Oleh: Made Supriatma*
Game On! Pertandingan Pilpres 2024 sudah dimulai. Ganjar Pranowo (GP) dinominasikan oleh PDIP menjadi calon presiden partai ini. PDIP adalah satu-satunya partai yang memenuhi electoral threshold 20% kursi di DPR sehingga punya hak untuk mencalonkan seseorang menjadi presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai-partai lain.
Nominasi GP mengubah peta Pilpres 2024. Koalisi yang selama ini ada mungkin juga akan berubah. Para elit bermanuver. partai-partai mulai menghitung untung rugi dan menakar kekuatan.
Anies Baswedan dicalonkan oleh Nasdem, PKS, dan Demokrat dan kemudian membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Setelah itu, Partai Golkar, PPP, dan PAN, segera membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Koalisi ini dianggap sebagai koalisi pendukung Presiden Jokowi. KIB belum memiliki calon presiden.
Jauh sebelum itu, pada Agustus 2022, Partai Gerindra dan PKB sepakat membentuk koalisi yang mereka namakan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Koalisi ini juga belum mengumumkan calon presidennya.
Gerindra tidak punya cukup kursi untuk mencalonkan presiden. Sekalipun demikian, partai ini sudah bertekad mengusung Prabowo Subianto, ketua partainya dan dua kali calon presiden dan sekali calon presiden yang gagal.
Sialnya, PKB pun ingin mencalonan ketuanya, Muhaimin Iskandar sebagai calon presiden. Karena tidak mungkin satu koalisi mencalonkan dua capres -- sementara masing-masing partai tidak cukup memenuhi threshold 20% kursi DPR -- maka untuk sementara mereka belum punya calon presiden.
Koalisi-koalisi ini belum mengendap benar. Elemen dari KIB, yakni PPP, sudah menyatakan akan mendukung GP. Dengan demikian, GP akan didukung oleh PDIP dan PPP. Sementara beberapa waktu lalu, Sandiaga Uno sudah mundur dari wakil ketua umum Gerindra dan kabarnya akan bergabung dengan PPP. Ini menimbulkan spekulasi tiket GP-Sandi.
Sementara, partai lain di KIB, PAN juga kabarnya akan condong ke GP. Tinggal Golkar yang belum menentukan sikap. Belum jelas kemana sikap Golkar. Ada kabar bahwa Golkar akan bergabung dengan Gerindra. Jika ini terjadi maka Golkar akan bergabung dengan "saudara muda"-nya karena Gerindra adalah partai tempat bernaung para mantan birokrat militer yang jaman Orde Baru adalah satu pilar Golkar.
Agak sulit untuk membayangkan kalau saudara muda ini sekarang yang menjadi saudara tua; sekalipun suara mereka di perolehan suara mereka di Pileg 2009 beda tipis di angka 12% saja.
Namun partai-partai ini terus bermanuver dan tawar menawar posisi. Prabowo sangat yakin dengan kekuatan partainya dan kans-nya dalam beberapa polling terakhir selalu menanjak. Bahkan sebelum "U-20 debacle" yang menimpa Ganjar, trend suara Prabowo menaik. Ganjar mengalami prestasi terburuk pada akhir Maret dan sepanjang April. Angka elektabilitasnya melorot. Sementara Anies cenderung datar atau bahkan sedikit melemah.
Mengapa Prabowo mengalami kenaikan? Saya kira kebosanan para pemilih, khususnya generasi muda, terhadap percekcokan antara kubu Jokowi dan Anies selama hampir satu dekade belakangan ini. Prabowo dengan pintar menempatkan dirinya ditengah -- sekalipun dulu dia adalah promotor Anies dalam Pilgub DKI 2017. Pada 2019, sebagian besar pendukung Anies pada 2017 mendukung Prabowo. Namun pada 2019, setelah kalah dua kali dari Jokowi, Prabowo menerima tawaran menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi.
Selama menjadi menteri pertahanan, Prabowo lebih banyak diam. Dia fokus mengurus departemennya. Dia menghindari kontroversi dan dengan disiplin tinggi hanya bicara soal pekerjaannya. Taktik ini berhasil membuat orang, khususnya generasi Z dan dibawah 30 tahun, melihatnya sebagai calon alternatif.
Generasi ini sama sekali tidak mempan akan isu HAM dimana track record Prabowo sangat buruk, dan juga ingin keluar dari pembelahan Kadrun-Cebong yang marak di masa Jokowi. Taktik ini tampaknya berhasil. Paling tidak untuk saat ini.
Prabowo juga mengambil keuntungan dari "kesalahan" Ganjar dalam mengambil sikap soal Pildun U-20. Sikap ini sesungguhnya merupakan sikap partainya. Butuh waktu 9 hari untuk Ganjar mengumumkan penolakannya terhadap Tim Israel sesudah Gubernur Bali, I Wayan Koster, melakukannya.
