"SEBAGAI lembaga yang pernah mendukung Jokowi, kami, IndoPROGRESS, tidak bisa lagi tinggal diam. Patut sekali ditegaskan bahwa pemerintahan Jokowi telah gagal dalam melayani rakyat."

Cukup Sudah, Jokowi!

SEBAGAI lembaga yang pernah mendukung Joko Widodo (Jokowi), kami, IndoPROGRESS, tidak bisa lagi tinggal diam. Patut sekali ditegaskan bahwa pemerintahan Jokowi telah gagal dalam melayani rakyat. Kami sudah muak dengan kebijakan-kebijakannya yang anti-rakyat serta pengabaiannya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Kebijakan anti-rakyat itu tampak melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang ditandatangani Jokowi pada November 2020. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peraturan tersebut cacat dan harus diperbaiki dalam waktu dua tahun. Bukannya mematuhi perintah tersebut, Jokowi malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja pada Desember tahun lalu dan kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Maret kemarin. 

Undang-undang ini telah memberi karpet merah bagi investasi (asing dan domestik) dan menciptakan lapangan kerja melalui rezim upah murah. Hak-hak pekerja dilucuti sehingga perusahaan lebih leluasa mengeksploitasi mereka. Untuk menarik investasi, undang-undang ini juga memberi kemudahan bagi perusahaan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lingkungan; sesuatu yang membahayakan keseimbangan ekologis Indonesia yang sudah rapuh. Singkatnya, aturan ini merupakan pengkhianatan terang-terangan terhadap rakyat, dan karena itu harus segera dicabut!

Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan contoh lain bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak pernah menjadi perhatian pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi secara sengaja melemahkan salah satu dari sedikit lembaga yang relatif efektif dalam memerangi korupsi tersebut dengan mengurangi kewenangannya serta merekayasa pemilihan pimpinan dan anggotanya sehingga yang terpilih adalah mereka yang loyal kepada pemerintah. Langkah ini telah sangat menghambat kemampuan KPK untuk melakukan tugasnya, dan ini merupakan indikasi yang jelas bahwa Jokowi tidak serius dalam memberantas korupsi. Ia tidak berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah memulai upaya pelemahan KPK sejak besannya ditangkap karena terjerat korupsi. 

Lebih jauh lagi, pemerintahan Jokowi telah mempersempit ruang demokrasi. Pandemi Covid-19 dijadikan dalih untuk membatasi kebebasan berbicara dan berkumpul, alih-alih mengatasinya dengan serius. Ini bukanlah perilaku pemerintah yang demokratis, dan karena itu tidak dapat diterima. 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah salah satu instrumen yang kerap digunakan untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Undang-Undang ini, yang pada awalnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan siber, telah digunakan untuk menangkap dan memenjarakan jurnalis, aktivis, dan warga negara biasa yang mengkritik pemerintah. Amnesty International Indonesia mencatat ada 316 kasus penyalahgunaan UU ITE sepanjang Januari 2019-Mei 2022. Rumusan pasal-pasal karet memungkinkannya untuk digunakan sebagai justifikasi dalam menekan kebebasan berekspresi dan memberangus perbedaan pendapat. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak warga atas kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Respons terhadap pandemi Covid-19 yang tidak memadai adalah alasan lain bagi kita untuk menyuarakan kemuakan secara lantang terhadap pemerintahan Jokowi. Ia membiarkan jutaan orang jatuh miskin dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa disokong jaringan pengaman sosial yang memadai dalam menghadapi pandemi. Di sisi lain, mereka dituntut menjalankan protokol kesehatan yang jelas-jelas membatasi keleluasaan dalam mencari penghidupan. Ini sama saja dengan membunuh rakyat miskin secara perlahan. Jokowi bertanggung jawab atas kematian itu! 

Namun, tentu, kekacauan dalam penanganan pandemi bukan karena pemerintahan Jokowi tidak mampu, tetapi karena memang tidak berkepentingan mengatasinya secara serius meski dia menyatakan sebaliknya. Bagi pemerintahan Jokowi, pandemi bukan masalah yang patut diatasi, tapi peluang yang dapat dieksploitasi untuk akumulasi kapital dan kekuasaan. Pandemi telah digunakan sebagai dalih merepresi kritik, meloloskan banyak aturan bermasalah serta mencuri uang rakyat di antaranya lewat korupsi dana bantuan sosial! Dengan itu semua, pemerintahan Jokowi sudah kelewat brengsek!

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemerintahan yang pro-rakyat. Redistribusi ekonomi, perlindungan lingkungan serta jaminan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia harus berada di garis depan agenda pemerintah. 

Jokowi sebenarnya memiliki mandat itu. Masih segar dalam ingatan kita kampanye awal Jokowi pada tahun 2014. Ia berjanji memprioritaskan kepentingan rakyat dan mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, begitu berkuasa, pemerintahannya justru bergerak menghianati janji-janji kampanye itu. Soal penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Jokowi sekadar mengakui hal itu terjadi tapi tidak menegakkan keadilan lewat pengadilan dan mengungkap kebenarannya. 

Kebijakan Jokowi lebih memprioritaskan kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Tidak mengherankan jika tidak ada perubahan signifikan terkait bagaimana kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Tidak ada perubahan dalam perimbangan kekuatan yang memengaruhi kendali atas jalannya kekuasaan antara rakyat, khususnya kelas pekerja, dan jaringan oligarki yang terdiri dari para politikus, birokrat dan pebisnis. 

