Di Balik Keunggulan Erdogan dalam Pertarungan Politik Tersulitnya
Presiden petahana Turki Recep Tayyip Erdogan mematahkan banyak survei dan jajak pendapat yang memprediksi dia akan kalah dalam pemilu presiden tahun 2023. Hasil pemungutan suara, Minggu (14/5/2023), menunjukkan Erdogan meraup dukungan 49,5 persen suara, sedangkan kandidat oposisi Kemal Kilicdaroglu 44,9 persen suara.
Kandidat kubu nasionalis, Sinan Ogan, meraih 5,2 persen. Angka partisipasi pemilih sangat tinggi, yakni 88,9 persen. Mengingat tak ada kandidat mengumpulkan lebih dari 50 persen suara, pemenang pemilu akan ditentukan pada putaran kedua, 28 Mei mendatang.
“Dia (Erdogan) berulang kali punya ‘debu ajaib’,” kata Timothy Ash, ahli ekonomi pasar, dalam catatan kepada para kliennya. “Dia baru saja menyatukan Turki—kubu nasionalis, konservatif, dan Muslim.”
Bukan hanya unggul pada pemilu presiden, koalisi Erdogan juga memetik kemenangan pada pemilu parlemen. Koalisi Kerakyatan yang mengusung Erdogan terdiri dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), Partai Persatuan Besar (BBP), Partai Kesejahteraan Islam Baru (YRP), dan Partai Islam Sunni Kurdistan (HUDAPAR).
Mereka mengamankan 322 kursi dari 600 kursi di Majelis Nasional. Oposisi mengumpulkan 213 kursi. Sisanya, yakni 65 kursi, jatuh ke kubu aliansi kiri dan pro-Kurdi.
Oposisi dari Koalisi Kebangsaan terdiri enam partai, yaitu Partai Rakyat Republik (CHP) pimpinan Kilicdaroglu, Partai IYI (Kebaikan) yang dipimpin Meral Aksener, Partai Saadet (SP) pimpinan Temel Karamollaoglu, Partai Demokrat (DP) pimpinan Gultekin Uysal, Partai Demokrasi dan Progresif (DEVA) yang diketuai Ali Babacan, serta Partai Masa Depan (GP) pimpinan Ahmet Davutoglu.
Apa yang membuat Erdogan (69) dan koalisinya masih mendapat dukungan cukup kuat di tengah krisis ekonomi yang saat ini membelit Turki? Belum lagi sorotan atas lambannya pemerintahan Erdogan dalam menangani bencana gempa di wilayah selatan, Februari lalu. Bencana itu menelan korban jiwa lebih dari 50.000 orang.
Bahkan, menurut kantor berita yang dikelola pemerintah, Anadolu Agency, partai pendukung Erdogan mendominasi perolehan suara di wilayah-wilayah yang dilanda gempa. Mereka memenangi 10 dari 11 provinsi di wilayah tersebut. Sebelum gempa, wilayah-wilayah itu memang dikenal sebagai basis pendukung Erdogan. Artinya, sorotan negatif terhadap pemerintahan Erdogan dalam menangani gempa tak sampai menggerus loyalitas mereka.
Faktor lain yang semula diperkirakan bakal melunturkan dukungan pada Erdogan adalah masalah ekonomi. Sebelum pemilu terakhir ini berlangsung, Turki dihantam krisis ekonomi terburuk sejak tahun 1990-an. Tahun lalu, angka inflasi resmi tahunan menyentuh 85 persen.
Data statistik resmi terbaru pemerintah menyebut angka inflasi 44 persen, menurun dari sekitar 86 persen. Namun, estimasi para ahli independen menyebut angka inflasi itu jauh lebih tinggi. Angka inflasi tidak resmi yang dikalkulasi para ekonom—dan dipercaya sebagian besar warga Turki--bahkan mendekati 200 persen. Biaya hidup rakyat Turki meroket.
Nilai mata uang Turki, lira, terhadap dollar AS terus merosot. Saat ini 1 dollar AS setara 19,59 lira. Sejak awal tahun ini, nilai tukar lira itu melemah 5 persen. JPMorgan memperkirakan nilai tukar lira bisa menembus 24-25 lira per 1 dollar AS. Kalkulasi Goldman Sachs memperlihatkan, pasar menilai lira bisa melemah hingga 50 persen dalam 12 bulan ke depan.
Dengan ungkapan lain, pada pemilu inilah momentum saat Erdogan bisa dikata paling lemah. Pemilu ini menjadi salah satu pertarungan politik tersulit Erdogan setelah berkuasa lebih dari dua dekade. Sebagai perbandingan, pada pemilu presiden sebelumnya tahun 2018, Erdogan langsung memenangi putaran pertama dengan dukungan lebih dari 52 persen suara.
