[PORTAL-ISLAM.ID] Floresa – Tangkapan layar isi obrolan di sebuah Grup WhatsApp polisi dan jurnalis di Kabupaten Nagekeo, Flores beredar luas baru-baru ini. Isinya berupa obrolan rencana melakukan kekerasan terhadap seorang jurnalis yang tidak bergabung dalam grup itu dan dicap oleh anggota grup sebagai ‘pengkhianat.”
Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata telah mengonfirmasi bahwa grup itu dibuat olehnya “untuk membina” para wartawan.
Dalam gambar-gambar tangkapan layar isi obrolan Grup WA ‘KH Destro’ itu yang beredar luas dan diperoleh Floresa, Yudha memerintahkan beberapa jurnalis untuk mewawancarai Patrianus ‘Patrik’ Meo Djawa, jurnalis Tribunflores.com, bagian dari media Tribun Network.
“All Destro. Hubungi Patrik untuk minta wawancara klarifikasi tentang laporan dari Ketua Suku Nataia. SEKARANG!!!. Bukti chat WA ke Patrick segera di screenshot. Sebagai bukti bahwa kita sudah meminta klarifikasi kepada Patrick. Bikin dia stress,” tulisnya dalam percakapan di grup itu pada Minggu, 10 April 2023, pukul 00.13 Wita.
Pesan Kapolres itu segera direspons oleh salah satu anggota grup.
“Siap Bapak,” tulis anggota atas nama Bejo NP itu.
Perintah Kapolres itu terkait dengan polemik berita yang ditulis Patrik tentang kasus penghadangan mobil Kapolres Yudha oleh sejumlah pemuda di Aesesa pada Minggu Paskah, 9 April 2023. Polisi mengklaim para pemuda itu sedang mabuk minuman keras.
Dalam berita Patrik yang diterbitkan pada Senin, 10 April 2023, ia menyinggung bahwa salah satu pemuda yang diamankan polisi merupakan keponakan dari Ketua Suku Nataia, Patris Seo.
Dalam bagian lain berita itu, ia juga menyebut kontribusi suku tersebut bagi Polres Nagekeo dengan menghibahkan tanah untuk pembangunan kantor Polres, rumah jabatan Kapolres dan Wakapolres.
Berita itu yang dimuat di jaringan media Tribun, termasuk Kupang.tribunnews.com, kemudian berujung pelaporan Patrik oleh Ketua Suku Nataia ke polisi dengan tudingan pencemaran nama baik.
Dari penelusuran Floresa, berita Patrik di media Tribun itu telah direvisi dengan menghilangkan bagian yang menyebut Suku Nataia, meski redaksi tidak memberikan informasi terkait alasannya.
Sementara itu, sejumlah berita di media lokal pasca laporan Ketua Suku Nataia ke polisi menarasikan bahwa Patrik sedang mengadu domba polisi dan Suku Nataia.
'Patahkan Rahangya, Dijadikan Sampah'
Sebelum Kapolres Yudha memerintahkan jurnalis di grup itu mewawancarai Patrik, dari gambar tangkapan layar lain yang diperoleh Floresa, terjadi obrolan yang juga bernada ancaman terhadap Patrik.
“Ini mau nya apa, anak tribun,” tulis nomor atas nama Elang-D pada pukul 21.08 Wita.
“Maunya kita patahkan rahangnya tu bang,” tanggap nomor atas nama Udin Mindonews pada pukul 21.18 Wita.
Lalu pada pukul 21.24 Wita, nomor dengan nama Ka’e Sherif See Sergap merespons Udin Mindonews dan mengatakan, “Ade atur dulu, urusan belakangan.”
“Coba cara baik2 dulu. Kalau gak baru dijadikan sampah,” balas Elang-D pada komentar Udin Mindonews pada pukul 21.29 wita.
Pada pukul 21.36, Kapolres Yudha mengomentari balasan Elang-D tersebut dengan mengatakan “Sampah mau ‘dibuang’ atau ‘dimusnahkan’.”
“Ijin Komandan.. Kalau sudah sampah mendingan di buang lalu di musnahkan saja Komandan.,” tanggap nomor atas nama OM BERTO POL pada komentar Kapolres Yudha pada pukul 21.40.
Kemudian, pada pukul 21.43, Elang-D menanggapi komentar Kapolres Yudha dengan mengatakan “Dibuang aja bg.”
Lalu, pada pukul 21.10, Kapolres Yudha merespons tanggapan Elang-D tersebut.
“Proses,” tulisnya.
Informasi yang diperoleh Floresa dari beberapa sumber yang merupakan jurnalis di Nagekeo, tidak semua jurnalis yang bertugas di wilayah itu dimasukan dalam grup WhatsApp KH Destro.
