[PORTAL-ISLAM.ID] Selama berhari-hari, berbagai berita di Amerika Serikat (AS) dan Eropa menjajakan narasi tentang kemenangan pasti bagi kubu oposisi. Hasilnya, pemimpin oposisi CHP Kemal Kilicdaroglu meraih hasil berantakan saat penghitungan pencoblosan pada Ahad (16/5/2023) malam waktu setempat.
Pemilihan nasional di Turki telah menempatkan Erdogan unggul melawan Kemal Kilicdaroglu, yang berasal dari kubu oposisi dengan enam partai. Namun, Pemilihan Presiden (Pilpres) Turki bakal berlangsung dua putaran. Hal itu setelah dari penghitungan resmi, Erdogan mengumpulkan suara 49,51 persen, atau kurang sedikit dari ambang batas 50 persen yang menang satu putaran.
Di parlemen, AKP yang didirikan Erdogan bersama sekutunya, yaitu MHP dan Yeniden Refah memenangkan mayoritas kursi. Erdogan dan Partai AK telah memenangkan lebih dari selusin pemilihan sejak mereka pertama kali memimpin di Ankara pada 2002.
Berbagai pemberitaan di luar negeri sudah menyimpulkan jika pemerintahan Erdogan benar-benar berakhir pada akhir pekan kemarin. Kesan bahwa pemberitaan memastikan kemenangan bagi oposisi tidak dapat dihindarkan.
"Banyak outlet berita Barat dengan sengaja ingin menggambarkan oposisi sebagai pemenang masa depan karena mereka terobsesi (iri dan dengki) dengan Presiden Turkiye yang karismatik, sukses, dan sangat disayangi," kata Klaus Jurgens, seorang analis politik yang berbasis di Istanbul.
"Ini semua adalah kualitas yang tidak dimiliki pemimpin mereka sendiri-lagi," katanya menyindir media Barat kepada TRT World.
Mengapa media Barat salah paham?
Erdogan, seorang Muslim yang taat, secara khas mengakhiri hari kampanye di Masjid Agung Ayasofya, dengan pembacaan ayat-ayat Alquran.
Ayasofya alias Hagia Sophia dikembalikan menjadi masjid pada 2020 oleh keputusan Presiden Erdogan, atau 80 tahun setelah diubah menjadi museum oleh Kemal Ataturk pasca runtuhnya Khilafah Turki Utsmani.
"Erdogan belum tentu tunduk pada Barat," kata Yasser Louati, seorang analis politik Prancis, menyebut kenapa Barat tidak suka dengan Presiden Turki itu.
"Barat menyukai rezim boneka. Mereka menyukainya ketika para pemimpin asing tunduk pada kepentingan mereka dan meniru nilai-nilai mereka," kata Louati.
Misalnya, dia mencontohkan, Prancis tidak senang ketika Pemerintah Turki mencabut larangan perempuan mengenakan jilbab di sekolah dan universitas pada tahun 2000-an. Hal itu hasil kebijakan Erdogan semasa memimpin.
Di bawah Erdogan, Ankara tidak segan-segan meregangkan otot diplomatik dan militernya di wilayah tersebut. Dari Suriah, Libya, hingga Mediterania timur, Turki telah muncul sebagai pemain utama, dan berani berhadapan dengan negara Barat. Hal itu tentu tidak disukai Barat.[Republika]