Ketika perempuan memilih penjara Taliban
Orang mengira bahwa Taliban adalah biang kerok "pernikahan paksa" di Afghanistan. Padahal kenyataannya tidak demikian. Kawin paksa di usia dini adalah budaya masyarakat yang tak ada kaitannya dengan ajaran Islam.
Di sebuah sudut kota Kandahar, terdapat penjara wanita. Namun penghuninya ternyata tak cuma wanita yang tersangkut masalah pelanggaran hukum syariat.
Sebagian adalah wanita yang kabur dari rumah atau dari suaminya karena menjalani kawin paksa. Mereka merasa terancam oleh keluarga suami maupun keluarganya sendiri.
Karena tak ada lagi tempat berlabuh, para wanita ini datang kepada Taliban untuk meminta perlindungan, lalu ditempatkan ke tempat penampungan khusus wanita.
Salah satu korban dipaksa menikah oleh kakak laki-lakinya dengan kakek tua. Sang kakak mendapat uang. Sementara ia hidup menderita. Ketika dia menuntut khulu' (cerai), sang kakak malah mengancam membunuhnya.
Lain lagi dengan seorang wanita yang lebih tua. Dia mengalami KDRT terus-menerus. Karena tak kuat dia pun melapor kepada polisi Taliban.
Mengetahui dirinya dilaporkan sang suami langsung mencerai istrinya. Bahkan yang lebih menyakitkan, sang anak yang masih kecil diserahkan hak asuhnya pada orang lain, alias dijual oleh suaminya.
Uang dari penjualan anak mereka dipakai suaminya kawin lagi.
Masalah pelik kemudian menyusul, apa yang dilakukan para wanita ini ketika masalahnya selesai nanti dan harus keluar dari penampungan. Keluarganya telah membuang mereka.
Seorang anggota Taliban pernah berkata bahwa perang itu lebih mudah daripada memerintah. Saat perang masalah mereka cuma 1, tapi saat memerintah masalah yang datang bisa ribuan.
Memang begitulah hukum Islam, untuk menegakkannya butuh perjuangan berdarah-darah. Dan untuk menerapkan pun butuh pikiran, tenaga dan effort yang kuat. Jangan sampai saat belum tegak kita ikut memperjuangkan, tapi setelah tegak, kita orang pertama yang dihukum cambuk.
Karena itulah Allah memberikan ganjaran yang tak main-main atasnya.
(Pega Aji Sitama)