Khutbah Idulfitri 1444 H/2023 M: Tegakkan Keadilan Tumbangkan Kezaliman

Khutbah Idulfitri 1444 H/2023 M: Tegakkan Keadilan Tumbangkan Kezaliman

للهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا، وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَلَا نَعْبُدُ إِلَّا إِيَّاهُ، وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَرَحْمَتُهُ الْمُهْدَاةُ، صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ. أما بعد، فَأُوصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ، قَالَ تَعَالَى: إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ، اُدْخُلُوْهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ (الحجر: ٤٥-٤٦)

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,

Hari-hari Ramadhan 1444 H yang penuh barakah, kini telah berlalu. Malam lailatul qadar yang penuh rahmat, yang lebih baik dari 1000 bulan, kita tak tahu adakah kita termasuk salah seorang yang beruntung dapat bertemu dengannya? Tiba-tiba saja, gema takbir, tahlil, dan tahmid saling bersahutan membahana di angkasa, menyambut hadirnya Hari Raya Idulfitri 1444 H bertepatan dengan tanggal 21 April 2023 M. Gema takbir yang menandai purnanya bulan istimewa, yaitu Ramadhan yang penuh kasih sayang (rahmah), bertebar ampunan (maghfirah), serta penebus dari api neraka (‘itqun minan-nar).

Kita bersyukur ke hadirat Allah Swt yang telah menunjukkan kepada manusia jalan hidup yang lurus untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Dan kita bersyukur kepada Allah Rabbul Alamin, karena tahun ini kita masih berkesempatan bertemu dengan Hari Raya yang mubarok ini.

Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad Saw yang dengan perantaraan beliau, Allah sebarkan rahmat dan karunia-Nya. Suatu derajat tinggi dan mulia yang mustahil dapat diraih oleh manusia manapun di muka bumi ini. Maka pantaslah, segala ucapan, perbuatan serta akhlak beliau menjadi teladan amal shalih untuk menelusuri jalan lurus menuju keridhaan-Nya. Semoga ibadah dan amal shalih yang kita hidupkan selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT. Khilap dan salah yang membelokkan kita dari petunjuk Rasulullah Saw diampuni, dan Allah berkenan menganugerahi kesehatan dan kekuatan untuk menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.

Marilah kita bertakwa kepada Allah, dengan takwa yang tidak sekadar retorika, tapi takwa dalam pengertian sebenar-benarnya, baik dalam ucapan maupun perbuatan, demi menaati firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar; niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]:70-71)

Tegakkan Keadilan

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، وَلِلهِ الْحَمْدُ

Sesungguh syariat yang dibawa oleh para Nabi mengajarkan kepada manusia tentang urgensinya menegakkan keadilan. Yaitu, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Dan setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan.

Keadilan merupakan barometer keabsahan suatu tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.

Dengan keadilan, berbagai tata aturan dunia bisa tegak, kebahagian manusia tercapai, serta ketenteraman hidup bisa diraih. Dengan keadilan akan tercapai kemakmuran, terwujud persatuan, terjalin persaudaraan, terjaga kehormatan, terlindungi semua hak, dan kekacauan bisa dihentikan. Tidak akan ada ketenangan dan kebahagiaan hidup manusia tanpa tegaknya keadilan.

Allah Swt berfirman,

وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ

“Jika kalian memutuskan perkara sesama manusia, hendaklah kalian memutuskan dengan adil.”

Berdasarkan Syariat Islam, Nabi Muhammad Saw telah meletakkan tata aturan hidup untuk seluruh umat manusia. Tata aturan Maha Agung, yang tercatatat dalam kitab suci Al-Qur’an dan dibukukan dalam kitab hadits Nabi Muhammad Saw.

Tegaknya keadilan adalah dasar utama membangun negara yang adil dan makmur, serta memajukan masyarakat, sebagaimana cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebuah cita-cita luhur, dimana dimasa sekarang semakin menjauh bagaikan barang mewah yang tak terjangkau harganya.

Lawan dari keadilan adalah kezaliman. Tidaklah suatu peradaban atau suatu negara hancur, kecuali disebabkan oleh kezaliman. Kezaliman adalah tanda awal rusaknya bangunan masyarakat. Kerusakan yang ditimbulkannya pun sangat luar biasa yang dapat menjerumuskan pada akhir yang buruk.