Persoalanya bukan sekadar bahwa dalam menjalankan kekuasaannya Jokowi dikelilingi para bandit dan tak bisa lepas dari pengaruh mereka. Perkaranya adalah Jokowi adalah bagian dari jaringan oligarki itu sendiri! Ia yang turut berinisiatif melemahkan KPK, menerbitkan UU Omnibus Cipta Kerja, memenjarakan dan merepresi para pendemo serta mengeksploitasi pandemi untuk melanggengkan kekuasaannya!

Tak hanya itu: Jokowi yang belasan tahun lalu masih pedagang berbakat di Surakarta, menjelang 2024 ini mencoba peruntungan sebagai king maker. Setidaknya, itulah istilah yang dipilih beberapa media daring tentang usahanya membangun sendiri koalisi di luar PDIP. Para jurnalis menghimpun data pertemuan-pertemuan petinggi beberapa parpol koalisi saat ini untuk menunjukkan kelihaian baru Jokowi dalam peruntungan menjadi penentu arah politik. Penampakan di muka itu mungkin menggoda para pencandu drama perseteruan politik, apalagi misalnya yang mengidamkan Jokowi berhadap-hadapan secara terbuka dengan Megawati Sukarnoputri dan kekuatan kelompok islamis.

Yang jangan sampai luput dari sorotan kita terhadap langkah itu, sebagaimana yang diwanti-wanti Jeffrey Winter saat Jokowi pertama kali berangkat ke ibu kota sebagai calon gubernur, adalah lingkaran oligarki di belakangnya.

Jika sematan king maker itu dikelupas, segera muncul wajah-wajah oligark yang mengincar kepastian proyek setelah Jokowi turun tahta. Tumpukan tebal uang di rekening mereka mungkin telah siap dikeluarkan untuk menciptakan narasi tentang pentingnya melanjutkan capaian Jokowi. Jika satu dasawarsa lalu meraih hasil memuaskan, mereka tentu lebih percaya diri untuk mengulanginya lagi–ditambah platform yang kian beragam dan algoritma yang semakin dipelajari untuk memoles citra.

Ongkos dana bagi praktik manipulasi itu ringan belaka dibanding keuntungan yang telah dan akan mereka raup dari seluruh “proyek strategis”, sedangkan ongkos sosialnya bukan perkara penting. Konsentrasi kapital, konsolidasi oligarki, dan depolitisasi masyarakat akan menjadi lebih liar lagi jika itu terjadi. 

Kembali tegas kita berseru: Cukup sudah Jokowi! Pada saat yang sama, kita harus percaya diri mengatakan bahwa nasib Indonesia berada di tangan rakyatnya. Untuk saat ini, kita harus bersatu menuntut pemerintah agar bekerja untuk semua rakyat, bukan hanya demi mereka yang kaya dan berkuasa. Kita harus menuntut kebijakan yang memprioritaskan keadilan sosial, redistribusi ekonomi, perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia. Kita harus menuntut para pejabat yang terpilih untuk bertanggung jawab kepada kita, rakyat yang telah memilih mereka.

Tapi kita tidak boleh naif berharap bahwa pemerintah akan menjalankan tuntutan ini. Tanpa ditopang oleh kekuatan rakyat yang dapat mengancam secara nyata kepentingan oligarki dan mengubah perimbangan kekuatan, tuntutan-tuntutan rakyat hanya seperti gonggongan anjing di siang bolong!

Karena itu, langkah selanjutnya yang jauh lebih penting adalah mempersiapkan kekuatan rakyat untuk bisa mengubah perimbangan kekuatan dalam mengendalikan jalannya kekuasaan. Kita harus terlibat secara bermakna dalam sistem politik untuk menantang kekuasaan oligarki. Ini artinya kita mesti berpartisipasi aktif dalam pemilu, mencalonkan diri, dan mendukung kandidat yang memprioritaskan kebijakan pro-rakyat dan mengadvokasi masyarakat yang lebih demokratis dan adil. Kuasa oligarki yang melingkupi pemerintahan sekarang haruslah mulai ditantang dengan serius. Keterlibatan politik dalam sistem yang berlaku kemudian menjadi keharusan.

Selain itu, penting untuk membangun gerakan akar rumput yang dapat menantang narasi dominan dan mengekspos dampak nyata dari kebijakan Jokowi terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini membutuhkan pembangunan outlet media dan jaringan media sosial yang independen dari kuasa oligarki agar dapat memberikan platform bagi suara-suara yang terpinggirkan.

Kita juga harus bekerja melakukan pendidikan politik yang memberdayakan warga agar lebih kritis memahami situasi yang tengah dihadapi dan tergerak untuk menjadi bagian dari gerakan politik progresif yang terorganisir dan berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik. Ini adalah kerja panjang, bagian dari investasi gerakan. 

Hanya dengan cara itu kekuasaan oligarki dapat ditantang, perimbangan kekuatan dapat diubah, serta keadilan sosial dan demokrasi dapat diwujudkan, bukan melalui perjuangan sporadis dan reaksioner!

19 April 2023

(Indoprogress)


Baca juga :