Jebakan Maut Cina di Kereta Cepat
LENGKAP sudah kesulitan yang akan kita hadapi akibat proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sudahlah terbebani biaya tinggi, kita bakal menanggung utang besar. Belum lagi beroperasi, kereta yang digadang-gadang bisa melaju dari Jakarta ke Bandung hanya dalam waktu 15 menit ini menimbulkan banyak soal yang tak terpecahkan sepenuhnya.
Pemerintah Indonesia kini tengah melobi Cina agar mau mengurangi bunga pinjaman untuk menutup biaya proyek yang membengkak (cost overrun). Setelah menyepakati cost overrun US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 17,8 triliun, China Development Bank (CDB) selaku pemberi pinjaman memungut suku bunga 3,4-4 persen. Sejumlah menteri Indonesia merayu CDB agar menekannya hingga 2 persen—tawaran yang agak mustahil.
Tak cuma menarik suku bunga tinggi, CDB juga kembali ke permintaan awal, yakni menuntut penjaminan utang oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan syarat-syarat itu, pemerintah Indonesia berhadapan dengan risiko besar karena pendapatan dari kereta cepat Jakarta-Bandung masih tanda tanya.
Sebelum ada kelebihan biaya proyek saja, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang menjadi pengembang dan operator kereta cepat harus menanggung utang US$ 4,5 miliar atau setara dengan Rp 67,1 triliun. Utang ini merupakan konsekuensi kesepakatan Indonesia dengan Cina ihwal proporsi pembiayaan proyek, yang 75 persennya dipenuhi lewat utang. Setelah biaya proyek bertambah, KCIC menanggung utang Rp 81,2 triliun, lebih dari separuhnya ditanggung konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemilik 60 persen saham KCIC.
Tingginya utang proyek kereta cepat itu tak lepas dari buruknya perencanaan. Konstruksi yang meleset, tambahan ongkos akibat pandemi Covid-19, hingga beban bunga akibat proyek molor. KCIC hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan tiket untuk menutup biaya operasi sekaligus membayar utang besar tersebut. Ujung-ujungnya, pemerintah mesti keluar duit lantaran KCIC merupakan anak usaha empat perusahaan pelat merah, yang hidup-matinya bergantung pada suntikan anggaran negara.
Segala kerepotan ini tak perlu terjadi jika pemerintah sejak awal sadar bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak layak dikerjakan. Ambisi Presiden Joko Widodo menyajikan moda angkutan canggih membawa kita pada jebakan utang yang mengerikan. Membatalkan proyek ini pun bukan pilihan gampang karena biaya dan utang yang sudah cair tetap harus dibayar.
Apa yang diperingatkan banyak pihak sebelum pemerintah menerima usul Cina membangun kereta cepat kini menjadi kenyataan. Referensinya banyak. Sebelum proyek ini dimulai, banyak negara berkembang terjebak utang Cina karena mengerjakan proyek-proyek ambisius dengan skema pembiayaan seperti kereta cepat Jakarta-Bandung.
Seperti Indonesia, para pemimpin negara itu tergiur oleh proyek raksasa dengan iming-iming bantuan pendanaan. Tapi, alih-alih bantuan murni, Cina memberlakukan skema kredit dengan bunga komersial yang jauh lebih tinggi dibanding tawaran pinjaman negara lain. Ujung-ujungnya, negara-negara itu mengalami gagal bayar dan proyeknya diambil alih pemerintah Cina.
Sri Lanka, Uganda, Maladewa, Kenya, dan terakhir Pakistan. Pakistan terjebak utang karena membuat proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) senilai US$ 27,3 miliar. Ada 26 proyek Cina di Pakistan yang dipatok dengan bunga tinggi. Bunga proyek PLTA itu 5,1 persen; jauh lebih tinggi dibanding proyek serupa di negara lain yang bunganya hanya 4,2 persen.
Apakah Indonesia akan menjadi korban keenam skema “bantuan” proyek Cina? Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung belum selesai dan tak jelas kapan mulai beroperasi. Sementara yang sudah pasti adalah kita harus membayar tumpukan utang-utangnya.
(Sumber: Editorial Koran Tempo, 12/4/2023)
makanya kalo bikin proyek yg supermahal dan jangka panjang kudu dihitung dg benar pake sains, bukan pake nafsu. https://t.co/9L8ITbCCVM
— Joel Picard (@sociotalker) April 11, 2023
nafsu-based policy ya gini
— Joel Picard (@sociotalker) April 11, 2023
jonan was damn right! pic.twitter.com/0dMaMR1svL