Oleh: Pizaro Gozali Idrus
Dewan Pemilu Turki akhirnya resmi mengumumkan perolehan pemilu 2023. Hasilnya, Presiden Recep Tayyip Erdogan berhasil memimpin dengan 49,51%. Sedangkan pihak oposisi (koalisi CHP) Kemal Kilicdaroglu meraih 44,88%.
Hasil ini tentu mengejutkan bagi sejumlah pihak. Dari banyak hasil survei yang ditampilkan selama bermingu-minggu, Erdogan selalu ditempatkan berada di bawah Kilicdaroglu. Mereka mengklaim Erdogan hanya akan meraih 45%-47% suara, sedangkan Kilicdaroglu akan berjaya di angka 53%-55%. Nyatanya, pemilu 14 Mei menunjukkan hasil jauh dari kenyataan.
Alih-alih menang satu putaran, Kilicdaroglu hanya mendapatkan 44,88% dan kalah suara dari Erdogan. Sekalipun pemilu berlanjut kepada putara kedua, itu tidak mengubah fakta bahwa perolehan CHP jauh dari ekspektasi kemenangan yang diciptakan mereka selama ini.
Dari sini kita bisa menyimpulkan, rekayasa politik yang dikembangkan melalui kelompok “meja tujuh” jelas gagal. Jajak pendapat sebelum pemilu yang menunjukkan kemenangan Kilicdaroglu dengan selisih lebar terbukti lebih layak dibaca sebagai hasil penggelembungan data dan manipulasi.
Seperti tulisan penulis sebelumnya, tidak maksimalnya perolehan suara Kilicdaroglu sudah dapat diprediksi. Sebab banyak konflik internal yang mengiringi pencalonannya dan komposisi koalisi.
Banyak elit dan akar rumput menolak masuknya Partai Demokratis Rakyat (HDP) -- partai pro separatis dan teroris PKK -- dan dukungan FETO ke kubu oposisi. Bagi mereka, dukungan kelompok separatis dan teroris adalah benalu elektoral.
Perpecahan antara Kilicdaroglu dan Partai IYI yang berhaluan ultranasionalis dan partai terbesar kedua dalam oposisi, membuat pemilih nasionalis menjauh dari suksesi memenangkan Kilicdaroglu.
Jadi yang harus kita pahami dalam membaca pemilu Turki adalah, ucapan pemimpin partai tidak selalu berbanding lurus dengan pilihan voter di akar rumput. Pemilu Turki bukanlah perhitungan matematis. Ini pula yang akan terjadi di putaran kedua.
Menurut Yasin Aktay, Profesor Sosiologi di Ankara Yildirim Beyazıt University, hasil ini sejatinya tidak mengejutkan bagi yang mengikuti Turki dengan cermat di lapangan. Sebaliknya, ini merupakan kejutan besar bagi mereka yang mengikuti pemilu Turki melalui media sosial atau media tertentu.
Apalagi bagi mereka yang mempercayai perusahaan polling yang melayani kepentingan CHP. Sebagian bangsa Turki tahu bahwa perusahaan-perusahaan ini tidak ragu untuk melaporkan kepada klien Barat mereka bahwa Kilicdaroglu akan menyelesaikan tugas pada babak pertama dengan keunggulan 7-8 persen.
Mungkin berdasarkan laporan yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan ini, media-media barat seperti The Economist, Le Point, Le Express, Der Spiegel, dan The Independent mengabaikan semua prinsip dan etika jurnalisme dan menampilkan diri kepada pembacanya layaknya brosur CHP.
Dalam pemilu parlemen, Aliansi Rakyat, yang terdiri Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Partai Gerakan Nasionalis (MHP), Partai Refah Baru, juga telah mencapai suara mayoritas di parlemen dengan meraih 322 dari 600 kursi. Sedangkan pihak oposisi hanya meraih 213 kursi.
Empat kunci kemenangan Erdogan
Apa yang telah dilakukan Erdogan dalam pemilu ini memang luar biasa. Saat mengarungi pemilu, ia tetap harus berhadapan dengan pandemi, inflasi, kesulitan ekonomi akibat Perang Ukraina-Rusia, gempa bumi, dan kelelahan.
Saya melihat setidanya ada empat faktor utama di balik kemenangan Erdogan di putaran pertama.
Pertama, unggulnya Erdogan merupakan kemenangan koalisi pemerintah atas kelompok separatis teroris seperti PKK dan FETO. Banyak akar rumput dari anggota koalisi CHP yang mengambil jalan berbeda dengan elit partainya. Mereka tidak mau menyerahkan suara ke koalisi oposisi yang berada satu gerbong dengan PKK dan FETO.
Kedua, Faktor lain yang membuat Erdogan masih survive adalah ketidakyakinan para konstituen Kilicdaroglu merupakan sosok tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah Turki karena CHP pernah memimpin masa-masa Turki menjadi negara yang terpinggirkan di Eropa dan terperosoknya ekonomi.
Ketiga, munculnya bayang-bayang traumatik masyarakat religius Turki atas kembalinya rezim anti hijab di negaranya. Pada tahun 2003, CHP mendukung larangan jilbab di tempat umum yang diberlakukan sebelum Erdogan mengambil alih kekuasaan. Meski CHP kini berjanji akan melindungi kebebsan beragama jika menang pemilu, tidak semua orang mempercayai ucapan partai sekuler tersebut.
Keempat, pemilih memandang Kilicdaroglu belum memiliki postur yang kokoh untuk menjalankan negosiasi konflik, diplomasi regional, dan internasional. Ketiga kekuatan itu yang sebelumnya membawa Turki dapat memainkan perannya di antara benturan negara-negara besar.
Peta Putaran Dua
Jelang putara kedua, pertanyaan pun terarah pada kemanakah basis konstituen Sinan Ogan memberikan suaranya? Ogan sendiri adalah bekas petinggi partai MHP yang saat ini partai MHP berkoalisi dengan Erdogan.
Ogan dikeluarkan pada tahun 2017 bersama Meral Aksener dan Umit Ozdag karena berselisih soal kebijakan partai. Namun demikian, Ogan enggan bergabung dengan IYI Party, partai yang didirikan koleganya, Meral Aksener. Ogan merasa masih cinta dengan MHP meski tidak lagi berseragam partai.
Selain itu, Ogan juga sosok yang anti dengan kelompok separatis dan teroris. Dengan alasan ini pula, ia menolak mendukung Kemal. Oleh sebab itu, menarik kita tunggu, kemanakah langkah politik Ogan selanjutnya.
Analis mengatakan jikapun Ogan bergabung dengan oposisi, pendukungnya belum tentu mengikuti langkahnya. Alasannya, mereka tidak mau menggadaikan suara demi kepentingan kelompok separatis dan teroris. Dalih sama yang membuat masa arus bawah IYI Party menggerus suara Kilicdaroglu.
(*)