Indonesia Bisa Menggugat FIFA di Pengadilan Arbitrase Olahraga

Catatan: Agustinus Edy Kristianto (pegiat media sosial)

Menyusul pembatalan oleh FIFA, Jokowi bilang sebagai bangsa yang besar harus menatap ke depan. Ketum PSSI merangkap Menteri BUMN (ET) merasa sudah berusaha maksimal tapi FIFA menganggap penolakan atas Israel adalah bentuk intervensi. Sejumlah elite pun sok bijak berkata ambil pelajaran dari semua ini. Lalu ungkapan klise macam transformasi sepak bola, blueprint…

Saya beda. Saya mau buktikan sebaliknya. Bisa jadi kita bukan bangsa besar melainkan sebatas negara yang banyak penduduknya tapi bak buih-buih di laut. ET tidak berjuang maksimal, ia cuma terlihat sibuk di medsos, ia ingin terlihat dramatik dengan unggahan warna hitamnya itu. Pelajaran/hikmat konkret apa yang bisa diambil, tak ada yang clear menyebutkan. Blueprint? Apa pula maksud jelasnya!

Kita tak punya teladan pemimpin yang cerdas, kuat, dan berwibawa. Alhasil jadilah kita sekumpulan makhluk hidup yang terpuruk sedih tak lekas bangkit, gentar untuk melawan karena ditindih ketakutan akan sanksi, cengeng-merengek supaya tak begitu berat disetrap, pada cari aman masing-masing asal penghasilan tak diutak-atik, gampang disulut emosi dan mudah dipecah-belah… 

Itu bangsa besar? Atau justru KERDIL?

Silakan baca sejarah. Sepak bola ada bukan untuk membentuk bangsa kerdil semacam itu. Bahkan Statuta FIFA menyiratkan hal itu. 

*

Kompetisi yang bagus, pembinaan usia dini dst memang perlu tapi untuk saat ini jika kita bangsa besar, kita perlu mempertanyakan alasan pembatalan itu yang disebutkan karena keadaan terkini (due to the CURRENT CIRCUMSTANCES). Keputusan itu menimbulkan kerugian menyangkut pendapatan, prestige, dan kesempatan berkompetisi (income, prestige, and competitive opportunities). Indonesia punya hak untuk “… request reimbursement of losses incurred by the (Appealed) Decision.”

Betul bahwa keputusan FIFA itu final, mengikat, dan tidak bisa dilakukan upaya hukum (Article 59 Statuta FIFA edisi Mei 2022). Tapi bukan berarti pintu tertutup, sebab dalam statuta yang sama diatur FIFA mengakui Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) di Swiss sebagai forum penyelesaian sengketa (Article 56 Statuta FIFA dan Article 8 FIFA World Cup U-20 Regulation 2023)

ET bilang penolakan Israel itu dianggap sebagai intervensi oleh FIFA. Saya pikir FIFA tidak sebodoh itu. Bukan itu masalahnya. Indonesia dipilih sejak 2019. Tentu FIFA sudah menyadari posisi politik Indonesia vs Israel. Kita masing-masing boleh berbeda pendapat soal Israel-Palestina tapi yang jelas aturannya ada yaitu Peraturan Menteri Luar Negeri 3/2019 yang jika ditarik ke atas merujuk pada UUD 1945. 

Yang tergolong intervensi itu sepanjang menyangkut misalnya proses elektoral PSSI, status kelembagaan federasi dsb, bukan soal kedaulatan politik. Lihat saja FIFA Legal Handbook pada Article 2 yang juga digunakan ketika PSSI dibekukan pada 2015. 

Menyangkut hukum, kita jelas bisa disanksi kalau menggunakan mekanisme pengadilan biasa untuk berperkara dengan FIFA karena melanggar statuta. Tapi kalau via CAS, tidak, karena itu yang diakui FIFA.

Jadi yang perlu diuji di CAS itu tiga hal: 1) apakah jenis keputusan pembatalan FIFA itu termasuk keputusan yang bersifat sanksi atau administratif; 2) apakah FIFA berwenang untuk itu dalam kaitan FIFA sebagai badan privat yang memang memiliki otonomi dan diskresi; 3) apakah dalam penggunaan wewenangnya itu berdasarkan atas alasan yang jelas, logis, faktual, dan tidak mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan yang sewenang-wenang—secara khusus pada kalimat “… due to the CURRENT CIRCUMSTANCES”.