Dalam Islam, perintah untuk berbuat adil datang dari penguasa alam semesta, Allah Swt, yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an,

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sungguh Allah menyuruh manusia supaya berbuat adil dan kebajikan, memberikan pertolongan kepada kaum kerabat, dan mencegah segala perbuatan kotor, mungkar dan zhalim. Allah telah memberikan nasehat kepada kalian agar kalian mau taat kepada-Nya.” (QS An-Nahl (16): 90)

Ayat ini merupakan ayat al-Qur’an yang paling lengkap menyerukan aturan hidup bagi kemaslahatan manusia, sekaligus fondasi dalam membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Masyarakat diwajibkan terlibat langsung melahirkan masyarakat adil dan makmur dengan melakukan kebajikan, tolong menolong dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran serta kezaliman.

Sesungguhnya Allah memerintahkan seluruh manusia supaya jujur dan adil dalam segala urusan. Membalas kebaikan dengan sesuatu yang lebih baik, membalas keburukan dengan memberi maaf dan ampunan. Kemudian memberikan hak-hak kepada kerabat berupa silaturahmi dan berbuat baik.

Keadilan, dalam pengertian bahwa setiap orang mendapatkan haknya, pemerintah bertanggungjawab atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya, dan rakyat bertanggungjawab atas eksisten negaranya. Hal ini akan bisa meruntuhkan kesombongan para tiran, oligarki yang merasa lebih hebat dari orang lain. Keadilan bisa memadamkan api fitnah, kebencian, perpecahan, dan fanatisme, rasisme, sehingga semua manusia bisa mendapatkan kemuliaan dan kehormatannya.

Keadilan adalah dasar utama untuk membangun negara, memajukan dan memakmurkan masyarakat. Tidaklah suatu peradaban atau suatu negara hancur, kecuali disebabkan oleh kezaliman. Kezaliman adalah tanda awal rusaknya masyarakat.

Selanjutnya, ayat di atas juga melarang setiap keburukan, baik berupa perkataan ataupun perbuatan. Seperti ghibah, namimah, zina, pelit, dan dari setiap sesuatu yang dilarang syariat Islam serta tidak sesuai dengan akal sehat. Seluruh perbuatan maksiat seperti: pelacuran, judi, korupsi, makan riba, mabuk minuman keras, persekongkolan jahat. Juga, kezaliman, permusuhan, fitnah adu domba, bohong, ingkar janji, dan menebar hoax. Allah mengingatkan manusia dengan Aturan dan Hukum-Nya supaya manusia mengambil pelajaran, bahwa mengerjakan apa yang diperintahkan Allah pasti akibatnya baik. Sebaliknya, melanggar larangan-Nya pasti berakibat buruk dan merugikan pelakunya.

Kezaliman Fir’aun dan Fir’aunisme

Kezaliman merupakan perbuatan tidak terpuji yang tentu dilarang oleh Allah SWT. Berbuat zalim memiliki makna berbuat tercela yang begitu banyak ragamnya. Ada puluhan sinonim dari kata zalim dalam bahasa Indonesia. Zalim bisa bermakna bengis, kasar, kejam, jahat, nakal, tercela, keji, jahil, berdusta dan sebagainya.

Di dalam Al-Qur’an, kata zalim setidaknya tersebut sebanyak 289 kali. Ini berarti soal zalim bukan sesuatu yang sepele dan tidak boleh dianggap sepele. Sebagai umat Islam kita harus mewaspadai, mencegah, dan menjauhi perkataan, perilaku, dan tindakan yang zalim. Sebab kezaliman akan mendatangkan mudarat dan dosa.

Setidaknya terdapat 3 jenis kezaliman yang mesti kita waspadai dan hindari adalah sebagai berikut:

Pertama, zalim kepada Allah, yaitu mendustakan hukum Allah dan Rasul-Nya. Menolak berlakunya syariah Islam, mendiskreditkan ajaran Islam seperti jihad, khilafah, merupakan tindakan zalim kepada Allah Swt. Kezaliman ini tidak bisa diampuni karena sudah mengingkari dan berbuat syirik, hingga pelakunya bertaubat kepada Allah. Perhatikan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَظَلَمُوْا لَمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيْقًاۙ

“Allah tidak akan memberi ampunan sedikit pun kepada orang-orang kafir dan orang-orang yang berbuat syirik. Mereka itu tidak akan mendapatkan hidayah dari Allah.” (QS An-Nisa’ (4): 168)

