Oleh: Ustadz Chandra Hafizun Alim
Saat saya ke Turki saya mengunjungi beberapa kota selama 11 hari. Saya berharap banyak bertemu muslimah berjilbab di jalan-jalan, tapi ternyata sangat sedikit jumlahnya kecuali di tempat-tempat sejarah Islam atau masjid.
Berbanding terbalik dengan di Indonesia, saya melihat, hampir semua muslimah berjilbab. Tidak hanya di masjid, tapi juga di mall-mall, di pasar-pasar, di tempat-tempat wisata. Yang tidak berjilbab dapat dihitung jari.
Bagi saya itu merupakan petunjuk bahwa penyakit sekulerisme di Turki sudah sangat parah. Turki seperti orang-orang Barat dalam memandang agama, sekalipun yang dipandangnya itu Islam, bukan Kristen. Di Turki tidak aneh namanya muslim tapi mengaku ateis.
Upaya Erdogan memunculkan "dindar nesil" atau "generasi saleh" dengan berbagai "aplikasi" dari dakwah, politik, hukum, masjid, dst, sangat menemui hambatan dan kerap dipandang penuh curiga oleh lawan politiknya sebagai upaya ke arab-araban dan islamisasi. Dan kemudian menuduh, jika terjadi kemunduran secara ekonomi dan duniawi, sebagai akibat dari upaya-upaya Erdogan itu.
Umur Erdogan ada masanya. Tapi sebagai manusia dia memberikan apa yang dia bisa, untuk mewarnai Turki dengan Islam. Jika fase Erdogan berakhir, semoga ada penerusnya, setidaknya Turki dan Dunia Islam mengingatnya sebagai sosok yang berusaha menghadirkan Islam dan sejarahnya dalam pentas kepemimpinan di Turki dan dunia.