Kita lihat perkara penjatuhan sanksi terhadap Rusia yang didaftarkan dengan nomor CAS 2022/A/8708 FUR vs FIFA tanggal 15 Juli 2022. Yang dipermasalahkan adalah penjatuhan sanksi yang didasarkan atas alasan “EXTRAORDINARY AND UNFORESEEN CIRCUMSTANCES”/keadaan luar biasa dan tidak terduga pada 24 Februari 2022 berkaitan dengan invasi militer Rusia ke Ukraina.

Pada akhirnya permohonan Rusia ditolak oleh CAS karena terbukti memenuhi unsur luar biasa dan tidak terduga tadi yang disebutkan secara jelas, yaitu, meluasnya kecaman dunia internasional (PBB, Uni Eropa, UEFA, IOC dsb), pembatasan terbang, dan yang terpenting dari sisi sepak bola terdapat sejumlah timnas yang menolak main dengan Rusia seperti Polandia, yang kemudian disusul 37 negara meneken pernyataan bersama mendukung sanksi terhadap Rusia.

*

Bagaimana dengan Indonesia?

Politisi pe-ak memang ada di mana-mana dan janganlah dipilih lagi yang model begini. Harus diakui ada hal yang lumayan merugikan posisi kita seperti misalnya surat kepala daerah kepada Menpora yang keberatan atas kehadiran Israel apalagi sampai elite partainya bilang mengenai trauma ancaman bom—-itu berpotensi jadi bukti melemahkan. Kasarnya, lu mau nolak ya nolak aja (Orang mau demo tolak Israel itu tidak mengapa (asal tidak rusuh) apalagi memang secara formal sikap politik Indonesia begitu), tapi kenapa pakai surat berkop kepala daerah! 

Tapi, menurut saya, mengenai “CURRENT CIRCUMSTANCES” tadi tetap perlu diperkarakan ke CAS untuk diuji secara hukum. Itulah cara orang beradab menyelesaikan masalah dan mengembalikan kerugian. 

Kita perlu buktikan bahwa sikap politik Indonesia yang pro-Palestina bukanlah penghalang perhelatan Piala Dunia U-20. Kita perlu buktikan bahwa surat kepala daerah penolak itu bisa diartikan sebagai bersifat informatif dan tidak memiliki kekuatan hukum/memaksa apalagi jika dibandingkan secara formal terdapat JAMINAN dari Kepala Negara/Kepala Pemerintahan, jaminan kemanan dari Kapolri, hingga kepastian penerbitan visa bagi timnas Israel yang artinya terdapat rekomendasi dari Tim Penilai Visa yang di dalamnya terdapat BIN juga. 

Secara preseden juga bisa dibuktikan warga Israel selama ini bisa masuk dan tinggal di Indonesia melalui mekanisme calling visa, bahkan sejumlah atlet cabor lain pernah bertanding di sini, penyelenggaraan G-20 yang aman-aman saja, konferensi parlemen dunia dsb. 

Secara teknis juga bisa diatur agar penyelenggaraan pertandingan tidak melanggar sikap politik Indonesia dan aturan perundangan, misalnya, berkaitan dengan larangan pengibaran bendera dan lagu kebangsaan, venue, dsb. 

Apapun itu untuk menunjukkan bahwa “CURRENT CIRCUMSTANCES” tadi tidak berdasar, kabur/tidak jelas, merugikan… yang kita lakukan melalui proses hukum yang benar, tepat, dan sejalan dengan semangat dan aturan FIFA itu sendiri.

Ya, kita punya waktu 21 hari sejak penerbitan rilis FIFA pada 29 Maret 2023 lalu (artinya batas akhir pada 19 April 2023) untuk memasukkan permohonan arbitrase di CAS itu. Biaya administratif saya hitung tak sampai Rp500 juta dan fee arbitrornya sekitar Rp10 juta. Di negara ini banyak sekali advokat yang kompeten untuk diberi kuasa untuk mewakili merah-putih di sana. 

Jangan murung, merengek, kecut hati, takut. 

Bangkit, tegak lurus dengan langit: menggugat secara fair dan beradab.

Saya menulis semua ini karena kecintaan saya dari kecil terhadap sepak bola. 

Siapa tahu ini wujud kebangkitan mental kita yang menjadi awal kejayaan kita di sepak bola masa depan

Salam.

Baca juga :