اِلَّا طَرِيْقَ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا

“Orang-orang kafir dan orang-orang musyrik hanya memperoleh jalan menuju neraka Jahanam. Mereka akan menghuni neraka Jahanam untuk selamanya. Memasukkan mereka ke dalam neraka Jahanam adalah sangat mudah bagi Allah.” (QS An-Nisa’ (4): 169)

Kedua, zalim kepada sesama manusia. Kezaliman ini sangat dibenci oleh Allah Swt. Bentuk kezaliman kepada sesama manusia begitu banyak, seperti mencela, memfitnah, menindas, mengambil harta tanpa hak, berlaku kejam, dan berlaku tidak adil. Kezaliman jenis ini, baik dilakukan oleh penguasa negara kepada rakyatnya maupun antara anggota masyarakat, amat merugikan manusia yang lain. Tindakan zalim seperti ini juga harus kita waspadai dan jauhi, bahkan diperangi.

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Orang-orang yang melanggar hak orang lain dengan cara zhalim dan permusuhan di muka bumi, mereka itulah yang dikenai hukuman. Mereka itu kelak akan mendapatkan adzab yang pedih di akhirat.” (QS Asy-Syura (42): 42)

Rasulullah Saw bersabda yang artinya: Dari Abu Hurairah dia berkata: Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”.(HR. Muslim)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga bersabda:

“Barangsiapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR Bukhari).

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Allahu Akbar, Allahu Akbar, walillahil hamdu

Dalam konteks pemerintahan negara, sosok Fir’aun menjadi personifikasi penguasa diktator sebagai pewaris fir’aunisme. Dia berbuat sewenang-wenang dan menindas rakyatnya dengan amat kejam. Untuk melestarikan kekuasaannya Fir’aun bersekongkol dengan para konglomerat hitam seperti Qarun, dan akademisi serta tokoh agama seperti Haman. Tidak lain, demi kekuasaan mereka ikhlas menyengsarakan rakyatnya, menindas mereka yang kritis terhadap kezalimannya, mengkriminalisasi ulama seperti yang pernah terjadi pada Nabi Musa dimasa rezim Fir’aun berkuasa. Sang raja zalim ini tak ragu membunuh anak lelaki masyarakat Mesir demi memenuhi ambisi kekuasaannya, dengan alasan memberantas ilusi pemberontakan yang muncul dalam mimpinya.

“Sesungguhnya Fir‘aun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Ssesungguhnya Fir‘aun termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (Qs. Al-Qashash: 42).

Di zaman modern, kezaliman ala Fir’aun banyak menginspirasi penguasa-penguasa jahat dan khianat yang menolak berlakunya syariat Islam di lembaga negara.

Kezaliman yang dijalankan melalui kekuasaan akan semakin berutal apabila mendapat pembenaran dari kaum intelektual maupun tokoh agama, seperti Haman serta didukung konglomerat hitam, penghamba cuan seperti Qorun.

Ketiga, adalah zalim terhadap diri sendiri. Manusia juga bisa berbuat zalim kepada dirinya sendiri, baik disadari atau tidak disadari, sengaja atau tidak disengaja. Mengotori pikiran dan jiwanya dengan dosa merupakan kezaliman kepada diri sendiri yang berakibat sangat merugikan.

ثُمَّ اَوْرَثْنَا الْكِتٰبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَاۚ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ ۚوَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ ۚوَمِنْهُمْ سَابِقٌۢ بِالْخَيْرٰتِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُۗ

“Kemudian Kami wariskan Al-Qur’an kepada umat Muhammad, hamba-hamba pilihan Kami. Sebagian umat Muhammad ada yang menzolimi dirinya sendiri (lebih banyak berbuat dosa daripada amal shalihnya). Sebagian lagi ada yang pertengahan (amal shalihnya sepadan dengan dosanya). Sebagian lain lagi amal shalihnya sangat banyak dengan izin Allah. Orang yang amal shalihnya amat banyak itulah yang akan mendapat karunia yang amat besar dari Allah.” (QS. Fathir (35): 32).

Semua perbuatan yang melanggar perintah dan larangan Allah SWT adalah perbuatan yang menzalimi diri sendiri. Meninggalkan shalat, dan tidak melaksanakan kewajiban mengamalkan rukun Islam lainnya, puasa dan berzakat adalah contoh berbuat zalim kepada diri sendiri. Mengetahui sesuatu yang baik dan benar tapi tidak dikerjakan tanpa alasan adalah menzalimi diri sendiri. Tidak mau melaksanakan perintah Allah adalah menzalimi diri sendiri, karena segala yang diperintahkan Allah pasti. Sebaliknya segala pelanggaran terhadap larangan Allah pasti berakibat buruk.

