KOALISI BESAR DAN PRAKIRAAN KEADAAN 2024
Oleh: M Arief Pranoto
Secara tersirat, tajuk agenda dalam Pemilu 2024 ialah: "Melanjutkan program infrastruktur Jokowi". Ya. Meski remang, agenda dimaksud berjalan senyap lagi pasti. Tak bisa tidak.
Ketika MPR hanya selevel BPK, MK, DPD dst (lembaga tinggi, bukan Lembaga Tertinggi Negara); tatkala Mandataris MPR sudah tidak ada (Presiden cuma petugas partai); selama konstitusi tak mengenal lagi GBHN; sepanjang MPR tidak bisa memilih presiden/wakil dan lainnya, maka dibolak-balik bagaimanapun narasi politik akan gampang dibaca. Terang benderang. Katakanlah, se-ekstrim apapun fluktuasi perkembangan politik, arah anginnya mudah ditebak dan jejak para elit tidak sulit dilacak.
Mudah sekali membaca manuver para petinggi dan elit partai jelang Pemilu 2024. Selain mereka mulai menebar sinyal soal capres/cawapres yang digadang-gadang, paling menarik ialah rajutan antarkoalisi. Koalisi Besar contohnya, sebuah kejutan jelang 2024. Ini model koalisi yang ditawarkan oleh Golkar. Jalinan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yaitu Golkar, PPP dan PAN bergandeng dengan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yakni Gerindra dan PKB. Luar biasa. Ide ini, selain bisa mengancam eksistensi PDI-P sebagai ruling party pada satu sisi, juga mampu 'menjepit' Koalisi Perubahan (Nasdem, PKS, dan Demokrat) di sisi lain. "Satu ayunan dua pukulan". Cakep. Apalagi Demokrat kini tengah di-'PK'-kan oleh Pak Moel ---Peninjauan Kembali--- hingga ke Mahkamah Agung (MA) dalam kasus 'rebutan kepemimpinan' di Demokrat.
Di sini, posisi capres dari Koalisi Perubahan (Anies Baswedan) agak rawan bila panitia pendaftaran mensyaratkan partai pengusung capres wajib clean and clear dari masalah hukum. Artinya, jika Demokrat leave group dari Koalisi Perubahan akibat tersandung 'PK'-nya Pak Moel maka presidential threshold tidak sampai 20%. Retorikanya, "Apakah manuver Pak Moel memang untuk menjegal ARB?"
Diam-diam, Golkar sendiri tengah dirundung konflik internal. Aroma perpecahan tercium akibat ambisi person dan faksi di internal ingin mengambilalih kepemimpinan Golkar. Bila perseteruan internal tersebut mencuat di atas permukaan, maka anatomi konflik mirip kasus Demokrat.
Gilirannya, pencalonan kandidat dalam Koalisi Besar (KIB dan KIR) yang sebelumnya hampir mengerucut, bisa berantakan karena ada salah satu ketua partai ingin menjadi cawapres. Kudu ada tata ulang kekuatan, formatur, penyaringan kembali kandidat capres/cawapres, dan lain-lain. Memang akan terlihat sedikit gaduh.
Nantinya, ide dan wacana perpanjangan waktu jabatan presiden, kembali bergulir. Mencuat lagi. Tak terduga, wacana dimaksud seperti menemukan momentum atas keberadaan Koalisi Besar. Namun, mutlak harus melalui pintu penundaan pemilu berdalih kegentingan memaksa ataupun dalih-dalih lainnya. Jujur, isu ini mengandung risiko tinggi khususnya penolakan publik baik dari kalangan elit politik dan akademis, kelas menengah, maupun penolakan oleh akar rumput. Nyaris tidak ada skenario yang dapat diterima oleh publik kecuali menggelar Pemilu 2024 sesuai jadwal.
Gegara Koalisi Besar, maka alternatif hajatan 2024 tinggal dua skenario:
Skenario I: Tetap digelar Pemilu meski penuh ketidakpastian (unpredictable). Ada kegalauan di sekeliling oligarki karena calon-calon mereka berjatuhan satu per/satu, oleh sebab tidak mampu berselancar di tengah lingkungan strategis terutama tatkala isu Timnas Israel U-20 gaduh di publik; dan
Skenario II: Ada perpanjangan masa jabatan presiden antara 3 - 4 tahun dengan risiko, itu tadi -- akan muncul gejolak signifikan di kalangan elitis, kelas menengah, dan akar rumput.
Berkenan skenario mana hendak dipilih?
Bagi istana, dua skenario di atas sama-sama tidak menguntungkan. Buah simalakama. Apa hendak dikata, lahirnya Koalisi Besar lintas koalisi (KIB dan KIR) mampu mengubah peta kekuatan dalam perhelatan 2024. Para stakeholder pun menghitung ulang langkahnya, sedangkan hari H kian mendekat.
Dalam konsolidasi ---hitung ulang--- nanti, akan muncul ide strategis yang dipersepsikan sebagai "jalan tengah" bagi kedua skenario tadi, antara lain yaitu:
Pertama, digelar konvensi alias Kesepakatan Nasional guna menyelesaikan kebuntuhan konstitusi dengan cara-cara bijak demi keselamatan bangsa dan negara; atau
Kedua, diterbitkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 Naskah Asli dalam rangka menampung aspirasi rakyat dan para elit untuk tetap digelar Pemilu, namun melalui mekanisme di MPR RI selaku Lembaga Tertinggi Negara.
Gilirannya, Kedaulatan Rakyat yang telah dibajak kaum reformis sejak amandemen ke-4 (2002) akan dikembalikan lagi. Kedaulatan Rakyat dipulihkan kembali. Memang (tetap) akan muncul gejolak massa sebagai akumulasi hazard masa lalu, atau ada massa aksi terkait support terhadap jalannya sidang di MPR, namun demonstrasi di luar gedung cenderung terkendali, soft, dan terlokalisir di Senayan kendati riak-riak di daerah lain juga ada.
Peta konflik di Senayan nantinya lebih kepada rebutan alias berebut siapa yang berhak duduk sebagai perwakilan 'utusan'; dan siapa berwenang menunjuk para utusan, baik dari golongan maupun utusan daerah? Kenapa begitu, sebab anggota DPD RI yang kini berada dan duduk sebagai anggota MPR versi UUD NRI 1945 (hasil amandemen), disinyalir justru ingin menjadi anggota DPR dari fraksi perorangan bila status MPR ---balik ke UUD 1945 Naskah Asli--- dipulihkan lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Tak dapat disangkal, kapasitas MPR RI bakalan superjumbo karena situasi dan faktor konvensi. Nah, Peristiwa ini niscaya mengundang sorotan publik baik regional maupun global. Itulah sekilas prakiran keadaan ke depan jika mesin Koalisi Besar telah beroperasi.
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.
(Tamat)