Kenapa Masih Ada yang Percaya Dukun dan Tidak Rasional
Kenapa sebagian orang masih tidak rasional di saat teknologi begitu canggih yang seharusnya bisa mencerdaskan nalar mereka?
Sudah berapa kali kalian mengganti handphone? Cobalah diingat, sejak telepon umum dengan memasukkan koin kita tinggalkan, lalu muncul handphone sederhana sampai secanggih sekarang, berapa kali berganti? Kini, membeli bakso di pinggir jalan cukup pencet handphone pada saat membayar.
Di tengah kemajuan teknologi ini, aneh bin ajaib masih ada yang percaya bagaimana uang bisa digandakan oleh seorang dukun. Juga ada yang yakin bahwa orang lumpuh bertahun-tahun bisa langsung berjalan hanya karena digosok minyak dalam sekejap. Semua itu disebarkan lewat handphone dan sebagian orang tersihir tanpa lagi berpikir secara rasional.
Satu keluarga berangkat dari Lampung menuju lapangan Kostrad di Cilodong, Depok. Ada ribuan orang dengan tujuan sama berobat kepada seorang ibu berusia 51 tahun yang dipanggil Ida Dayak. Wanita suku Dayak kelahiran Pasir Belengkong, Kalimantan Timur, ini sudah menyebarkan kesuksesannya mengobati berbagai macam penyakit lewat akun TikTok dan YouTube. Namun pengobatan massal pada pekan lalu itu dibatalkan karena ribuan orang berdesakan. Ada yang pingsan.
Kita jadi ingat kepada bocah Ponari di Desa Balongsari, Kabupaten Jombang. Pada 2009, ia dinobatkan sebagai “dukun cilik” bermodalkan batu yang ia dapatkan saat berhujan-hujan dengan petir yang menyambar. Kepala Ponari, konon, disambar petir. Tapi ia tidak pingsan. Ia justru mendapatkan batu di kepalanya. Dari situlah cerita bermula, orang bisa sembuh dari penyakit apa saja jika meminum air yang direndam batu petir itu. Ribuan orang datang berobat ke Ponari dan uang jutaan rupiah ia raup meski belum ada media sosial seperti TikTok yang mempromosikan kesuksesan itu. Berita dari mulut ke mulut sudah ampuh. Keluarga Ponari jadi kaya dan bisa membeli sawah.
Keajaiban—juga kalau mau disebut mukjizat—ada batasnya. Batu petir tak lagi bertuah, sementara Ponari beranjak remaja. Bisa jadi pula orang mulai berpikir rasional. Ponari, yang bernama lengkap Muhammad Ponari Rahmatullah, pun mulai rasional. Ia menikahi Aminatus Zahro di saat pandemi corona pada 2020 dan kini sudah punya momongan. Ponari kembali sebagai orang biasa sebagaimana anak desa yang normal. Kini, dia bekerja sebagai buruh di perusahaan air minum mineral dengan gaji Rp 2,6 juta sebulan. Syukur selama menjadi dukun dia tak terkena kasus hukum.
Yang berurusan dengan hukum kebanyakan dukun yang mengaku bisa menggandakan uang, bukan dukun yang mengobati orang. Masalahnya, dukun jenis ini menyertakan tindak pidana dalam melakukan aksinya, yakni membunuh korbannya. Kasus teranyar terjadi di Banjarnegara. Slamet Tohari, 45 tahun, dukun pengganda uang, sampai membunuh 12 korban. Luar biasa kejamnya. Korbannya ada yang menyerahkan Rp 70 juta untuk digandakan jadi Rp 5 miliar. Slamet jelas penipu, tapi yang punya uang Rp 70 juta itu, kok, tidak rasional sama sekali?
Padahal banyak pelajaran sebelumnya, hampir terjadi di setiap daerah. Kasus terheboh tentu di Probolinggo, Jawa Timur. Adalah Dimas Kanjeng, yang nama aslinya Taat Pribadi, meraup uang miliaran rupiah dari korbannya dengan dalih penggandaan uang. Kasusnya pun terbongkar gara-gara korbannya ada yang dibunuh. Peristiwa heboh pada 2015 ini membuat Dimas Kanjeng divonis 18 tahun penjara karena pembunuhan dan 2 tahun penjara karena penipuan. Uniknya, orang yang percaya kepada praktik Dimas Kanjeng ini termasuk para intelektual yang bergelar doktor.
Kenapa sebagian orang masih tidak rasional di saat teknologi begitu canggih yang seharusnya bisa mencerdaskan nalar mereka? Sepertinya pemerintah kurang hadir di tengah masyarakat dalam situasi perubahan teknologi yang dahsyat ini. Jika pun hadir, kasus sudah membesar dan korban bermunculan. Sanksi hukum juga lemah dan tak membuat para dukun jera. Selain itu, maraknya informasi di media sosial ternyata tidak berpengaruh pada cara berpikir sebagian masyarakat. Mari kita edukasi masyarakat agar lebih cerdas.
(Oleh: Putu Setia)