Oleh: Agustinus Edy Kristianto
Bangsa Indonesia, yang katanya besar itu, dijadikan bulan-bulanan media Israel, The Jerusalem Post (JP), lewat editorial berjudul “Indonesia’s anti-Israel prejudice is a diplomatic own goal" (Senin, 3 April 2023, Pukul 02.36).
JP adalah media arus utama Israel, dulu namanya The Palestine Post, sebelum 1950. Haluan politiknya cenderung kanan—meskipun ada juga kolom khusus untuk opini sayap kiri—sehingga lebih cocok untuk pembaca Yahudi konservatif ketimbang Kristen (meski sejak 1990-an ada sisipan Edisi Kristen yang ditujukan untuk kalangan Lovers of Zion) dan Arab-Israel.
Misi JP menjembatani negara Israel dengan para Yahudi yang tersebar di seluruh dunia.
Dalam editorialnya, JP mengaitkan dengan heboh pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia oleh FIFA.
Sementara itu, pemimpin/elite pemerintahan dan federasi bola kita seperti kerupuk melempem. Cacing pengecut. Presiden dan Ketua PSSI cenderung lembek tak berwibawa, hanya mampu merengek-cengeng supaya tak disanksi, layaknya hamba yang sama sekali tak menunjukkan bahwa mereka mewakili bangsa yang besar, punya prinsip kuat, dan bermartabat.
Pada status sebelumnya, saya mendorong ada langkah hukum PSSI untuk menggugat FIFA ke arbitrase olahraga atas pembatalan itu. Langkah hukum itu sejalan dengan Statuta FIFA dan menunjukkan kita punya nyali dan nalar sebagai bangsa untuk berdebat secara cerdas dan beradab di muka pengadilan.
Kita mau memulihkan kerugian dengan cara yang tepat. Kita mau tunjukkan punya HARGA DIRI!
Tapi rupanya bangsa ini mau dibuat sekelas bangga menjadi EO FIFA semata. Mungkin, harapannya, Piala Dunia U20 dibatalkan tapi bisa digantikan Piala Dunia U17—yang tidak ada Israelnya. Apalagi, mungkin berkat lobi-lobi antarkawan, Peru sudah dibatalkan jadi tuan rumah Piala Dunia U17.
JP pun menyindir. Katanya, Indonesia melewatkan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U20, yang memungkinkan timnasnya berlaga, padahal secara KEMAMPUAN sebenarnya TIDAK PANTAS. Penyelenggaraan Piala Dunia U-20 juga diharapkan bisa mengalirkan BEBERAPA RATUS JUTA DOLAR buat ekonomi Indonesia.
Atas sikap politik Indonesia yang antipenjajahan Israel terhadap Palestina, seperti termaktub dalam Konstitusi hingga Peraturan Menlu 3/2019, JP menyebut kebencian Indonesia terhadap Israel telah mendarah daging.
Kita disebut bukanlah negara modern tapi TERBELAKANG (the image that Indonesia projected was not one of a modern, forward-looking nation, but rather, that of a backward state still blinded by anti-Israel prejudice).
Indonesia disebut tidak berubah sejak 65 tahun lalu (remains frozen), berbeda dengan Turki dan Sudan, misalnya, yang sekarang punya hubungan dengan Israel untuk menatap masa depan (begitu juga UEA, Bahrain, dan Maroko).
Pada akhirnya, langkah FIFA membatalkan disebut JP patut dipuji. Sebaliknya Indonesia layak dicibir karena sikap dan perilakunya yang diskriminatif terhadap Israel. Indonesia lebih memilih jadi seperti Malaysia ketimbang Singapura—yang lebih maju katanya. Sebab Malaysia pun menolak Israel di Kejuaran Squash Internasional 2021 dan Kejuaran Renang Paralympic 2019.
JP berharap negara dan badan olahraga lain di dunia mencatat kejadian diskriminatif Indonesia ini.
Itulah KEUNTUNGAN buat Argentina (tuan rumah pengganti) dan KERUGIAN buat Indonesia. JP berkata para politisi Indonesia berperan besar atas kerugian itu demi ambisi mereka meraih suara dalam Pemilu 2024.
Alhasil, Israel makin sadar kemungkinan normalisasi hubungan dengan Indonesia melalui Abraham Accords (yang dijembatani oleh Amerika Serikat) semakin jauh. Padahal, pada Januari 2022, Menlu Israel Yair Lapid optimistis Indonesia ada di gerbong selanjutnya untuk meneken Abraham Accords.
Ini semua karena “… Indonesia is unwilling to let a group of ISRAELI TEENS play soccer on its soil.” (Indonesia tidak mau membiarkan sekelompok REMAJA ISRAEL bermain sepak bola di tanahnya)
Hahaha!
Tak usah naif, politik—dalam pengertian luas—tak bisa dilepaskan dari sepak bola. Pembatalan FIFA adalah salah satu momentum politik dari serangkaian perjalanan pasang-surut hubungan Indonesia-Israel.
Sebelum soal Piala Dunia U20, tahun lalu, kita ‘diacak-acak’ oleh isu ketahanan pangan yang rupanya dijadikan sebagai ‘kendaraan’ untuk upaya normalisasi hubungan. Ketika itu, Menhan Prabowo diberitakan menjalin kerja sama di bidang pangan dengan Yerusalem—sebagai pintu menjalin hubungan dengan Washington.
JP menulis: “Last October, Subianto announced he planned to run for president of Indonesia in 2024. Like many other leaders of Arab and Muslim states eyeing relations with Israel, Subianto views Jerusalem as a stop on the way to better relations with Washington, a source with knowledge of the matter said.”
“Food security for a nation is no less important than security itself, and [Subianto] totally agrees with me on that,” kata Shmuel Friedman, pejabat Kementerian Pertanian Israel.
Pada Oktober 2020, Joey Allaham, seorang pengusaha New York berdarah Yahudi juga menjalin kontak dengan Menko Marives berkaitan dengan donasi 15 ribu unit Taffix, spray anti-Covid19 buatan Israel yang didistribusikan kepada nakes dan personel militer RI.
JP menulis: “Allaham began working on taking Israel-Indonesia ties from trade and agriculture to diplomacy in early 2021.”
Banyak lagi momen kontak RI-Israel, seperti tahun lalu di ajang Kejuaraan Perangko Internasional yang dibuka oleh Presiden Filatelis Indonesia Fadli Zon. Ketika itu delegasi Israel masuk menggunakan paspor negara non-Israel seperti Afrika Selatan.
Halo para pemimpin/elite pemerintahan, bagaimana sikap kita sebenarnya? Mana PEMBELAAN terhadap prinsip Konstitusi kita? Mana NALAR dan KEBERANIAN kita? Mana KARAKTER kita sebagai bangsa?
Yang diuji dari suatu bangsa yang besar adalah PRINSIP, PERSATUAN, KONSISTENSI, dan KECERDASAN dalam pergaulan internasional.
Apakah kita menunjukkan kehebatan dalam empat hal itu?
Mari merenung!
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)