Sebagai manusia muslim, tentu kita selalu berusaha dan waspada serta selalu menjauhi segala bentuk kezaliman. Zalim kepada Allah SWT, zalim kepada sesama manusia, dan zalim kepada diri sendiri hanya akan merugikan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Mari kita senantiasa saling mengingatkan agar kita terhindar dari segala bentuk kezaliman, baik dizalimi maupun menzalimi orang lain.

Jadilah Pembuka Pintu Kebaikan

Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd

Perintah dan larangan dalam Qs. An Nahl ayat 90 di atas selaras dengan posisi, fungsi, dan peran umat Islam dalam kehidupan ini. Agar umat Islam senantiasa menjadi pembuka jalan-jalan kebaikan dengan cara beramal shalih, dan menutup jalan-jalan keburukan dengan meninggalkan kemungkaran. Rasulullah Saw. bersabda: Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ، مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ، وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka kebaikan dan penutup pintu keburukan. Dan sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka keburukan dan penutup kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang Allah jadikan sebagai pembuka kebaikan melalui tangannya. Dan celakalah orang-orang yang Allah jadikan sebagai pembuka keburukan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini adalah hadits yang agung, dan maknanya dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya. Berjuang untuk menegakkan syariat Islam, hakikatnya membuka jalan kebaikan bagi manusia. Sebaliknya, segala upaya manusia merongrong bahkan menghalangi tegaknya syariat Islam merupakan upaya membuka jalan-jalan kejahatan yang akan menjerumuskan manusia ke lembah kesengsaraan di dunia dan akhirat.

Maka patutlah kita mengingat jasa para Da’i Muslim yang mendahwahkan Islam di Nusantara sehingga Islam berkembang pesat di negeri ini. Menurut catatan sejarah Islam masuk ke Nusantara pada abad ke 7 dibawa oleh para pedagang dari negeri Arab. Seorang kyai yang kurang memahami sejarah, pernah mengomentari fakta sejarah ini, dengan tujuan mendiskreditkan peran dakwah para habaib di Indonesia. “Sebaiknya para habib tidak perlu berdakwah di Indonesia, sebab hanya memecah belah umat,” katanya dalam sebuah video yang viral.

“Dulu Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab. Berdakwah di Nusantara sambil berdagang. Jadi fokusnya berdagang bukan mendakwahkan Islam,” ujarnya lagi.

Ungkapan ini tentulah kurang bijaksana, terutama bila dikaitkan dengan maraknya Islamofobia maupun Arabfobia akhir-akhir ini. Benarkah pedagang Arab yang masuk ke wilayah Nusantara membawa Islam hanya sambil berdagang? Jika benar, maka patut kita berterimakasih pada jasa pedagang Arab, yang telah membawa Islam. Dia datang dengan biaya sendiri, untuk menyampaikan Islam sehingga Nusantara terbebas dari animisme dan kemudian menganut agama Tauhid. Bisnis untuk dakwah, bukan dakwah untuk bisnis!

Pertanyaannya, mengapa kedatangan pedagang Arab membawa Islam dipersoalkan oleh Sang Kyai, sementara bersikap toleran terhadap bangsa kafir Belanda yang melalui perdagangan melakukan kristenisasi di Nusantara?

Belanda datang ke Nusantara di bawah bendera voc untuk merampok rempah-rempah dan kemudian menjadi alasan untuk menjajah negeri ini selama 350 tahun. Belanda berdagang untuk menjajah dan merampas harta rakyat Nusantara, sedangkan Arab berdagang untuk memuliakan Nusantara dengan Islam. Pedagang Arab membuka pintu kebaikan (mafatihul khairi) sedangkan Belanda membuka pintu kejahatan (mafatihus syarri). Sampai sekarang Belanda tidak minta maaf pada bangsa Indonesia atas kejahatan penjajahannya, bahkan mewariskan sistem hukum yang hingga hari ini membuat nasib Indonesia makin terpuruk.

Dari sini kemudian mengingatkan kita dengan sabda Rasulullah berikut ini. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sekelompok orang yang sedang duduk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ؟

“Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang terbaik di antara yang terburuk di antara kalian?”

Mereka pun terdiam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali. Kemudian mereka pun menjawab, “Iya, wahai Rasulullah! Kabarkanlah kepada kami siapakah orang yang terbaik di antara yang terburuk di antara kami.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ

“Manusia terbaik di antara kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan orang lain merasa aman dari gangguannya. Manusia terburuk di antara kalian adalah yang tidak diharapkan kebaikannya dan orang lain juga tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. At-Tirmidzi).

