𝗕𝗔𝗖𝗔𝗔𝗡 𝗤𝗨𝗥’𝗔𝗡 𝗨𝗡𝗧𝗨𝗞 𝗠𝗔𝗬𝗜𝗧 𝗔𝗣𝗔𝗞𝗔𝗛 𝗕𝗜𝗦𝗔 𝗦𝗔𝗠𝗣𝗔𝗜?
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Dari tiga hal yang dikirim untuk orang yang telah meninggal, yakni yang berupa doa, sedekah dan bacaan Qur’an, hal terakhir ini lah yang kemudian diperbeda pendapatkan oleh para ulama.
Tak tanggung-tanggung, dalam satu madzhab saja, pendapat ulamanya tidak bulat. Hampir dari setiap madzhab ada yang menyebrang ke pendapat yang berbeda dengan pendapat mu’tamad dari madzhabnya.
Namun secara umum kelompok pendapat bisa dibelah menjadi dua, yang menyatakan sampai diwakili oleh madzhab Hanafi dan Hanbali sedangkan yang menyatakan tidak sampai diwakili oleh madzhab Maliki dan Syafi’i. Al imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
أما وصول ثواب العبادات البدنية كالقراءة، والصلاة، والصوم فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل
“Adapun mengenai sampainya pahala ibadah-ibadah badaniah seperti membaca Al Qur’an, shalat, dan puasa, maka madzhabnya imam Ahmad, Abu Hanifah, dan sekelompok pengikuti Malik dan Syafi’i menyatakan bahwa hal itu sampai pahalanya. Sedangkan pendapat kebanyakan sahabat Malik, Syafi’i, mengatakan hal itu tidak sampai.”[1]
𝗔. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝘀𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗻𝗳𝗮𝗮𝘁
Secara resmi ada dua madzhab yang mendukung pendapat ini, yakni kalangan Hanafiyah dan Hanabilah. Meski kemudian ada beberapa ulama dari kalangan Malikiyyah dan Syafi’iyyah yang turut mendukungnya.[2]
Al imam ibnu Abidin al Hanafi rahimahullah berkata :
ولا فرق بين أن يكون المجعول له ميتا أو حيا، والظاهر أنه لا فرق بين أن ينوي به عند الفعل للغير أو يفعله لنفسه ثم بعد ذلك يجعل ثوابه لغيره
“Tidak ada perbedaan bolehnya dihadiahkan kepada orang lain yang masih hidup ataukah yang sudah meninggal. Baik dia niatkan untuk orang lain ketika mulai mengerjakannya atau dia awali niat dengan niat untuk dirinya lalu ia berikan pahalanya kepada orang lain.”[3]
Al imam Dusuqi al Hanafi rahimahullah berkata :
وإن قرأ الرجل وأهدى ثواب قراءته للميت جاز ذلك وحصل للميت أجره
“Jika seseorang membaca al Qur’an kemudian dia menghadiahkan pahala bacaannya untuk orang yang telah meninggal, maka hal yang seperti itu boleh, dan si mayit akan mendapatkan pahalanya.”[4]
Al imam Ibnu Abil izz al Hanafi rahimahullah berkata :
إن الثواب حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب القراءة ونحوها من العبادات البدنية
“Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang beramal. Tapi ketika dia menghadiahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, jelas bahwa itu tidak jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan saudaranya yang muslim yang telah meninggal.
Syariat juga telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit, yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan al-Quran, atau ibadah badaniyah lainnya.”[5]
Berkata al imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
الميت يصل إليه كل شيء من الخير، للنصوص الواردة فيه؛ ولأن الناس يجتمعون في كل مصر ويقرءون يهدون لموتاهم من غير نكير فكان إجماعا
“Sampai kepada mayit setiap kebaikan yang dikirim kepadanya. Nas-nas tentang hal ini telah nyata adanya. Orang-orang telah berkumpul di negeri-negeri mereka membaca al Qur’an lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang yang telah meninggal dan tidak ada yang mengingkarinya bahkan ini menjadi ijma’ akan kebolehannya.”[6]
Al imam Ibnu Qudamah al Hanbali rahimahullah berkata :
وقال أحمد ويقرءون عند الميت إذا حضر ليخفف عنه بالقرآن يقرأ (يس) وأمر بقراءة فاتحة الكتاب
“Telah berkata imam Ahmad: Bahwa mereka membacakan Al Qur’an dan juga surah Yasin di sisi mayit untuk meringankannya, dan juga diperintahkan membaca surat Al Fatihah.”[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت
“Bisa sampai kepada mayit pahala bacaan keluarganya, juga bacaan tasbih, takbir dan semua dzikir-dzikir mereka jika itu dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal.”[8]
Sedangkan dari madzhab Maliki yang menyeberang ke pendapat ini diantaranya adalah al Imam Al Qarafi Al Maliki, beliau berkata :
فينبغي للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
“Selayaknya orang tidak meninggalkannya (membaca Qur’an untuk mayit). Karena bisa jadi yang benar, pahala itu sampai. karena ini masalah ghaib.”[9]