Meski demikian, krisis ekonomi tersebut tidak sampai mengguncang dukungan terhadap Erdogan. Wilayah-wilayah penyokong tradisional Erdogan di daerah pedalaman tetap solid mendukungnya. Kilicdaroglu, kandidat oposisi, mendapat sebagian besar dukungan di provinsi-provinsi wilayah pantai di bagian barat dan selatan.
“Dia (Erdogan) berulang kali punya ‘debu ajaib’,” kata Timothy Ash, ahli ekonomi pasar, dalam catatan kepada para kliennya. “Dia baru saja menyatukan Turki—kubu nasionalis, konservatif, dan Muslim.”
Strategi di menit akhir
Di kalangan lingkar terdekatnya, Erdogan (69) kerap disapa "beyefendi" (bapak). Bagi para pengagumnya, ia dijuluki "reis" (bapak pemimpin). Erdogan sering membanggakan diri sebagai sosok yang sering menjungkalkan pihak-pihak yang meragukan dirinya dengan kampanye tak kenal lelah.
Kalimat pada poster itu berarti "Kami Mencintaimu, Bapak Pemimpin". |
Dalam upaya membujuk para pemilih di tengah krisis ekonomi, Erdogan mengeluarkan jurus pamungkas. Ia menaikkan upah dan gaji sebesar 45 persen. Upah minimum bulanan pekerja publik dinaikkan menjadi 15.000 lira atau 768 dollar AS (sekitar 11,32 juta). Gaji pegawai negeri dinaikkan menjadi 22.000 lira atau 1.124 dollar AS (sekitar 16,57 juta) per bulan.
“Program-program insentif yang dikeluarkan pada menit-menit terakhir, seperti kenaikan upah 45 persen bagi 700.000 pegawai pemerintah, sangat membantu (mendongkrak dukungan pada Erdogan),” ujar Hamish Kinnear, analis pada perusahaan konsultasi strategis dan risiko global, Verisk Maplecroft.
“Janji Erdogan untuk membangun kembali area-area yang luluh lantak akibat gempa juga berhasil meyakinkan para pemilih,” lanjut Kinnear.
Erdogan juga menyubsidi biaya tagihan listrik dan gas. Ditambah belanja kenaikan gaji dan upah, menurut sejumlah analis, anggaran pemerintah yang digelontorkan Erdogan itu bisa mencapai miliaran dollar AS.
Dalam upaya meyakinkan pemilih pula, Erdogan memamerkan proyek-proyek industri pertahanan dan infrastruktur. Didukung media-media yang pro-kepadanya, salah satu kampanye Erdogan mengangkat sisi keberhasilan ekonomi. Sebulan jelang pemilu, digelar perayaan capaian Turki di bidang industri, termasuk peluncuran mobil listrik pertama dan kapal serang amfibi yang dibangun di Istanbul untuk membawa drone-drone buatan negara itu.
Erdogan juga memulai ekspor gas alam dari cadangan di Laut Hitam. Ia menjanjikan pula pasokan gas gratis pada warga Turki. Tak ketinggalan, Erdogan juga meluncurkan pembangkit listrik tenaga nuklir dalam upacara yang dihadiri Presiden Rusia Vladimir Putin melalui daring.
Permainan kartu isu Kurdi
Salah satu faktor yang menjadi perhatian dalam pemilu Turki adalah isu warga Kurdi. Komunitas mereka sejak lama mengalami represi di negara itu. Akan tetapi, mereka memegang peran penting dalam hajatan pemilu. Komunitas Kurdi berjumlah hampir seperlima populasi Turki dan lebih dari 10 persen dari keseluruhan pemilih.
Pada dekade pertama pemerintahan Erdogan, sebagian besar mereka adalah pendukung Erdogan. Namun, pada dekade kedua mereka menjauhinya. Isu Kurdi menjadi salah satu kartu penting dalam permainan politik di Turki.
Strategi Erdogan mengaitkan oposisi dengan PKK dan gerakan teroris, berhasil.
Ketua Partai IYI (Kebaikan), Meral Aksener, dari kubu oposisi dalam acara wawancara dengan salah satu televisi menuduh Erdogan telah berunding dengan pemimpin Kurdi, Abdullah Ocalan, dalam upaya meraup dukungan suara dari suku Kurdi. Oposisi menuduh Erdogan mengirim utusan khusus untuk menemui Ocalan di penjara dan membujuk Ocalan agar menyerukan kepada pemilih Kurdi memilih dan mendukung Erdogan.
