Adakah ini menjelaskan kenapa dulu Ganjar, yang sebelum-sebelumnya tak pernah ngomong soal masalah internasional, tiba-tiba bicara (dengan nada fals) soal penolakan Timnas Israel di gelaran Pildun U-20 yang batal digelar di Indonesia? Atau bagaimana mungkin menjadi petugas partai sembari kemudian bekerja sebagai presiden (jika terpilih)?
Atau juga menjelaskan pernyataan Bambang Pacul terkait RUU Perampasan Aset yang meminta Mahfud MD sebaiknya melobi ketua umumnya saja, karena dia hanya “tak akan bsa bilang apa-apa jika sudah ditelepon ketua umum?”
Bagaimana bisa seorang wakil rakyat lebih sendiko dawuh kepada ketua umum partainya ketimbang berpihak ke kepentingan rakyat? Lalu mereka ini wakil rakyat atau wakil partai? Di manakah kedudukan parpol itu sendiri dalam sistem demokrasi kita? apakah kepanjangan rakyat atau kepanjangan petinggi parpolnya saja?
Jawabannya bisa sangat panjang.
Dari situs kemendagri, parpol disebut dengan nada mulia. Yakni menjadi wadah ajang penggodokan pemimpin nasional. Sebuah definisi yang khas pemerintah: keliatan bagus, tapi gak ada maknanya.
Lihat saja pilpres. Rezim pilpres yg sekarang mengharuskan bahwa untuk menjadi capres-cawapres, harus melalui parpol. Itu pun masih diberi tambahan presidential threshold sebesar 20 persen lagi. Menegaskan kuasa parpol.
Belum lagi, parpol berkuasa penuh mengendalikan anggota legislatifnya di parlemen. Dan juga eksekutif. Kita simak saja bagaimana Megawati dalam pernyataan terbuka menyebut Jokowi sebagai petugas partai, dan dengan tone menegaskan ”who’s the boss”.
Padahal, semua kebijakan publik yang penting dan strategis semuanya diputuskan di ranah politik. Dan pengendalinya adalah parpol. Bahkan, konon untuk jabatan menteri/setingkat menteri adalah jatah parpol. Kalopun orang non-parpol, dia harus mengakomodasi kepentingan parpol (baca: sapi perah).
Di sisi lain, parpol ini sama sekali left unchecked. Tidak ada mekanisme pengawasan publik/non publik yang efektif kepada parpol. Ini tak benar, karena selain memegang kekuasaan yang besar (kalo boleh dibilang, kedaulatan di Indonesia day to day nya ya di parpol), mereka juga dapat bagian dari APBN/D melalui dana banpol.
Tentu ada yang bilang, bahwa untuk menghukum parpol kan tinggal tidak pilih mereka saat pemilu. Jelas itu retorika kosong. Yang pertama, itu bukan mekanisme check-balance yang baku. Yang kedua, meski tak dihukum pun, yang datang ke TPS ya para kader parpol itu sendiri. Masyarakat non kader tak begitu banyak yang datang.
Ketiga, golput sama sekali tak dihitung dalam sistem demokrasi kita. Memang keren jika disebutkan fakta “60 persen masyarakat kita tak memilih”, misalnya. Namun ya sudah itu saja, tak ada konsekuensi apa-apa, dan isunya mudah ditenggelamkan oleh isu yang lain.
Situasi yang sungguh bahaya. Ada entitas dengan kekuasaan begitu besar tapi sama sekali tak ada mekanisme pengawasan yang proper. Ya seperti pilpres, tahu-tahu masyarakat disodori nama-nama saja (dalam kasus pilpres tahun depan, paling banter ya kita disodori nama prabowo, anies, dan ganjar, yang kita kalau mencari prestasinya saja harus googling serius dulu dan kemudian kening berkerut), tahu-tahu muncul UU Ciptaker, tahu-tahu muncul kebijakan aneh yang membuat publik sengsara dan menguntungkan segelintir elit saja. Karena semuanya diputuskan dalam ranah oligarkhi parpol.
Saya bukan anti parpol, tapi jika terus seperti ini, ya Indonesia akan begini-begini saja. Sudah waktunya, entitas yang punya kekuasaan besar harus punya mekanisme check and balance kekuasaan yang sebanding pula.
Menurut Socrates, kehidupan yang tidak pernah diperiksa adalah kehidupan yang tak layak dijalani. Makanya, dia menganggap dirinya sebagai “lebah pengganggu yang selalu menyengat sapi athena yang gemuk dan lamban agar bisa gesit bergerak.” Dalam kasus parpol, sama sekali tidak ada lebah pengganggunya…
(Kardono Ano Setyorakhmadi)