Nyaris semua orang selfie atau berfoto dengan latar belakang kubah ini. Seorang kawan pun meminta saya berfoto di sini.
Saya diminta menghadap kamera, saya menolak, karena itu artinya saya akan membelakangi kubah hijau tersebut.
Yang menghuni di bawah kubah tersebut terlalu mulia untuk kita belakangi. Ia adalah manusia yang paling mulia, saat masih hidup dan walaupun sudah wafat ribuan tahun yang lalu.
Adalah Imam Malik --rahimahullahu ta'ala--, lahir besar dan meninggal di Madinah, namun tak pernah mau menaiki hewan tunggangan apapun di kota tersebut. “Aku tidak ingin kuku-kuku kuda tersebut menusuk-nusuk tanah, dimana Baginda dikebumikan!”
Bahkan jauh sebelum beliau lahir, Kanjeng Nabi Muhammad --shallallahu 'alaihi wasallam-- telah menjadi buah bibir para nabi dan rasul sebelumnya. Maka kemudian Al Imam Al Bushiri bersenandang: Maa madhat fatratun minar rusli illa basysyarat qaumaha bikal anbiyaa'u = Tidaklah berlalu seorang rasul dan nabi pun, melainkan pasti menyampaikan kabar gembira kepada kaumnya akan kedatanganmu kelak.
1380 tahun Baginda telah pergi meninggalkan kefanaan dunia ini. Tapi jasad di bawah kubah hijau itu masih tetap utuh. Terus kita haturkan salam kepadanya, baik saat dekat ataupun jauh.
Dalam shalat, saat tasyahud, kita dituntut uluk salam kepada Banginda. Beliau berkenan menjawab salam kita.
Di luar salam, lisan kita pun tak kering dari menyebut beliau. Shalawat yang maurud, yang diajarkan langsung oleh beliau ataupun untaian kata-kata indah yang dirangkai para ulama. Dunia tak pernah sunyi dari menyebut nama: Muhammad!
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّد
(Abrar Rifai)