang Mekkah dan Madinah masa itu kemana-mana tidak pakai celana panjang cingkrang. Mereka pakai izar (semacam sarung atau kain bawahan) dan bukan celana panjang.
Khusus mengenai rumah, ternyata di masa itu belum ada WC dan kloset di dalam rumah. Jadi umpama mau buang hajat, orang-orang di masa itu kudu keluar rumah dan perkampungan, menuju gurun pasir. Dan mereka hanya melakukannya di malam hari, soalnya malu sama onta.
Pastinya tidak ada air untuk cebok, jadi mereka gunakan batu. Istilahnya istijmar, yaitu cebok pakai batu. Sumpah seumur-umur saya belum pernah menjalankan sunnah yang satu ini. Dan pastinya di masa itu belum ada jasa sedot WC.
Masjid di masa itu juga belum dipasangi keramik, semen, tikar, sajadah atau pun karpet. Masjid hanya beralaskan tanah. Jamaah masuk masjid tidak perlu lepas alas kaki, bahkan orang-orang shalat tetap beralas kaki.
Pastinya dimasa itu di masjid tidak ada tempat penitipan sendal, tapi juga tidak pernah ada kasus shahabat kehilangan sandal kayak di zaman kita sekarang.
Pertanyaannya: dengan segala detail yang diceritakan buku ini, apakah kita hari ini kudu kembalikan peradaban modern abad 21 ini dengan peradaban abad ke-7 seperti di masa kenabian? Ataukah kita kudu memilah dan memilih mana yang dikembalikan dan mana yang tidak perlu?
Kalau memang dipilih-pilih kayak begitu, lantas kriteria pemilihannya apa? Kaidah-kaidah apa yang harus digunakan dalam urusan pilah memilah ini? Kalau ada yang beda dalam memilih, bisakah mereka yang beda pilihannya dengan pilihan kita lantas kita tuduh bahwa dia tidak cinta Nabi?
Link pemesanan : rumahfiqih.com/buku/1/37