ERDOGAN MENANG: RUSIA-CINA GIRANG, AMERIKA-NATO NELANGSA

ERDOGAN MENANG: RUSIA-CINA GIRANG, AMERIKA-NATO NELANGSA

By Faisal Lohy

Proses pemilu Turki yang melanggengkan Erdogan ke dekade ke-3, memiliki ketertarikan dan cita rasa global. Banyak negara dunia menaruh perhatian, memotret secara khusus, bahkan turut bermanuver secara ilegal untuk menentukan berjalannya proses pemilu.

Menariknya lagi, sebagian negara dunia justru menunjukan sikap kontradiktif memaknai kemenangan Erdogan!!!

Amerika, salah satu negara dunia yang dilaporkan Reuters ketar-ketir jika Erdogan berhasil kalahkan rivalnya, Kemal Kilicdaroglu. Kini kecemasan “Paman Sam” menjadi kenyataan. Hasil putaran kedua, memastikan Erdogan “hattrick” tiga periode. Apakah Amerika nelangsa?

Sikap kontradiksi Amerika terhadap Erdogan bukan hal baru. Sepanjang satu dekade terakhir, di bawah kepemimpinan erdogan, Amerika, NATO dan sekutu “Barat” memotret Turki sebagai negara gagal dalam pelaksanaan demokrasi. Turki disebut sebagai “flawed Democracy”. Freedom House bahkan menempatkan indeks demokrasi Turki pada urutan 103 dari 167 negara dunia.

Kedaaan tersebut berbeda dengan kepemimpinan Erdogan selama menjabat tiga periode sebagai perdana menteri Turki dari 14 Maret 2003 hingga 28 Agustus 2014. Sepanjang periode ini Turki terlibat hubungan mesrah dengan Amerika dan Blok Barat. Erdogan berjasa sebagai tangan Barat dalam penerapan Demokrasi liberal seiring pelunakan paham Sekularisme di Turki.

Pada sisi ekonomi, lewat kebijakan moneter dan fiscal yang berorientasi neoliberal, Erdogan sebagai perdana menteri, sukses mengantarkan industri Turki masuk Free Trade dalam penerapan sistem mekanisme pasar yang sempurnah.

Hasilnya, periode 2003-2015, Turki mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata 5,4% per tahun. Pencapaian ini merupakan implikasi serangkaian kebijakan reformasi structural pemerintahan AKP. Sebagai perdana menteri, Erdogan sukses mendorong privatisasi BUMN dan deregulasi sector kunci untuk diintervensi modal asing. Reformasi yang didanai IMF ini, membantu mengurangi inflasi dua digit Turki serta meningkatkan investasi asing langsung ke dalam negeri.

Memasuki tahun 2017, era kekajayaan ekonomi Tukri berakhir. Kejatuhan nilai tukar, melonjaknya Inflasi, turunnya kinerja industry, utang meningkat serta penurunan daya beli masyarakat menjadi tantangan serius. Bahkan pada Oktober 2022 lalu, Trading Economics mencatat inflasi Tukri mencapai 85%. Level tertinggi sejak tahun 1998 dan menjadi salah satu paling buruk di dunia.

Menariknya, lonjakan inflasi tersebut merupakan hasil eksperimen Kebijakan Moneter Erdogan yang merespon kenaikan inflasi dengan cara menurunkan suku bunga bank sentral. Kebijakan yang berlawanan dengan pendeketan moneter lazim dalam teori ekonomi konvensional ini, pada gilirannya membuat Lira tertekan hingga kehilangan nilainya terhadap Dollar Amerika sekitar 77% dalam 5 tahun terakhir.

Secara teoritikal, desakan suku bunga murah, sama halnya dengan Erdogan memilih untuk tidak merespon inflasi jangka pendek dan membiarkan mata uang Turki melemah. Dalam kaitan ini, Erdogan seperti sedang berusaha untuk melepaskan ekonomi Turki dari ketergantungan utang di pasar modal dan obligasi dengan cara memanfaatkan suku bunga murah dan kejatuhan nilai tukar untuk menggairahkan ekspor.

Di satu sisi, dengan membiarkan mata uangnya merosot, Erdogan seperti sedang berusaha melepaskan ekonomi Turki dari jeratan mekanisme pasar bebas Amerika dan Blok Barat. Karena dampak desakan suku bunga rendah, kredit berlimpah, orientasi ekspor, manajemen pasar yang lebih tertutup, membuat investor asing merugi dan melarikan diri.

