Biaya Tinggi Akibat Faktor Alam
- IKN berada di wilayah patahan, rawan banjir, dan minim air tanah. Butuh rekayasa geoteknik yang mahal untuk antisipasi bencana.
- Adapun saat ini biaya pembangunan IKN diperkirakan menelan anggaran Rp 466 triliun. Anggaran tersebut akan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 89,4 triliun, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dan swasta Rp 253,4 triliun, serta badan usaha milik negara/daerah Rp123,2 triliun.
Ahli geologi Andang Bachtiar mengingatkan pemerintah mengenai potensi pembengkakan anggaran pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di wilayah Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pembengkakan anggaran itu disebabkan oleh keadaan geologi IKN yang berada di wilayah patahan, rawan banjir, dan minim air tanah baku. "Kegiatan rekayasa geoteknik untuk mengantisipasi keadaan geologi di sana bakal membutuhkan biaya tinggi," kata mantan ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia itu, kemarin.
Rekayasa geoteknik adalah cabang teknik sipil yang terkait dengan perilaku bumi atau tanah. Rekayasa geoteknik digunakan di fasilitas militer, pertambangan, perminyakan, dan disiplin ilmu lainnya yang berkaitan dengan konstruksi di atas atau di bawah permukaan. Adanya patahan di wilayah IKN, Andang mencontohkan, mengharuskan pemerintah membangun konstruksi infrastruktur yang lebih kuat dengan teknologi yang lebih modern untuk mengantisipasi pergerakan tanah.
Selain itu, biaya perawatan jalan dan infrastruktur di IKN bakal jauh lebih tinggi untuk mengantisipasi bidang lemah di kawasan tersebut yang mudah turun serta bergeser. "Jalan akan cepat rusak karena penurunan permukaan tanah dan bangunan harus dibangun kokoh untuk mengantisipasi goyangannya," ucapnya. "Itu semua membutuhkan biaya yang tinggi."
Andang berujar daerah kawasan inti pusat pemerintahan IKN dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah timur laut-barat daya. Berdasarkan analisis tektonik, sedimentasinya terbentuk pada awal pengendapan sebagai patahan anjak kaki (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami plio-pleistocene reactivation pada 5 juta tahun silam, ketika patahan mulai terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang.
Patahan-patahan tersebut merupakan lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukungnya terhadap fondasi apabila hendak mendirikan bangunan, terutama bangunan bertingkat. Jika itu tidak diantisipasi, bangunan dan jalan yang berdiri di atasnya akan mudah longsor. "Itu perlu grouting (injeksi semen). Jadi, nanti kekuatan ekonomi yang menentukan layak atau tidak tinggal di sana. Sebab, ilmu geologi telah memberikan informasi ihwal potensi bahayanya dan geoteknik untuk mengantisipasi dampaknya yang membutuhkan biaya tinggi."
Adapun saat ini biaya pembangunan IKN diperkirakan menelan anggaran Rp 466 triliun. Anggaran tersebut akan dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 89,4 triliun, kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) dan swasta Rp 253,4 triliun, serta badan usaha milik negara/daerah Rp123,2 triliun.
Banjir dan Krisis Air Bersih
Selain patahan, masalah yang mengintai IKN adalah banjir. Kawasan di sekitar IKN, terutama di Sepaku, kata Andang, merupakan wilayah rawan banjir akibat rob laut ataupun hujan. Karena itu, ia berpendapat, tidak tepat alasan pemerintah memindahkan IKN karena masalah banjir di Jakarta yang tidak bisa diatasi. "Pindah dari Jakarta karena alasan menghindari banjir, tapi wilayah yang dipilih daerah rawan banjir," ucapnya.
Bukan hanya itu, krisis air bersih juga mengintai kawasan IKN. Musababnya, wilayah yang dipilih untuk IKN merupakan kawasan yang telah mengalami krisis air tanah. Krisis air memang bisa diatasi dengan membuat bendungan atau embung, tapi lagi-lagi pembuatan infrastruktur itu membutuhkan biaya besar. Apalagi pemerintah berencana mengalirkan air sepanjang 60 kilometer dari Sungai Mahakam ke IKN untuk kebutuhan air baku. "Persoalan krisis air ini sudah diakui Kementerian Pekerjaan Umum," ujarnya.
Andang menjelaskan, kondisi hidrogeologi permukaan di wilayah IKN dan sekitarnya tersusun atas batuan sedimen lempung endapan laut berumur 23-33 juta tahun. Peta geologi pemerintah pun menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak. "Itu pun sangat minim."
