[PORTAL-ISLAM.ID] President of Uyghur Human Rights Project (UHRP) Omer Kanat mengatakan pengekangan beribadah umat Muslim Uighur nyata adanya. Kejadian itu sudah berlangsung sejak lama. Bahkan dia menyebut ada sekitar 2-3 juta yang masuk kamp konsenstrasi dengan dalih pembinaan ideologi komunis tapi nyatanya di camp tersebut terjadi penyikasaan dan cuci otak. Tujuannya untuk memutus mata rantai kebudayaan nenek moyang mereka, yang secara turun temurun beragama Islam, agar selaras dengan kebijakan pemerintah China.
Hal tersebut disampaikan Omer Kanat secara daring dalam diskusi publik bertajuk “Memantik Solidaritas Umat Islam Menyikapi Pengekangan Hak Muslim Uighur” di hotel Balairung Jakarta, Rabu (14/4/2023)
“Secara etnis dan budaya kami berbeda dengan China. Secara turun temurun nenek moyang kami memeluk Islam sejak abad ke 10, jauh lebih dahulu dari bangsa Indonesia. Kami ingin hidup sesuai tradisi kami,” tutur Kanat dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan oleh moderator Ahmad Arafat.
Diskusi diselenggarakan oleh Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) bekerjasama dengan Perhimpunan Remaja Masjid Indonesia – Dewan Masjid Indonesia (PRIMA DMI).
Selain Kanat ikut memberikan paparan Sekjen Dewan Masjid Indonesia KH. Imam Addaruqutni, aktivis Traveler Muslim Nanang Qosim, Ketum PJMI Ismail Lutan, Ketum PRIMA DMI Munawar Khalid, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional MUI Pusat (2015-2020) Dr. K.H. Shobahussurur Syamsi, M.A. dan moderator oleh Ahmad Arafat.
Ditambahkan Kanat, pada kenyataannya, pemerintahnya (China-red) ingin menghapus jejak leluhur kebudayaan Uighur dan ingin menyelaraskan dengan kebijakan (ideologi) pemerintah.
“Bahkan lebih dari 1000 Imam kami ditahan dan dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi,” tambahnya.
Omer Kanat adalah advokat hak asasi manusia Uighur, Direktur Eksekutif Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP), dan Ketua Komite Eksekutif Kongres Uighur Dunia (WUC). Dia ikut mendirikan UHRP pada tahun 2003 dan Kongres Uighur Dunia pada tahun 2004. Dia telah menjabat sebagai Wakil Presiden Kongres Uighur Dunia sejak 2006 dan Ketua Komite Eksekutif WUC sejak 2017.
Sebelum bekerja sebagai advokat hak asasi manusia, dia bekerja selama dua dekade sebagai jurnalis penyiaran. Dari tahun 1999 hingga 2009, Mr. Kanat adalah Editor Senior di Layanan Uyghur Radio Free Asia.
Omer Kanat lahir pada tahun 1961 di kota Ghuljain Turkistan Timur (orang-orang Uighur yang wilayahnya dianeksasi China). Pada tahun 1971, pada usia 10 tahun, keluarganya beremigrasi ke Afghanistan. Dia pindah ke Turki pada tahun 1979. Kemudian pindah ke AS pada tahun 1999.
Omer Kanat secara teratur bertemu dengan anggota Kongres AS untuk memberi pengarahan kepada mereka tentang hak asasi manusia Uyghur dan respons kebijakan, dan telah bersaksi di hadapan Kaukus Hak Asasi Manusia Senat dan Satuan Tugas Peringatan Dini Kekejaman AS.
***
Sementara itu pembicara lain, Dr. K.H. Shobahussurur Syamsi, M.A.(disampaikan dalam bentuk tertulis karena pada waktu bersamaan berada di pesawat menuju Surabaya karena Ibunya sakit keras) mengatakan, masalah Uighur adalah problem umat Islam dunia.
Ia menyampaikan beberapa solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut, di antaranya, para ekspatriat Uighur di pengasingan, agar menyatukan tekad untuk membebaskan bangsanya dari kekuasaan China. Membuat visi dan misi tentang bangsa Uighur baru yangg mandiri dan berdaulat.
Kemudian menetapkan pimpinan tertinggi yang mengorganisir perjuangan, dengan keterampilan dalam berdialog dengan berbagai bangsa.
Tahapan selanjutnya, tambah Syamsi, aktivis Uighur tersebut harus melakukan dialog terus menerus dengan pihak China untuk mencari titik temu yang saling menguntungkan. Membuat tahapan-tahapan perjuangan dari yang paling utama dengan mengangkat masalah pendidikan yang dianaktirikan sampai masalah ketimpangan sosial dan kebebasan berekspresi dan beragama.
“Saya menyarankan menghindari cara-cara kekerasan yangg dilakukan kelompok-kelompok kecil Uighur supaya tidak timbul reaksi negatif tentang radikalisme dan terorisme. Juga harus mengirimkan putra putri terbaiknya belajar di Perguruan Tinggi luar negeri,” tambahnya.
Solidaritas Indonesia
Masyarakat Indonesia, lanjut Syamsi, perlu mempelopori untuk menerima pelajar dan mahasiswa Uighur belajar di perguruan tinggi di Indonesia dengan beasiswa yang dicarikan oleh pihak Indonesia. Kemudian memberikan bantuan pendampingan dalam hal komunikasi, dialog, dan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak.
“Di sini PJMI dapat berperan untuk menjembatani proses perdamaian antara China dan bangsa Uighur untuk mendapatkan solusi yang memadai. Kegiatan bisa berupa diskusi, seminar dan dialog. Lobi-lobi dengan berbagai pihak agar diperbanyak dan lebih fokus ke arah terwujudnya perdamaian di kawasan Xinjiang itu,” anjur Syamsi.
Sedangkan Ketua Umum PJMI Ismail Lutan mengatakan, diskusi tentang Uighur tersebut merupakan salah satu bentuk kepedulian organisasinya untuk turut serta memperjuangkan hak-hak umat Muslim yang tertindas di belahan dunia mana pun.
Sebelumnya, pihaknya juga telah mengundang Aqsa Working Group (AWG) berdiskusi di sekretariatnya. AWG memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina yang ditindas Israel.
“Ini adalah bagian dari semangat dan perjuangan PJMI untuk umat Muslim yang tertindas,” tutup Ismail.
[FNN]