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil hamdu

Mengakhiri khutbah ini marilah kita mengambil ibrah dari kisah seorang pejuang Palestina, yang kehadirannya selalu dinanti dan diharapkan bahkan okeh hewan dan burung-burung.

Tersebutlah sebuah kisah menarik dari Palestina. Negara Palestina, sekalipun diperlakukan kejam, rakyatnya ditindas oleh penjajah Israel laknatullah, selalu melahirkan sosok berintegritas, mujahid heroik, dan ulama yang cerdas dan penuh kasih sayang.

Adalah Syaikh Ghassan Yunus Abu Ayman, seorang tokoh paling terkenal di Masjid Al-Aqsa ia dijuluki sebagai “Abu Hurairah Al-Aqsa”. Beberapa waktu berselang, beliau meninggal dunia akibat terinfeksi virus Corona.

Salah seorang warga al-Quds yang selalu ikut bersiaga di dalam Masjid Al-Aqsa, Hanadi Hulwani, di halaman Facebook-nya, menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya Syaikh Abu Hurairah Al-Aqsa, dia berkata, “Hari ini Masjid Al-Aqsa kembali kehilangan seorang yang senantiasa bersiaga di dalamnya.

Dia adalah orang yang gigih dalam bersiaga di dalam Al-Aqsa, meskipun dia berasal dari desa Ara yang berada jauh di wilayah Palestina yang diduduki penjajah Israel sejak tahun 1948.

Selama lebih 50 tahun dari masa hidupnya, Syaikh Yunus, lelaki berusia 71 tahun, hampir setiap hari menghabiskan waktunya di area dan halaman Masjid Al-Aqsa untuk membelanya dalam menghadapi serangan Zionis yang dilakukan secara sadis, berulang-ulang dan terus menerus.

Syaikh “Abu Hurairah Al-Aqsa” mengunjungi Masjid Al-Aqsa setiap hari sambil membawa tas yang biasa diisi dengan daging, makanan kaleng, dan biji-bijian di pundaknya untuk memberi makan burung-burung dan kucing-kucing yang tinggal di halaman Masjid Al-Aqsa.

Ia menilai itu adalah pekerjaan yang sakral baginya. Begitu dia tiba di gerbang Masjid Al-Aqsa, maka burung-burung dan kucing-kucing sudah mengelilinginya. Dia akan memberinya makan sampai matahari terbenam, kemudian dia kembali ke rumahnya di desa Ara, di ujung utara Palestina yang diduduki penjajah Israel sejak tahun 1948.

“Selain membawa biji-bijian, makanan kaleng, dan daging untuk kucing dan burung, saya juga membawa permen di tas dan saku pakaian saya setiap hari untuk saya bagikan kepada semua orang yang saya temui di halaman Masjid Al-Aqsa. Jadi saya memberinya sepotong permen atau cokelat, sampai semua orang mengenal saya meskipun saya datang dari tempat yang jauh.”

Ia menuturkan, “bahwa saya meninggalkan rumah setiap hari di desa Ara di ujung utara Palestina yang diduduki Israel sejak tahun 1948, sampai saya tiba pukul tujuh pagi di Masjid Al-Aqsa. Begitu saya masuk melalui gerbang Hatta, kucing-kucing yang ada di sana langsung berlari ke arahku dan berjalan bersamaku sampai aku mencapai halaman masjid Kubah Emas (Shakhrah).

Mereka berkumpul mengelilingi saya. Saya memberinya makan. Di sana, semua kucing mengenal saya dengan baik. Saya sangat terikat pada mereka. Saya menyebut mereka layaknya penjaga yang selalu bersiaga di dalam Masjid Al-Aqsa.

Inilah contoh seorang muslim, yang kebaikan dan kasih sayangnya tidak hanya bermanfaat bagi manusia, tapi juga menjadi harapan bagi makhluk Allah lain seperti hewan dan burung-burung. Namun di zaman kita ini, berapa banyak manusia, tokoh, pemimpin, pejabat negara, yang dibenci dan ditakuti manusia karena kejahatan dan kezalimannya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamdu

I’tikaf Ramadhan di Masjid Nabawy, Madinah Al Munawarah, Kamis 22 Ramadhan 1444 H/13 April 2023 M.

(Irfan S. Awwas)

*Sumber: Arrahmah
Baca juga :