Beliau juga mengatakan, “Yang nampak adalah bahwa bagi orang yang sudah wafat akan mendapat keberkahan dari membaca Al Quran, sebagaimana seseorang yang mendapatkan keberkahan karena bertetanggaan dengan orang shalih.”[10]
Dari madzhab Syafi’i yang mendukung pendapat ini lebih banyak lagi. Bahkan bisa dikatakan jumhur pengikut Syafi’iyyah muta’akhirin menyatakan disyariatkannya membaca Qur’an untuk mayit. Yang menyatakan ini diantaranya adalah :
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Asy Syafi’i berkata :
أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه
“Sesungguhnya sebagian bacaan al Qur’an jika ditujukan manfaatnya untuk mayit maka itu bisa bermanfaat untuknya.”[11]
Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i berakata :
إذا نوى ثواب قراءته له أو دعا له عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب
“Jika seseorang meniatkan bacaan al-Qur’annya untuk orang yang sudah meninggal, atau berdo’a dengan mengiringkan pahala baginya. Atau membaca di kuburnya, maka sampailah pahala bacaannya tersebut, dan yang membacanya juga mendapatkan pahala.”[12]
Imam Suyuthi rahimahullah berkata :
الأئمة الثلاثة اجتمعوا على وصول ثواب القراءة للميت ومذهبنا خلافه
“Tiga imam madzhab mereka bersepakat atas sampainya bacaan al Qur’an untuk orang yang telah meninggal, sedangkan dalam madzhab kita (syafi’i) terjadi perbedaan pendapat.”[13]
Namun klaim Ijma’ tiga madzhab dari imam Suyuthi ini tidaklah benar, karena pada kenyataannya imam Malik termasuk yang berpendapat makruh dan sebuah riwayat juga menyebutkan bahwa imam Abu Hanifah menyatakan bahwa membaca al Qur’an untuk mayit tidak disyariatkan.
𝗕. 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝘀𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗺𝗮𝗻𝗳𝗮𝗮𝘁
Pendapat ini secara resmi diusung juga oleh dua madzhab, yakni Malikiyah dan Syafi’iyyah. Meskipun juga dari madzhab lain banyak yang menyatakan hal yang sama, sebagaimana ada juga dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah yang mengikuti pendapat yang membolehkan bacaan Qur’an untuk mayit sebagaimana yang telah disebutkan.
Berkata Syaikh Wahbah Zuhaili rahimahullah :
وقال مالك والشافعي: يجوز جعل ثواب العمل للغير في الصدقة والعبادة المالية وفي الحج، ولا يجوز في غيره من الطاعات كالصلاة والصوم وقراءة القرآن وغيره
“Berkata imam Malik dan Syafi’i dibolehkan menghadiahkan pahala untuk orang lain dalam hal sedekah, ibadah harta dan juga haji, tapi tidak dibolehkan ibadah selainnya seperti shalat, puasa, bacaan al Qur’an dan yang semisalnya.”[14]
Imam Malik dan mayoritas pengikut madzhabnya
وسئل مالك عن قراءة القرآن عند رأس الميت بـ يس. فقال: ما سمعت بهذا، وما هو من عمل الناس
“Imam Malik ditanya tentang hukum membaca al Qur’an seperti surah yasin di sisi mayit, maka beliau menjawab : ‘Aku tidak pernah mendengar hal ini, dan itu bukanlah amal shalih yang biasa dikerjakan oleh umumnya manusia.”[15]
Pendapat imam Malik ini yang kemudian dikuatkan oleh ulama-ulama Malikiyah setelahnya :
قاله الحطاب. ولا قراءة فيها بفاتحة ولا بغيرها. ابن ناجي: ظاهر المذهب الكراهة، عبد الحق: لأن الميت لا ينتفع بالقراءة، فلا معنى للقراءة عليه
“Berkata al Khattabi al Maliki : Tidak ada bacaan untuk mayit baik berupa Fatihah atau lainnya. Berkata Ibnu Najih al Maliki : ‘Yang kuat dalam pendapat madzhab Maliki hal ini dibenci.’ Berkata Abdul Haq al Maliki : ‘Karena bacaan al Qur’an tidak akan bermanfaat untuk mayit, dan tidak ada artinya membaca Qur’an untuknya.”[16]
Abul Hasan al Adawi al Maliki rahimahullah juga berkata :
بل يكره عند قراءة يس أو غيرها عند موته أو بعده أو على قبره
“Bahkan dibenci membaca Yasin atau yang selainnya ketika seseorang akan meninggal atau setelah meninggal atau dibaca di atas kuburnya.”[17]
Al imam Syafi’i dan kalangan mutaqadimin pengikut madzhabnya
Sebagian kalangan mengingkari bahwa al amam Syafi’i termasuk yang berpendapat bahwa mengirim pahala bacaan al-Qur’an tidak disyariatkan.
Hal ini tidaklah benar, karena riyawat tentang hal ini sangat banyak. Dinukil oleh beberapa imam dari madzhab Syafi’iyyah diantaranya oleh Ibnu Katsir dan juga imam Nawawi. Bahkan ia juga tercantum dalam kitab al umm buah karya imam Syafi’i sendiri.
