Menjadi Imam Tarawih di tengah-tengah masyarakat umum, yang lebih utama adalah tidak memberatkan mereka

[PORTAL-ISLAM.ID] Menjadi imam tarawih di tengah-tengah masyarakat umum, yang lebih utama adalah tidak memberatkan mereka. Santai tapi tidak berlama-lama, kecuali apabila mereka meridhai atau bahkan menghendakinya. 

Sekitar 12 tahun silam, saat lagi semangat-semangatnya, hafalan juga belum banyak yang "tercecer", kalau ngimami Tarawih, satu halaman saya bagi dua.

Beberapa tahun selanjutnya, satu halaman saya bagi tiga. Beberapa tahun selanjutnya, satu halaman saya bagi empat. Dalam hati saya merasa gak nyaman, kalau durasinya terlalu lama. Saya merasa kasihan sama makmumnya, apalagi banyak yg rambutnya sudah memutih, alias mbah-mbah. Klo mau sujud, mereka pelan-pelan. 

Dan saya yakin, pada umumnya jama'ah itu seneng klo shalat Tarawihnya cepat selesai. Yang penting syarat rukunnya terpenuhi, dan yang penting gak ngebuuuut. Kecuali kalau memang sudah disepakati bahwa shalat Tarawih di masjid tertentu, 3 juz setiapnya selama 10 hari terakhir, atau jamaahnya khusus mu'takif yang sudah paham pelaksanaan Tarawih di masjid tersebut. 

Suatu ketika saat saya selesai ngimami Tarawih di salah satu Masjid Muhammadiyah, ketua PCM-nya berbisik, "Terima kasih. Saya suka dengan bacaannya tadi... Nyantai, tapi gak terlalu lama.." "Itu tadi satu halaman saya bagi 4 pak... ", kata saya. Beliau bilang, "Bagi kami (yg tua2), itu lama... Tapi yg tadi dah pas kok..."
 
Bagi saya, di zaman seperti ini, orang mau mengikuti shalat Tarawih sampai selesai hingga akhir Ramadhan itu istimewa. Apalagi mau menjalankan shalat fardhu berjama'ah di masjid secara rutin, termasuk hal yg langka. Klo perlu, empat jempol kita dikasihkan kepadanya... 😊

(Abu Sumayyah)

Baca juga :