Kenyataan tersebut menunjukan, Erdogan sedang meluncurkan perang ekonomi untuk membebaskan Turki dari belenggu sistem ekonomi neoliberal yang sudah dipasang Amerika lewat IMF, sejak Reformasi struktural Turki di bawah kendali Erdogan dan AKP di awal era 2000-an lalu.

Kebijakan Erdogan mendapat penentangan dari para taipan bisnis yang telah mendukungnya selama 19 tahun. Misalnya, Asosiasi Bisnis dan Industri Turki telah mengeluarkan teguran keras kepada Erdogan, bahwa: pilihan kebijakan yang diterapkan tidak hanya menicptakan masalah ekonomi baru untuk bisnis, tetapi untuk semua warga Turki.

Akibat larinya modal asing, Peringkat kredit Moody’s and Fitch Amerika, sejak 2016 menurunkan tingkat investasi Turki di level “sampah”. Setara dengan Bolivia dan Kamerun.

Merespon hal tersebut, para taipan mendesak Erdogan untuk meninjau 'kerusakan' ekonomi Turki dan segera menerapkan kembali prinsip ekonomi dalam kerangka ekonomi pasar bebas. Erdogan tidak peduli. Bahkan untuk mengencangkan desakan suku bunga rendah, Erdogan tidak segan memecat Gubernur Bank sentral yang berlawanan.

Melawan sikap Erdogan, para Taipan, memindahkan dukungannya kepada Rivalnya. Berusaha memprovokasi masyarakat luas, para Taipan berharap calon oposisi bisa menang dan mengakhiri kebijakan non-ortodoks Erdogan.

Berpindahnya dukungan mayoritas Taipan dari Erdogan ke calon oposisi terlihat dari lonjakan angka Credit Default Swap (CDS) yang mengukur biaya untuk mengasuransikan paparan utang Turki. Menurut data Refinitif, CDS 5 tahun Turki diperdagangkan sekitar 664,18 basis poin, menandai kenaikan 20% dari level 550 basis poin sebelum run-off (pilpres putaran kedua).

Keaikan CDS mencerminkan keyakinan pelaku pasar bahwa kebijakan yang dijanjikan oposisi politik tampaknya merupakan satu-satunya cara untuk mengeluarkan ekonomi Turki dari potensi krisis hebat akibat kebijakan bunga murah Erdogan.

Bank Wall Street City memperediksikan, jika oposisi berhasil menyingkirkan Erdogan dan menaikan suku bunga Turki dari 8,5% saat ini menjadi 50%, maka modal asing dapat kembali masuk sekitar US$ 900 miliar hanya dalam setahun. Inflasi turun, nilai tukar membaik, industry kembali bergairah, konsumsi domestic meningkat, daya beli masyarakat meningkat.

Namun mimpi para taipan dan oposisi lokal harus kandas dengan kembali terpilihnya Erdogan. kekecawaan para taipan lokal dan global terlihat dari anjloknya mata uang lira 0,57% saat terpilihnya Erdogan di putaran kedua. Bloomberg mencatat, hingga senin soreh, Lira Anjlok TRY 20,08/US$. Level paling rendah sepanjang sejarah Turki, hamper sama dengan kejatuhan pada keunggulan Erdogan di Putaran Pertama.

McKenna memprediksikan, seiring dengan keluarnya modal asing akibat kekecewaan Investor terhadap terpilihnya Erdogan, Lira akan terus terperosok ke level terendah baru TRY 23/US$ pada akhir kuartal II dan TRY 25/US$ pada awal tahun 2024.

Menariknya, perlawanan terhadap Erdogan bukan cuma datang dari para Taipan dan oposisi lokal. Amerika secara terang-terangan, turut mengendalikan pesaing internasional menyingkirkan Erdogan. Berbagai media domestik Ankara memotret manuver Duta Besar Amerika, Jeff Flake di Ankara sebelum pemilu digelar.

Flake melakaukan pertemuan dengan oposisi sekaligus rival Erdogan dalam pemilu, Kilicdaroglu dan Koalisi Kebangsaan (Millet Ittifaki) di markas Partai Rakyat Republik pada April 2023 lalu. Manuver yang dilakukan Flake sejalan dengan orientasi Joe Biden saat kampanye di 2020 lalu. Bocoran informasi pembicaraan memicu emosi Erdogan dan menuding Amerika telah mencampuri urusan pemilu Turki.