Air tanah, kata dia, mungkin bisa didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu gamping yang berongga. Nah, pasir di Formasi Pamaluan hanya berupa lensa-lensa tebal maksimal 10 meter dan luas 5-10 kilometer persegi, serta jarang terhubung satu sama lainnya dari permukaan ke bawah permukaan. "Kawasan inti IKN jelas-jelas tidak punya daya dukung untuk air tanahnya."
Andang kemudian mempertanyakan pembuatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang super-kilat untuk pembentukan wilayah seperti IKN yang begitu kompleks. Menurut dia, KLHS semestinya dibuat komprehensif untuk proyek jumbo seperti IKN. "Publik bisa melihat apakah kajian lingkungannya matang atau tidak kalau dibuat dalam 3-6 bulan saja. Penyusunan KLHS proyek biasa saja bisa lebih dari setahun," ucapnya.
Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Puspa Dewy, menyatakan banjir yang semakin parah dalam beberapa bulan terakhir di Sepaku menunjukkan bahwa pembangunan IKN di sana tidak layak. Walhi mendesak pemerintah melakukan pengkajian yang lebih komprehensif soal lokasi IKN. "Saat ini masalahnya bukan hanya lingkungan, tapi sudah ke dampak sosial. Lebih baik dibatalkan."
Puspa mengungkapkan lokasi IKN merupakan wilayah strategis dan pendukung kebutuhan air bagi lima wilayah, yakni Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, khususnya Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa, dan Kecamatan Loa Kulu, serta Kota Samarinda, terutama di bagian selatan. Letak kawasan IKN yang berada persis di antara hutan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Suharto, Hutan Lindung Sungai Wain, serta Hutan Lindung Manggar akan mengancam ketersediaan sumber air di lima wilayah tersebut.
Dalam kondisi normal saja, kata dia, Kota Balikpapan sering kali dihadapkan pada krisis ketersediaan air bersih dan air minum. Setiap tahun, Balikpapan mengalami krisis air. "Walaupun dalam tata ruang wilayah telah ditetapkan 52 persen wilayah kota adalah kawasan lindung, tetap saja warga Kota Balikpapan mengalami krisis air," ujarnya.
Dampak Intake Sungai Sepaku
Kepala Suku Adat Balik Sepaku, Sibukdin, mengamini bahwa wilayahnya minim pasokan air tanah dan rentan banjir. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, banjir di wilayahnya semakin sering terjadi karena banyak hutan yang telah gundul. "Kalau dulu, banjir paling tiga tahun sekali. Sekarang setahun bisa dua sampai tiga kali," ujarnya.
Menurut dia, dampak banjir semakin terasa saat pemerintah mulai membangun fasilitas intake di Sungai Sepaku. Maret lalu, banjir menenggelamkan kampungnya hingga ketinggian 2 meter. "Biasanya banjir sebesar itu baru terjadi kalau hujan tiga hari sampai sepekan. Kemarin hujan sehari saja sudah banjir karena saluran Sungai Sepaku terganggu pembangunan intake."
Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Otorita IKN, Pungky Widiaryanto, mengakui bahwa keadaan geologi IKN berada di wilayah patahan, krisis air, dan rawan banjir. Wilayah patahan, kata dia, terbentang dari utara sampai ke selatan. "Patahan di wilayah inti IKN ada, tapi kecil. Tempat itu yang dipilih menjadi inti IKN karena yang paling rendah patahannya," ucapnya.
Sedangkan dalam studi kelayakan soal banjir di wilayah IKN, kata dia, hanya terjadi di wilayah Sepaku, bukan di kawasan intinya yang bakal dibangun pusat pemerintahan. Dengan pembangunan IKN, kata dia, banjir di kawasan Sepaku justru nantinya bisa dicegah dengan berbagai pembangunan infrastruktur pengendali air, tutupan hijau, sampai pemberdayaan masyarakat.
Adapun soal kekhawatiran krisis air, Pungky melanjutkan, pemerintah bakal mengelola sumber air terpadu yang berasal dari suplai air permukaan. Saat ini, pemerintah telah membangun bendungan Sepaku Semoi dan intake di Sungai Sepaku untuk kebutuhan air IKN. "Krisis air memang diakui di Balikpapan, tapi kami berusaha dalam mengelola sumber air terpadu dengan pendayagunaan pemanfaatan air dari permukaan," ujarnya.
[Sumber: TEMPO]