Namun, Erdogan tak kehilangan akal dan menyerang balik. Ia melihat pencalonan Kilicdaroglu yang didukung oleh Partai Demokrat Rakyat (HDP) sebagai celah. Partai itu berasal dari gerakan Kurdi dan dianggap sebagai mitra politik Partai Pekerja Kurdistan (PKK) oleh kubu nasionalis, seperti Sinan Ogan. PKK telah melancarkan perlawanan selama 39 tahun terhadap pemerintah Turki. Sudah puluhan ribu orang tewas. PKK ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh Turki, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Erdogan memanfaatkan dukungan partai pro-Kurdi pada Kilicdaroglu dengan melemparkan tudingan balik--tanpa disertai bukti-bukti--bahwa kubu oposisi mengusung pesan dari milisi PKK. Menurut pengamat, taktik Erdogan ini membuahkan hasil.
"Strategi Erdogan mengaitkan oposisi dengan PKK dan gerakan teroris, berhasil," kata Bayram Balci dari lembaga CERI Sciences Po.
Tidak sedikit pemilih yang termakan oleh strategi itu. Leyla Gurler, ibu rumah tangga di Istanbul, mengungkapkan, persekutuan oposisi dan HDP menghadirkan kecemasan padanya. "Andai oposisi menang, itu jelas karena HDP dan PKK. Mereka bergandengan tangan dengan PKK. Di sini mereka telah membuat kesalahan," ujar perempuan berusia 57 tahun itu.
Melesetnya lembaga survei
Sementara pemenang dan pihak yang kalah dalam pertarungan antara Erdogan dan Kilicdaroglu baru akan ditentukan pada pemilu putaran kedua, 28 Mei, pihak yang sudah "dinyatakan kalah" dalam pemilu Turki adalah lembaga-lembaga survei dan jajak pendapat. Hal ini terkait dengan melesetnya banyak lembaga-lembaga survei dalam memprediksi hasil pemungutan suara.
Hanya sedikit lembaga survei yang memprediksi kemenangan Erdogan. Sebagian lembaga survei bahkan memperkirakan Kilicdaroglu (74) memimpin perolehan suara dengan selisih 10 persen. Salah satu lembaga survei, MAK, dalam hasil jajak pendapat yang dirilis pada 7 Mei lalu memprediksi Kilicdaroglu menang di putaran pertama dengan dukungan 50,9 persen.
Menurut Timothy Ash, ahli ekonomi pasar dan pengamat veteran Turki, kasus melesetnya lembaga-lembaga survei dalam pemilu Turki kali ini tidak terlepas dari bias politik yang melekat pada lembaga-lembaga survei tersebut. "Harus saya katakan, semua analis yang saya percaya dan dekat dekat (partai penguasa) menyebut peluangnya 50-50, terlalu sulit untuk diprediksi, dengan bias pada Erdogan," katanya.
Kepala MAK, Mehmet Ali Kulat, mengatakan, survei kali ini lebih sulit dilaksanakan karena beberapa faktor, termasuk gempa besar dan faktor bulan puasa Ramadhan, yang jatuh pada Maret-April lalu. "Ada periode 20 hari setelah Ramadhan dan Anda tidak diperbolehkan mengadakan survei pada 10 hari terakhir (sebelum pemungutan suara). Ini yang membuat kami meleset. Kami, sebagai perusahaan riset, seharusnya tidak mencari-cari alasan," katanya.
Erik Meyersson, ahli strategi pasar pada SEB, menyebut jajak pendapat di Turki, seperti halnya di banyak negara lainnya, kerap meleset hasilnya, antara lain warga yang disurvei tidak selalu jujur mengungkapkan pilihannya. "Sejumlah survei dengan bias dan isu yang beragam hanya memicu kegaduhan yang tidak mewakili keinginan pilihan (warga)," ujarnya.
"Para pemilih mungkin telah menunjukkan sinyal hingga batas bahwa mereka mengindikasikan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dengan mengangkat oposisi dalam jajak pendapat. Tetapi, mereka pada akhirnya tetap mendukung petahana dalam pemilu," jelas Meyersson.
Bagaimana dengan pemilu putaran kedua, 28 Mei mendatang?
Kubu nasionalis di bawah pimpinan Ogan diprediksi bakal berperan besar sebagai penentu kemenangan pada pemilu putaran kedua, 28 Mei mendatang. Di putaran pertama, Ogan (55) mendapat dukungan 5,1 persen pemilih. Dalam pemilu parlemen, kubu nasionalis dan sayap kanan mengumpulkan 22 persen suara. Menurut analis Umut Ozkirimli, nasionalisme selalu menjadi komponen tetap dalam politik Turki sejak tahun 1990-an. (AP/AFP/REUTERS)
[Sumber: Kompas]