Sikap kontrodaktif Amerika terhadap Turki bukan cuma soal kepemimpinan Erdogan yang memberangus Demokrasi, keluar dari pendulum ekonomi pasar berbasis neoliberal, mengusir investor Amerika dan sekutu Barat. Lebih penting dari itu, keakraban Turki dengan Cina dan Rusia, sejauh ini telah berbuntut pada meningkatnya perlawanan Turki terhadap kepentingan Amerika dan NATO di beberapa benua.

Erdogan berulang kali membuat bingung Joe Biden terkait perang Rusia-Ukraina. Selama ini Erdogan berusaha menjadi mediator krisis Ukraina. Turki bahkan menjadi tuan rumah pembicaraan damai Rusia-Ukraina. Ditengah desakan Amerika dibalik krisis Ukraina, Erdogan tidak sedikitpun mengambil jarak dari Putin.

Kedekatan keduanya juga berujung pada persetujuan Putin memenuhi permintaan Erdogan untuk menghapus blokade ekspor gandum Ukraina ke negara-negara yang membutuhkannya.

Turki terus menguatkan kemitraan dagang dengan Putin. Hasilnya menakjubkan, sepanjang 2022 lalu, Turki mencatat kenaikan ekspor 13% dengan catatan penjualan capai US$ 254 milar setara Rp 3.964 triliun. Pencapaian ini membuat lega ekonomi Turki meskipun masih dibayangi inflasi dan kemosortan mata uang Lira.

Amerika merespon eratnya kedekatan dagang Erdogan dan Putin lewat pengiriman surat Ancaman Sanksi Ekonomi lanjutan yang dikirim langsung ke kementrian luar negeri dan kementrian keuangan Tukri. Amerika membaca gerakan Erdogan yang berusaha membantu Putin terhindar dari sanksi pembatasan Finansial dan Perdagangan dari Amerika dan Eropa Barat kepada Rusia akibat invasi Moskow ke Ukraina.

Sebagaimana pernyataan wakil menteri keuangan Amerika, Wally Adeyemo yang dimuat The Wall Street Journal: “Surat Peringatan, Bahwa Perusahan dan bank-bank Turki berada dalam bahaya dijatuhi sanksi. Setiap Individu atau Entitas yang memberikan dukungan maerial kepada orang-orang yang ditetapakn oleh Amerika berisiko terkena sanksi.”

Sebelumya, pada 2017, Turki sudah lebih dulu diberi sanksi oleh Amerika menyusul keputusan Erdogan yang secara kontroversial membeli sistem pertahanan rudal S-400 milik Moskow. Erdogan juga memblokir usaha Amerika untuk memasukan Swedia dan FInlandia menjadi anggota NATO.

Penjegalan Erdogan bukan tanpa alasan. Erdogan menuntut Swedia untuk merepatriasi anggota Partai Pekerja Kurdistan. Kelompok yang masuk daftar organisasi teroris Pemerintah Turki. Permintaan ini secara langsung menunjukan serangan Erdogan terhadap Joe Biden yang juga mendukung anggota KKP Kurdistan.

Pada akhirnya, kemenangan Erdogan memasuki periode ketiga, melanjutkan ketidakharmonisan Turki dan Amerika, NATO serta Blok Barat. Erdogan diperkirakan akan terus melanjutkan kebijakan kontradiksi terhadap kepentingan musuh-musuh Rusia dan Cina. Sejauh ini Erdogan tetap kekeh menendang keluar demokrasi liberal, meninggalkan kebijakan ekonomi Neoliberal, mempertahankan kebijakan moneter non-ortodoks.

Erdogan memotong 30% pinjaman luar negeri Bank Sentral, mendesak penurunan suku bunga, mengabaikan inflasi, membiarkan Lira jatuh untuk sementara demi memutus ketergantungan Turki terhadap modal asing, mengusir investor Amerika dan Blok Barat serta mengeluarkan ekonomi domestik dari jerat mekanisme pasar yang menjajah.

Semua itu layak membuat Amerika, Blok Barat dan NATO nelangsa. 

(*)
Baca juga :