Rangkap Jabatan
Kalian nyadar nggak sih, Indonesia itu sekarang punya kabinet paling gendut sejak Kabinet 100 menteri. Tahun 1966, Soekarno pernah membentuk Kabinet Dwikora, berapa anggotanya? 109 Menteri. Hari ini, kita punya 46 Menteri dan setara Menteri, tambahkan 15 wakil menteri. Belum menghitung staf ini, staf itu.
Kementerian sendiri, juga punya Deputi, Staf ini, Staf itu. Banyak sekali. Dan semua orang ini, perlu dikasih makan toh? Dan mereka jelas tidak bisa dikasih 'pangan' murah. Namanya juga pejabat. Maka dimulailah kisah rangkap jabatan dimana-mana.
Komisaris. Ini adalah solusi paling genius versi pemerintah. Deputi-deputi, Staf-staf ahli dikasih jabatan di BUMN, jadi komisaris. Kan lumayan, tantiem 1-2 milyar per bulan (BUMN kelas atas). Ratusan juta per bulan (BUMN kelas menengah). Untuk level buzzer, cukup kasih anak-anaknya BUMN, tantiem berapa puluh juta sebulan mereka sudah ngences.
Menteri, merangkap dimana-mana, dimana-dimana, juga biasa. Yang Mulia Luhut, adalah pemilik sebutan 'ketua', 'kepala' paling banyak di negeri ini. Juga menteri-menteri lain, ada banyak yang nyambi. Bahkan menteri bisa nyambi jadi ketua parpol, pun ketua PSSI. Organisasi FIFA yang biasanya alergi pemerintah mengintervensi asosiasi sepakbola, ajaib, mereka justeru happy.
Tabiat rangkap jabatan di pusat ini, menular ke daerah-daerah. Aduh, itu pejabat-pejabat daerah juga banyak kali 'posisi', 'jabatan'-nya. Sehingga honor, uang saku, uang rapat, otomatis juga membengkak.
Boleh rangkap, dobel-dobel jabatan? Boleh saja sih. Tidak ada yang melarang.
Tapi 2024 nanti, please, saya memohon, kepada siapapun capres, berhentilah berjanji:
1. Kabinet ramping
2. Tidak ada rangkap jabatan
3. Menteri dari kalangan profesional
Capek lihatnya. Mending ngaku saja sejak awal, mau bagi-bagi jabatan.
Sebagai penulis, duh nasib. Saya itu kan menulis banyak catatan, sehari bisa 3-4 catatan. Bayangkan saat saya membaca ulang catatan tahun 2014, tahun 2004, saya hanya termangu. Ini teh sama saja. Di awal sok idealis, di ujung bagi-bagi jabatan juga.
Dan besok-besok, saat rambut saya sudah memutih semua (kalau umur panjang), sy tetap menulis catatan yg sama. Boleh jadi siklus Kabinet Dwikora akan terulang lagi.
Nanti 2034?
Nanti 2044?
(By Tere Liye)