Peristiwa ini secara signifikan berpengaruh pada popularitas GP sebagai calon presiden. Kita tidak tahu apakah dia bisa bangkit atau tidak. Namun yang jelas, penolakan GP ini membuat dia lolos uji loyalitas kepada partai dan Megawati. Kita tentu mahfum bahwa untuk itulah Ganjar diganjar dengan nominasi.
Sementara popularitas dan elektabilitas Anies Baswedan cenderung datar dan bahkan agak menurun. Anies lebih memfokuskan diri untuk menyemir reputasi politik internasionalnya. Dia mengunjungi beberapa negara tetangga untuk mempertontonkan dan memberikan jaminan akan kebijakan luar negerinya jika terpilih nanti.
Selian itu, didalam negeri, Anies mulai beranjak ke tengah. Dia ingin menunjukkan pada para pemilih bahwa dia tidak seekstrem yang digambarkan selama ini. Bahkan di Papua dia diberi nama: Yohanes.
Tentu ini ada pengaruhnya juga. Para pendukungnya yang sebagian besar adalah kelas menengah Muslim perkotaan tidak terbiasa dengan politik yang moderat selow semacam ini. Mereka membutuhkan obor pembakar semangat. Inilah yang hilang dari kelompok ini selama tiga tahun terakhir karena pemenjaraan beberapa tokohnya yang dulu 'berjuang' bersama Anies.
Situasi akan berubah dengan cepat sebelum dia mengendap nanti pada bulan Juli atau Agustus. Kita akan tahu partai mana berkoalisi dengan partai apa. Politisi mana yang akan berjabat tangan dengan siapa.
Paling tidak kita bisa mengidentifikasi beberapa kekuatan sekarang ini. Ada koalisi Anies (NasDem, PKS, dan Demokrat); KIB (Golkar, PAN, dan PPP) yang mulai pecah; KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB; serta PDIP.
Selain itu, ada kekuatan yang tidak berbentuk partai. Dan itu adalah Presiden Jokowi. Dia adalah politisi paling populer di Indonesia. Dukungannya, secara teoritik, akan mendongkrak seorang calon presiden. Hingga saat ini, Jokowi belum menunjukkan sikap yang pasti.
Sebelum GP dideklarasikan, Presiden Jokowi berusaha menciptakan koalisi besar yang menggabungkan kekuatan KIB dan KKIR. Dia berharap PDIP akan bergabung ke koalisi besar ini.
Pada awal April lalu, Jokowi mengundang Prabowo dan GP ke acara panen raya di Kebumen. Jokowi bertanya kepada keduanya, siapa yang akan menjadi nomor satu? GP menjawab bahda ia adalah kader partai dan tunduk kepada putusan partai. Prabowo mengatakan bahwa ia sudah dicalonkan partainya. Jokowi kabarnya mengatakan, ya sudah, nanti diputuskan Juni atau Juli. Siapa yang elektabilitasnya tertinggi saat itu, dia yang jadi capres. Yang dibawahnya akan jadi wakil.
Namun kenyataannya berlainan. PDIP mengumumkan calonnya sendiri dan Jokowi hadir dalam acara itu. Pengumuman itu menggusarkan Gerindra. Ketika hadir di rumah Jokowi di Solo pas Lebaran, Prabowo kembali mengatakan bahwa dia adalah calon presiden dari partainya.
Tampaknya koalisi besar ini tidak akan terwujud. Dan ada kemungkinan bahwa tiga calon presiden akan maju pada 2024. Jika ini terjadi, maka akan ada babak kedua (run off). Kecuali kalau para elit ini ada yang mau mengalah.
Apa yang bisa kita pelajari dari soal ini? Pelajaran paling penting adalah bahwa kita punya demokrasi elektoral dimana pilihan-pilihan kita sudah ditentukan oleh para elit. Pilihan kita terbatas. Mekanisme untuk memilih pemimpin dari bawah, yang seharusnya menjadi inti dari demokrasi, ditiadakan.
Misalnya, dalam dunia perikanan kita hanya punya pilihan ikan sapu-sapu, ikan lele, dan ikan gabus/haruan. Tidak ada nila, kakap, udang, cumi, pari, atau yang lainnya. Hanya tiga itulah pilihannya.
Sekali lagi, demokrasi itu bukan hanya soal memilih. Tetapi juga soal memilih apa yang bisa dan boleh dipilih. Tanpa itu, maka yang ada hanyalah 'demokrasi terpimpin' atau demokrasi yang didikte oleh para pemimpin. Kalau Anda mengatakan itu bagus, Anda tidak lebih dari ternak!
*sumber: fb penulis