Nukilan Ibnu Katsir rahimahullah :
الشافعي رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Syafi’i rahimahullah dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya menyatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai pahalanya ketika dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia. Karena itu termasuk yang bukan amal si mayit dan juga bukan termasuk bagian dari usahanya.”[18]
Begitu juga dengan imam Nawawi meski dalam hal ini beliau mengikuti pendapat yang membolehkan membaca Qur’an untuk mayit, namun secara jujur beliau tetap menyampaikan nukilan bahwa sang pendiri madzhab dan mayoritas ulama syafi’iyah termasuk yang menyatakan tidak sampainya bacaan Qur’an kepada mayit :
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها
“Dan yang masyhur dalam madzhab kami (Syafi’iyyah) bahwa bacaan al Qur’an tidak akan sampai pahalanya kepada mayit.”[19]
Sedangkan di dalam karya imam Syafi’i sendiri yakni kitab al umm beliau berkata:
يلحق الميت من فعل غيره وعمله ثلاث حج يؤدى عنه ومال يتصدق به عنه، أو يقضى ودعاء فأما ما سوى ذلك من صلاة، أو صيام فهو لفاعله دون الميت
“Amalan orang lain yang akan sampai kepada orang yang telah meninggal dunia ada tiga perkara, (1) haji yang dikerjakan atas namanya (2) harta yang disedekahkan atas namanya atau yang dibayarkan atasnya dan (3) doa. Adapun selain hal ini seperti shalat atau puasa maka pahalanya untuk pelakunya, bukan untuk si mayit.”[20]
Kalimat dari Syafi’i di atas juga dinukil sama persis oleh imam Nawawi dalam Majmu’nya.[21]
Sedangkan dari kalangan Hanabilah yang mengikuti pendapat tidak sampainya bacaan Qur’an untuk mayit dinyatakan oleh imam al Buhuti al Hanbali rahimahullah :
Al imam al Buhuti al Hanbali rahimahullah berkata :
وقال الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
“Mayoritasnya mengatakan, pahala bacaan al Quran tidak sampai kepada mayit, dan itu juga milik orang yang beramal.” [22]
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
1. Ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa doa dan sedekah dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia adalah masyru’ (disyariatkan).
2. Ulama berbeda pendapat mengenai masyru’iyahnya bacaan Qur’an dari seorang muslim kepada muslim lain yang telah meninggal dunia. Jadi ini adalah masalah khilafiyah.
Dan tidak ada sikap yang lebih arif dan hanif (lurus) dalam masalah khilafiyah selain menghormati pendapat yang berbeda dengan diri kita. Kita harus menghormati saudara kita yang mengganggap bahwa hal ini ada syariatnya.
Sebaliknya, kita yang berpendapat bahwa pengiriman bacaan Qur’an disyariatkan, janganlah pula mudah menvonis dan melemparkan tuduhan. Seperti memberikan cap Wahhabi kepada muslim lainnya yang tidak mau membaca al Quran untuk mayit.
Apakah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i adalah Wahabi karena memegang pendapat ini? Bagaimana mungkin mereka disebut Wahabi, padahal gerakan Wahabiyah baru ada hampir sepuluh Abad setelah zaman tiga imam ini?
Sudah saatnya umat islam bersikap dewasa dalam masalah ini, terlalu banyak kerja besar dengan manfaat yang lebih besar dari sekedar mengurusi masalah yang justru mengundang masalah baru.
Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain.
Tindakan seperti ini tidak akan dilakukan kecuali oleh mereka yang jahil dan berjiwa kerdil.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلًا
“Setiap kalian beramal dengan kesanggupannya, dan Tuhanmulah yang paling tahu siapa yang paling benar jalannya.” (Al-Isra :84)
📜 Wallahu’alam.
_____
[1] Majmu’ al Fatawa (24/324)
[2] Al Mausu’ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (33/60)
[3] Hasyiah Ibnu Abidin (2/243)
[4] Hasyiah ad Dusuqi (1/423)
[5] Syarah Aqidah Thahawiyah (1/300)
[6] Al Furu’ (3/243)
[7] Syarah al Kabir (2/305)
[8] Majmu’ Fatawa (24/324)
[9] Minhatul Jalil (7/499)
[10] Al Fawakih Ad Dawani (3/283)
[11] Tuhfatul Muhtaj (7/74)
[12] Nihayatul Muhtaj (6/93)
[13] Al Itqan fi ulumil Qur’an (1/386)
[14] Fiqh al Islami wa Adilatuhu (3/2097)
[15] Al Bayan wa at Tahshil (2/234)
[16] Lawami’ Durur (3/56)
[17] Hasyiyah al Adawi (1/409)
[18] Tafsir Ibnu Katsir (7/465)
[19] Syarah Shahih Muslim (7/90)
[20] Al Umm (4/126)
[21] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (15/521)
[22] Kasyaful Qina’ (2/148)