Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
Dalam persoalan qunut shubuh (sebagai contoh), saya tidak berusaha mengajak (apalagi memaksa) anda untuk meyakini bahwa qunut shubuh itu sunnah, atau sebaliknya bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan.
Yang saya lakukan, mencoba menjelaskan kepada anda, bahwa ulama mu'tabar (ulama-ulama besar/terkenal) memang berbeda pendapat tentang hukum qunut shubuh tersebut, ada yang menyatakan ia sunnah, ada juga yang menyatakan ia tidak disyariatkan. Kadang dengan menyebutkan istidlal masing-masing, agar anda tahu bahwa masing-masing pendapat itu ada landasan dalilnya.
Saya juga akan menjelaskan, bahwa ikhtilaf (perbedaan) ulama itu hal yang wajar sekali, hal yang biasa dalam fiqih Islam, dan bukan sebuah penyimpangan. Karena itu, kita perlu menyikapinya secara tepat.
Saya pribadi tentu punya pilihan pendapat sendiri, dan kadang saya sampaikan hal tersebut. Namun itu sekadar penyampaian saja, kalau ada yang mengambil pendapat yang sama, silakan. Kalau pun mengambil pendapat berbeda, tidak masalah. Saya tidak fokus untuk mengajak anda mengikuti pendapat saya.
Fokus saya adalah, bagaimana anda bisa menyikapi ikhtilaf ulama itu dengan tepat. Dan alhamdulillah, hal ini secara konsisten telah saya lakukan selama belasan tahun. Namun sayangnya, di sisi lain, ketidakpahaman tentang hal semacam ini, terus berulang setiap tahun. Ada yang dengan aktor yang sama. Banyak pula yang berasal dari aktor pendatang baru.
Masih saja ada yang kerasnya setengah mati, menyikapi ikhtilaf ulama. Seakan yang tidak memilih pendapatnya, akan terjerumus ke dalam neraka.
Ada juga yang menyamakan ikhtilaf ulama yang mu'tabar, seperti penyimpangan ajaran agama yang qath'i, sampai-sampai misalnya menganggap Muhammadiyah yang mengakui hisab falaki, sama dengan Ahmadiyah yang punya Nabi sendiri (Nabi palsu) setelah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ada yang senangnya mengejek yang beda pendapat, sampai muncul lontaran semisal "wuquf di Monas", "bani 3 derajat", dan berbagai ejekan lainnya, yang jauh dari nuansa diskusi ilmiah, apalagi ukhuwah Islamiyyah.
Karena itu, mari belajar lagi, bagaimana sikap yang tepat dalam menyikapi ikhtilaf ulama yang mu'tabar.
(*)