DUGAAN pembocoran dokumen hasil penyelidikan perkara korupsi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral oleh Firli Bahuri makin menunjukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah busuk sebatang badan. Polisi perlu masuk mengusut indikasi pelanggaran pidana oleh ketua komisi antikorupsi tersebut.
Mantan Direktur Penyelidikan KPK, Brigadir Jenderal Endar Priantoro, mengadukan Firli Bahuri ke Dewan Pengawas karena diduga membocorkan dokumen hasil penyelidikan kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun anggaran 2020-2022 kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif. Endar, yang mendadak diberhentikan Firli dari KPK, mengaku memiliki bukti peran pensiunan jenderal bintang tiga polisi itu dalam pembocoran dokumen super-rahasia tersebut.
Tim penyelidik KPK mendapatkan dokumen mereka sudah di kantor Kementerian ESDM ketika menggeledah kantor itu pada 27 Maret lalu. Dokumen tersebut berisi kesimpulan penyelidikan, seperti konstruksi perkara, terduga pelaku, dan pasal-pasal yang direkomendasikan untuk digunakan oleh KPK. KPK sendiri sudah menetapkan 10 tersangka dalam kasus ini.
Dugaan pembocoran dokumen itu bukan dosa pertama Firli. Sebelum menjadi ketua, dia tertangkap tangan berhubungan dengan pihak yang sedang beperkara dengan KPK. Dia diketahui, saat menjadi Deputi Penindakan KPK pada 2018, bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB). Pertemuan berlangsung ketika KPK sedang mengusut dugaan korupsi kepemilikan saham pemerintah daerah NTB di PT Newmont Nusa Tenggara, perusahaan tambang emas dan tembaga, pada 2009-2016. Melanggar kode etik berat, Firli Bahuri saat itu dikembalikan oleh pimpinan KPK ke kepolisian.
Setelah menjadi ketua, Firli Bahuri tersandung kasus lagi. Pada 2020, dia melanggar kode etik dengan bergaya hidup mewah, menyewa helikopter saat kunjungan kerja ke Palembang. Tapi kali ini hukuman Firli dari Dewan Pengawas KPK ringan, berupa teguran tertulis.
Melihat rekam jejak pemberian sanksi atas pelbagai pelanggaran Firli Bahuri, sulit berharap Dewan Pengawas akan memberi sanksi berat. Dewan, yang beranggotakan lima nama besar dari masa lalu, memiliki tugas mulia mengawasi sepak terjang pimpinan dan pegawai KPK dengan menjatuhkan sanksi berat setiap ada pelanggaran.
Namun itu jauh panggang dari api karena Dewan Pengawas KPK tak ubahnya seperti macan ompong. Alih-alih menindak, sanksi yang mereka berikan jauh dari ketentuan yang berlaku.
Walhasil, dalam kasus pembocoran dokumen penyelidikan perkara korupsi di Kementerian ESDM, polisi harus masuk mengusut. Badan Reserse Kriminal Polri memiliki kewenangan menyelidiki pelanggaran pidana dalam kasus ini. Langkah tersebut tidak sulit, mengingat sudah ada laporan masyarakat ke polisi ihwal dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Firli Bahuri.
Apalagi tindakannya kali ini bukan sekadar pelanggaran kode etik. Membocorkan dokumen penyelidikan kepada pihak yang sedang beperkara dengan KPK sama saja melanggar Pasal 21 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, yaitu sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langung atau tidak langsung proses penyidikan. Pidana terberatnya penjara 12 tahun.
Membocorkan dokumen penyelidikan juga bisa masuk kategori melanggar Pasal 36 Undang-Undang KPK. Pasal itu melarang pimpinan KPK berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang sedang berurusan dengan KPK. Ancaman hukumannya penjara maksimal 5 tahun.
Tanpa pengusutan yang serius dan pemberian sanksi yang tegas, KPK makin terkubur ke dalam kubangan lumpur. Presiden Joko Widodo, yang berperan dalam membuat mandul KPK dengan merevisi undang-undangnya, tidak boleh hanya diam menyikapi kondisi buruk itu.
Masuk menjadi rumpun eksekutif otomatis membuat Presiden menjadi orang paling bertanggung jawab atas KPK. Termasuk menindak tegas Firli Bahuri jika terbukti membocorkan dokumen penyelidikan perkara korupsi.
[Sumber: TEMPO]