Foto profil grup itu diisi logo dengan latar hitam yang bergambar tengkorak dengan tulisan huruf KH. Di antara dua huruf tersebut terdapat gambar pedang.
“KH itu singkatan dari Kaisar Hitam. Dan Destro itu destroyer atau penghancur,” ujar salah satu sumber Floresa.
Kapolres: Untuk Bina Wartawan
Kapolres Yudha telah mengklarifikasi bahwa tangkapan layar obrolan itu adalah adalah benar dan mengakui bahwa grup itu dibuat olehnya. Klarifikasi itu disampaikan dalam sebuah video yang dipublikasikan oleh kanal Youtube Humas Polres Nagekeo pada 15 April.
Dalam video itu, Kapolres Yudha didampingi perwakilan Suku Nataia, tersangka kasus pengadangan mobil bersama pengacara dan keluarga mereka dan Camat Aesesa Yakobus Laga.
Seseorang terdengar menanyakan kepada Yudha terkait tangkapan layar percakapan itu. Ia kemudian terlihat mengambil telepon seluler berisi tangkapan layar percakapan itu dari seseorang yang bertanya itu.
Sambil memegang dan menunjukkan tangkapan layar percakapan itu, Yudha menjelaskan bahwa grup itu bertujuan untuk “membina wartawan” sekaligus sebagai mitra untuk menyiarkan “berita yang tidak ditutupi.”
“Destro adalah tim saya. Ini untuk pembinaan dan juga sebagai mitra Polri dalam bentuk penyiaran berita yang tidak pernah kita tutupin.”
Ia juga mengonfirmasi bahwa isi obrolan dalam grup itu adalah perintah yang ia sampaikan kepada para jurnalis anggota grup sebagai “mitra Humas Polres.”
“Ini adalah petunjuk bagi wartawan saya. Sebelum kau memberitakan, klarifikasi. Chat WA kalau nggak ketemu. Kalau memang dia tidak bisa menjawab, tidak bisa klarifikasi, beri catatan kaki,” katanya.
Saat itu, Yudha juga menjelaskan alasan Patrik “harus dibikin stres,” karena selama ini pemberitaannya kerap membuat mereka “pening.”
“Silahkan chat WA dia, klarifikasi, wawancara. Kira-kira stres gak diwawancara, apalagi kalau ada masalah,” katanya.
Menurutnya, ia pening dengan Patrik karena dalam beberapa kasus, “tidak hanya menulis berita sesuai rilis polisi, tetapi kerap melakukan investigasi sendiri.”
Berita hasil investigasi, klaimnya, “mengaburkan fakta yang disampaikan polisi.”
Setelah tayangan video klarifikasi Kapolres Yudha, Floresa kembali mendapat tangkapan layar baru dari grup WA KH Destro yang isinya terkait rencana untuk melenyapkan pihak yang disebut sebagai pengkhianat.
“Penghianat harus disingkirkan, karena akan menimbulkan konflik yang dibangun oleh para penghianat. Berani berbuat harus berani bertanggungjawab,” tulis Elang-D pada pukul 13.51
“Sudah2 jangan dibahas lagi, biar saya yg atur,” respons Kapolres Yudha.
“Sepakat bang, bila perlu harus dilenyapkan dari muka bumi sesuai dengan amanat UUD,” tanggap Bejo NP.
Ancaman Berulang
Patrik mengatakan kepada Floresa bahwa ia telah mendapat tangkapan layar percakapan itu dan menyatakan bahwa ancaman seperti itu bukan pertama kali diterimanya karena pemberitaan.
“Saya sudah sering kali mendapat ancaman dari Polres,” katanya kepada Floresa.
Terkait isi beritanya yang menjadi polemik, Patrik mengatakan ia memang memasukkan informasi kontribusi Suku Nataia kepada polisi “karena itu merupakan kebenaran umum.”
Ia pun menduga bahwa upaya pelaporan dirinya ke polisi karena berita itu bukan murni karena keinginan Suku Nataia, tetapi atas dorongan polisi sebagai pihak yang terlibat langsung dalam kasus penghadangan mobil.
Dugaan demikian, kata Patrik, karena sebelumnya Kapolres Yudha pernah beberapa kali meminta warga untuk melaporkannya terkait pemberitaan.
“Salah satunya terkait berita seorang suami yang memergoki istrinya sedang berhubungan badan dengan oknum anggota polisi di sebuah kamar kos di Desa Aeramo tahun 2019,” ujarnya.
