IJAZAH JOKOWI CUMA BERKAS FOTO COPY DARI PENYIDIK

SEBUAH IKHTIAR UNTUK TEGAKNYA KEADILAN DITENGAH MASIFNYA KRIMINALISASI BERDALIH PENEGAKAN HUKUM

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. (Advokat, Kuasa Hukum Gus Nur)

Saat kami mempersoalkan mengapa ijazah asli Jokowi tidak dihadirkan jaksa di persidangan, Saudara jaksa tak dapat memberikan argumentasi hukum kecuali berdalih hanya mendapatkan berkas foto copy dari penyidik (polisi). Beberapa kali majelis hakim juga mengingatkan, bahwa beban pembuktian dakwaan ada pada jaksa.

Bahkan, Bang Eggi sempat mempersoalkan, mengapa kasus ini dipaksa disidangkan, sementara ijazah aslinya tidak ada? Jaksa kembali berdalih bahwa dari penyidik (polisi) berkasnya hanya copian, tidak ada asli ijazah Jokowi. Lalu mengapa berkas perkara dianggap lengkap (P-21), padahal ijazah Jokowi yang asli tidak ada? jaksa hanya terdiam.

Anehnya, menyadari buktinya tidak lengkap, tidak sempurna karena tidak ada ijazah asli Jokowi, tapi jaksa tetap menuntut Gus Nur dengan pidana 10 tahun penjara. Padahal, tuntutan maksimum pasal 14 ayat (1) UU No. 1/1946 adalah 10 tahun penjara. Itu artinya, Gus Nur dituntut maksimum dengan dasar bukti yang minimum, bahkan copy ijazah tidak dapat membuktikan keaslian ijazah.

Dalam banyak kasus, pasal 14 ayat (1) UU No. 1/1946 belum pernah digunakan untuk menuntut maksimum pada kasus lain, kecuali dalam kasus Gus Nur.

Ratna Sarumpaet dituntut 4 tahun. Habib Rizieq dituntut 6 tahun. Syahganda Nainggolan dituntut 6 tahun. Namun, dengan pasal yang sama Gus Nur dituntut 10 tahun penjara. Ada apa?

Selama menangani banyak kasus pidana dengan berbagai varian, baik tipikor, ITE, pidana umum berbasis KUHP, pidana khusus, penulis belum pernah mendapati pengalaman jaksa mengajukan tuntutan maksimum. Biasanya, jaksa menuntut dibawah maksimum tuntutan yang diatur dalam norma.

Hanya saja setelah penulis kaji ternyata masalahnya ada pada kasus Gus Nur yang melawan penguasa. Kasus ijazah palsu Jokowi adalah kasus yang sangat sensitif, kritik yang sangat tajam, yang terkait dengan legalitas dan eksistensi jabatan seorang Presiden. Dari situlah, penulis paham mengapa jaksa tutup mata pada fakta persidangan dan tetap ngotot menuntut Gus Nur dengan pidana 10 tahun penjara.

Unsurnya tidak terpenuhi. Kalau Mubahalah Ijazah palsu dianggap kabar bohong, maka harus dibuktikan dengan menghadirkan ijazah aslinya. Karena jaksa tidak menghadirkan ijazah asli Jokowi, maka konsekuensinya tidak ada kabar bohong. Bahkan, patut diduga ijazah Jokowi benar-benar asli. Sebab, jika ada aslinya kenapa tidak dihadirkan di persidangan? Bukankah Jokowi juga berkepentingan untuk membersihkan nama baiknya?

MENGHIMPUN DUKUNGAN

Karena alasan itulah, Jum'at kemarin (14/4/2023), penulis menghimpun sejumlah tokoh, ulama & Advokat untuk memberikan dukungan dan pembelaan terhadap Gus Nur melalui penyampaian pernyataan bersama. Beberapa yang hadir diantaranya: Ustadz  Eka Jaya (Ormas Pejabat), Bang Abdullah al Katiri, Bang Juju Purwantoro, Bang Aziz Yanuar, Bang Edy Mulyadi, Bang Jalih Pitoeng, Ustadz Bukhori Muslim, Ustadz Muhammad Salman dan Ustadz Irwan Syaifulloh.

Meskipun tidak hadir secara fisik, sejumlah tokoh, Ulama dan Advokat juga berkenan ikut memberikan pernyataan bersama. Totalnya sampai Jum'at sore (14/4/2023) mencapai 63 orang. Adapula yang belum menjawab WA penulis disebabkan ada udzur.

Saat menghubungi Prof Suteki untuk meminta dukungan dengan melampirkan isi pernyataan bersamanya, tanpa menunggu lama Prof Suteki langsung mempersilahkan. Bahkan, setelah lengkap penulis kirimkan kembali, Prof Teki memberikan emot meme dengan tulisan "Mantabs!".

Bang Refly Harun juga demikian. Langsung memberikan persetujuan namanya ikut dicantumkan. 

Ada juga KH Awit Mashuri yang berkenan dan menambahkan emot takbir. Doa bagi kebebasan Gus Nur beliau sampaikan kepada penulis.