Dalam kasus tersebut, lanjut Patrik, Kapolres Yudha beberapa kali meminta suami dari istri yang selingkuh itu yang juga merupakan narasumber Patrik untuk melaporkan Patrik ke polisi terkait pemberitaan kasus itu.
Namun, kata Patrik, narasumbernya itu tidak mau menuruti permintaan Yudha.
“Kasus ini jadi kabur, termasuk laporan di pidana umum terkait perzinahan juga dihentikan oleh polisi dengan alasan tidak cukup bukti,” tutur Patrik.
Polisi Tidak Perlu Membina Pers
Kasus ini telah menimbulkan pertanyaan terkait relasi polisi dengan para jurnalis dan perlu tidaknya polisi membina jurnalis seperti yang diklaim Kapolres Yudha.
Dalam sebuah pernyataan, Primus Dorimulu, jurnalis senior asal Nagekeo mengatakan pengakuan Yudha bahwa pembentukan grup KH Destro untuk “pembinaan wartawan” adalah hal yang “menyesatkan.”
Ia menegaskan bahwa “yang membina wartawan bukanlah polisi, tapi media tempat wartawan bekerja, asosiasi tempat wartawan bernaung [PWI, AJI, IJTI, AMSI, dsb], dan Dewan Pers.”
Polisi, lanjut Primus, tidak perlu membina pers, melainkan cukup menjadi narasumber yang aktif, minimal cepat merespons pertanyaan media, dan berlaku adil terhadap semua media.
“Dengan mengaku dan menempatkan diri sebagai Pembina Pers, Kapolres Nagekeo sedang mengerdilkan peran, tugas dan fungsi pers,” katanya.
Primus mengatakan polisi tidak perlu membina pers karena “pers adalah kekuatan keempat [selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif] untuk melaksanakan kontrol sosial.”
Pers, kata dia, adalah watchdog, yang antara lain, bertugas mengontrol kerja polisi.
“Pasal 3 UU No 40 tentang Pers menyebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Mengapa terkesan pers diletakkan di bawah ‘ketiak’ Kapolres?” ujarnya.
Ia juga mengatakan polisi tak perlu membina pers karena pers memiliki independensi.
Polri sebagai institusi, kata dia, cukup membina aparat kepolisian karena masing-masing institusi melakukan pembinaan internal.
“Biarlah setiap profesi bekerja dengan standar profesinya,” tulisnya.
Primus juga menyinggung terkait perintah Yudha kepada anggota grup KH Destro untuk membuat Patrik stres.
Menurutnya, perintah Yudha itu tidak boleh dianggap sepele karena dia adalah Kapolres yang punya senjata api, pasukan, dan punya ‘perhatian’ khusus kepada Patrik
“Tiga kata —bikin dia stress— harus dibaca dalam satu frasa. Artinya ada aksi serius dengan target agar Patrik stres. Tingkat stress bisa rendah, bisa sedang, dan sangat tinggi hingga gila [gangguan jiwa] dan bunuh diri. Level stres manakah yang ditargetkan Kapolres?”
Sementara itu, Forum Jurnalis Flores-Lembata mempertanyakan polisi yang mengabaikan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dalam menanggapi laporan Suku Nataia terkait sengketa pemberitaan.
Forum itu juga mendesak Polres Nagekeo menghargai peran pers sebagai salah satu “pilar demokrasi yang mesti bebas dan merdeka” dan melihat kembali Nota Kesepahaman [MoU] antara Polri dan Dewan Pers tahun 2022 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
Selain itu, forum ini mendesak Polres Nagekeo memastikan agar tidak terjadi “tindakan kekerasan atau tindakan intimidasi dari pihak manapun terhadap wartawan.”
Gabriel Langga, Ketua Serikat Media Siber Indonesia Kabupaten Sikka juga menyebut penerbitan laporan polisi terkait laporan dari Suku Nataia “mencederai pers.”
Apabila Ketua Suku Nataia keberatan dengan pemberitaan yang ditulis oleh jurnalis, kata dia, langkah yang harus dia lakukan adalah melapor ke Dewan Pers, sesuai dengan ketentuan pasal 17 Undang-Undang Pers.
Informasi yang diperoleh Floresa, saat ini Forum Jurnalis di Flores-Lembata juga sedang berupaya mengadukan masalah ini, termasuk ancaman terhadap Patrik, ke Dewan Pers dan Kapolri.
Sementara itu, bagi Patrik, ancaman dari Kapolres dalam grup WA itu sudah menjadi masalah serius yang butuh disikapi berbagai pihak, termasuk institusi Polri.
“Kita minta institusi Polri yang lebih tinggi, baik Polda maupun Polri untuk memberikan kami polisi yang baik, polisi yang benar-benar tahu tentang aturan hukum,” katanya.