Ustadz Muhammad Yusuf Martak berhalangan hadir karena beliau memasuki agenda i'tikaf. KH Slamet Ma'arif berbarengan agenda rutin. Keduanya juga berkenan namanya ikut dicantumkan sebagai tokoh yang menyatakan pernyataan bersama.

Dari Madura, penulis mencoba mengontak cucu Syaikhona Kholili Ulama Kharismatik Madura. Beliau adalah KH Thoha Kholili, yang juga bersedia namanya dicantumkan.

Lanjut ke Mojokerto, meminta persetujuan KH Muhammad Asrori Muzakki dan Kiyai Heru Elyasa. Kontak pula ke Pak Abdul Hamid Malang, KH Abdul Halim Tuban, Ustadz Mudriq Al Hanan dan Pak Mudrick Setiawan Malkan Sangidoe dari Solo. Mengontak Bunda Merry dan mendapatkan persetujuan sejumlah tokoh lampung. Lanjut ke Ustadz Muhammad Efan dari Medan, Rekan sejawat Akmal Kamil Nasution dari Kepri.

PERNYATAAN BERSAMA

Alhamdulillah, semuanya bersedia untuk turut memberikan dukungan kepada Gus Nur melalui pembacaan pernyataan bersama. 

Selain nama-nama tersebut, ada pula Dr Eggi Sudjana, SH MSi, Achmad Michdan, SH, KH Miqdad Ali Azka, LC, Kiyai Ahmad Zainudin (Cikampek), Azham Khan, SH, Cak Slamet Sugiyanto (Surabaya), Dr Muhammad Taufik, SH MH (Solo), Drs. H.M. Sani Alamsyah, SH, MBL, H. Zaenal Mustofa S.Pd, SH, MH (Solo), Habib Umar Assegaf ( Lampung), Ustadz Edi Azhari(Lampung), Ustadz Feri Salim( Lampung), Ustadz Firmansyah( Lampung), Ustadz Farurrozi( Lampung), Andhika Dian Prasetyo, SH MH (Solo), Riandianto, SH (Solo), Waliyana, SH MH (Solo), Muhammad Muchlisin, SH MH (Solo), R. Ahmad Nur Rido Prabowo, SH (Solo), Agus Susilo Muslih, SH (Solo), Nael Tiano, SH (Solo), Mahmud, SH, MH, CLA, Kurnia Tri Royani, SH, Ruslan Buton, Dr Ramadhani Akrom, Nur Widianto, S.Hum (Jogya), H. Asrul Harun, SH Mkn, DR Herman Kadir, SH MHum, Ida Nurhaida Kusdianti (Banten), Daeng Wahidin, Ustadz Ferry Koestanto, Gus Muhammad Abbas (Jateng) hingga Ustadz Alfian Tanjung.

Dalam pernyataan bersama, kami sampaikan empat hal yaitu:

Pertama, aktivitas yang dilakukan oleh Gus Nur adalah aktivitas yang terkategori penyampaian pendapat dimuka umum dan menjalankan ibadat dalam agama Islam baik berupa dakwah amar ma'ruf nahi munkar maupun ketika membimbing sumpah mubahalah, yang kesemuanya adalah aktivitas yang sah, legal dan konstitusional. Hal mana, telah dijamin konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 28 dan 29 UUD 1945.

Kedua, penyampaian pendapat dimuka umum dan menjalankan ibadat dalam agama Islam baik berupa dakwah maupun mubahalah, baik dalam bentuk menulis buku dan mempublikasikan materi muatannya, melaksanakan aktivitas dakwah amar ma'ruf nahi munkar, termasuk didalamnya melakukan sumpah mubahalah, bukanlah kejahatan. Karena itu, aktivitas dimaksud bukan   menyebar kebohongan yang menerbitkan keonaran, bukan menebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA, juga bukan penistaan agama, tidak melanggar pasal 14 dan 15 UU No 1/1946, pasal 28 ayat 2 jo pasal 45a ayat (2) UU ITE, dan pasal 156a KUHP, sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

Ketiga, hingga proses akhir pemeriksaan persidangan, *tidak ada satupun ahli maupun saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan yang pernah melihat atau mengetahui ijazah asli Jokowi, baik ijazah SD, SMP, SMA dan S-1.* Karena itu, segenap rakyat Indonesia memiliki hak atas kepastian keaslian ijazah asli Presidennya, agar tidak mewariskan legacy memalukan kepada genersi selanjutnya, karena Republik ini tertuduh memiliki Presiden berijazah palsu.

Keempat, Presiden Jokowi sebenarnya memiliki kesempatan untuk membuktikan ijazah aslinya dalam proses persidangan. Namun sayang, hingga proses pemeriksaan saksi dan ahli selesai, ijazah asli Jokowi tidak juga dihadirkan di persidangan.

Berdasarkan hal-hal yang tersebut diatas, didasari atas keyakinan tidak terbuktinya tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Nur, maka kami merekomendasikan agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara dimaksud agar memberikan putusan yang adil dengan membebaskan Gus Nur atau setidaknya melepaskannya dari segala tuntutan. Jika tidak, kami khawatir putusan yang menghukum Gus Nur akan meruntuhkan wibawa peradilan dan memicu terjadinya pembangkangan rakyat.

(*)
Baca juga :